Kembalinya Ghirah Ulama
A.
Helmy Faishal Zaini ;
Ketua LPPNU dan Ketua Fraksi PKB
|
JAWA POS, 06 Juli 2015
MUNAS alim ulama Nahdlatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu
telah usai dihelat. Perhelatan tersebut bisa dibilang sukses dan bersejarah.
Mengapa? Sebab, dari forum itulah lahir sebuah kesepakatan monumental bahwa
rais am (pemimpin tertinggi NU) tidak dipilih melalui mekanisme voting, namun lewat mekanisme
musyawarah mufakat yang dilakukan ahlul
halli wal aqdi (ahwa).
Sebuah keputusan yang menurut hemat saya bisa
dikategorikan sebagai keputusan yang sangat progresif. Sebab, dengan
mengambil langkah bahwa rais am dipilih melalui mekanisme AHWA, NU
sesungguhnya sedang kembali menapaki jalan sejatinya. Andai kelak pemilihan
rais am terbukti sukses dan berhasil menggunakan peranti AHWA, bisa dikatakan
NU telah berhasil bermigrasi serta berhijrah dari sistem pemilihan
kuantitatif menuju sistem pemilihan kualitatif.
NU sebagai sebuah organisasi masyarakat yang, meminjam
bahasa Said Aqil Siradj (2015), kerap dan acap dijadikan rujukan utama dalam
mengelaborasi serta menyelaraskan agama, ideologi, dan rasa kebangsaan sesungguhnya
memiliki pekerjaan rumah (PR) yang sangat besar. PR yang dimaksud tersebut
adalah bagaimana marwah NU sebagai sebuah institusi keagamaan memiliki
peretas batas yang jelas tentang sikap politiknya.
NU, meminjam analisis almarhum KH Sahal Mahfudz, harus
melakukan politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan dan politik
kerakyatan. Politik kebangsaan berarti berpolitik dalam rangka menjaga
keutuhan dan kedaulatan NKRI. Adapun politik kerakyatan berarti membela
hak-hak rakyat di hadapan para penguasa.
Yang terlarang bagi NU adalah apa
yang kemudian disebut sebagai politik praktis. Ikut-ikutan dalam konstelasi
politik kekuasaan. Sekali lagi, ini larangan bagi NU secara organisatoris.
Pada hemat saya, sosok yang bisa diandalkan sebagai
penjaga gawang NU agar tetap berjalan di relnya adalah figur dan sosok rais
am. Oleh karena itu, rais am haruslah seseorang yang benar-benar memiliki
komitmen dan mengerti betul jalan NU yang telah digariskan
pendiri-pendirinya.
Rais am adalah jabatan yang sakral. Ia berarti tanggung
jawab duniawi sekaligus ukhrawi. Bahkan, meminjam bahasa Hiroko Horikoshi
(1987), seorang rais am adalah perpaduan antara kepemimpinan moral dan
spiritual. Ia adalah brahmana yang sudah "talak tiga" dengan
kepentingan dunia.
Seorang rais am harus berkualitas. Ia harus memiliki
kualifikasi-kualifikasi baku kealiman dalam terminologi dan versi NU. Ia
harus alim, fakih, zahid, wara'i, dan organisatoris. Karena rais am harus
berkualitas, penentuannya pun harus menggunakan sistem kualitatif, bukan
kuantitatif.
Kita tahu bahwa pada pasal 41 Anggaran Rumah Tangga (ART)
NU disebutkan, rais am dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui
musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar setelah yang
bersangkutan menyampaikan kesediaan. Artinya, terdapat dua mekanisme
penentuan rais am yang bisa dijadikan opsi pemilihan dan penetapan. Yang
pertama musyawarah mufakat dan kedua pemungutan suara.
Sistem musyawarah mufakat yang kemudian diputuskan di
munas PB NU pada 15 Juni lalu, menurut hemat saya, adalah pengejawantahan
dari cara penentuan rais am yang bersifat kualitatif sebagaimana yang saya
maksud tersebut. Sebab, urut-urutannya seperti ini. Seluruh cabang dan
wilayah NU mengusulkan nama-nama orang alim yang dipandang layak menjadi
AHWA. Nama-nama yang masuk tersebut akan di-ranking sembilan orang yang memiliki akseptabilitas tertinggi.
Sembilan orang tersebutlah yang kemudian ditetapkan sebagai AHWA. Di tangan
sembilan orang itulah, melalui mekanisme musyawarah mufakat, rais am
ditunjuk.
Memaknai musyawarah mufakat tidak berarti hanya terbatas
pada diskusi dan perdebatan. Di NU ada tradisi istikharah, meminta petunjuk
kepada Allah sebelum mengambil sebuah keputusan. Dan tentu saja musyawarah
mufakat tersebut bisa dipastikan juga akan diwarnai peranti-peranti
"ritual-kultural" NU sebagaimana istikharah, riyadah, dan
sebagainya.
Penentuan rais am melalui mekanisme AHWA itu, dalam hemat
saya, menjadi bukti bahwa NU lebih mengedepankan kualitas daripada kuantitas
dalam menentukan pemimpin dan nakhoda tertingginya. Lagi pula, jika rais am
dipilih langsung oleh muktamirin, sebagaimana kita khawatirkan, aroma politik
kian merebak. Dan itu sama sekali tidak laik dan tak kita inginkan
menggerogoti marwah rais am sebagai simbol supremasi dan marwah organisasi.
Walhasil, Munas Alim Ulama NU 2015 bisa dikatakan sebagai
momentum kembalinya ghirah (girah) ulama untuk berkhidmat dan melanjutkan
komitmen dalam menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara. Semoga. Wallahu a'lam bis-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar