Tantangan
Pertumbuhan Investasi Santo Rizal Samuelson ; Ekonom, Dosen, dan
Finance & Economy Analyst di PT Graha Prima Energy |
KOMPAS, 10 Mei 2021
Relatif tidak ada kejutan
berarti terkait penunjukan (kembali) Nadiem Makarim sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan-Riset Teknologi dan penunjukan Bahlil Lahadalia
sebagai Menteri Investasi. Penggabungan Kemenristek
dan Kemendikbud melahirkan kontroversi karena disinyalir akan mengecilkan
peran riset dan teknologi. Fokus pengembangan riset dan inovasi akan
terganggu. Negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, justru
memisahkan kementerian pendidikan dengan kementerian riset dan
teknologi/inovasi. Pembentukan Kementerian Investasi
adalah strategi Presiden Joko Widodo memacu pertumbuhan investasi agar
menciptakan lebih banyak lapangan kerja sesuai arah kebijakan pemerintah
dalam omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Sukses tidaknya kedua
kementerian baru akan sangat bergantung pada kemampuan dan kecepatan dalam
mengeksekusi visi dan misi Presiden. Pembentukan kementerian baru harus
menjadi langkah maju membawa Indonesia keluar dari jebakan negara
berpenghasilan menengah (middle income trap) menuju negara dengan
perekonomian berbasis industri maju. Bonus demografi menjadi modal besar
menciptakan SDM unggul dan inovatif. Indonesia harus belajar
dari pengalaman buruk masa lalu. Sebelum krisis moneter melanda Asia Pasifik
(1997-1998), Indonesia sudah menuju menjadi negara yang mengandalkan industri
pengolahan. Ekspornya didominasi oleh industri padat karya, seperti tekstil,
elektronik dan alas kaki. Setelah krisis moneter, Indonesia malah bergantung
pada perdagangan sumber daya alam (SDA) hingga terlena bonanza komoditas
(batubara dan minyak sawit/CPO) dalam rentang tahun 2007-2013. Perlombaan menuju negara
berkembang dengan kemajuan sektor manufaktur berbasis revolusi industri 4.0
semakin kompetitif. Apabila Indonesia masih menerapkan paradigma ekonomi
kolonial (gali, ambil, dan jual) yang mengandalkan komoditas semata, niscaya
akan semakin tertinggal dari negara kompetitor selevel Thailand, Malaysia,
dan Vietnam dan malah berpotensi dikejar negara medioker, seperti Etiopia,
Sri Lanka, dan Bangladesh. Contoh sukses negara yang
berhasil bertransformasi menjadi negara industri maju adalah Jepang dan
Korsel yang mengandalkan pembangunan SDM, riset, dan penguasaan iptek. Pertumbuhan investasi
menjadi critical point dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi.
UU Cipta Kerja diyakini mampu menarik investasi yang kemudian akan
menciptakan banyak peluang kerja dan bisnis. Penerimaan devisa dan pajak juga
akan terdongkrak naik. Semakin banyak orang bekerja dan berbisnis tentu
berdampak positif pada penerimaan pajak, terutama Pajak Penghasilan dan Pajak
Pertambahan Nilai. Aspek
kritikal Berikut beberapa aspek
kritikal yang harus terus dibenahi pemerintah dan seluruh pemangku
kepentingan dalam peningkatan pertumbuhan investasi. Pertama, pengendalian
pandemi Covid-19, yang masih belum berakhir, secara cepat dan tuntas, agar
dapat mendorong percepatan normalisasi ekonomi dan bisnis, menggenjot kinerja
pertumbuhan sektor riil, serta peningkatan kepercayaan pasar dan masyarakat. Peningkatan daya beli dan
konsumsi masyarakat akan mendorong pembukaan lapangan kerja melalui ekspansi
usaha dan peningkatan utilisasi pabrik-pabrik manufaktur. Tanpa langkah nyata
pengendalian pandemi, sangat sulit bagi pelaku usaha mempertahankan
eksistensi bisnis. Modal yang dikeluarkan habis tergerus beban operasional
yang lebih besar daripada pendapatan. Biaya operasional semakin berat karena
kenaikan upah dan bahan baku di sejumlah wilayah, peningkatan biaya kesehatan
karyawan (vaksinasi, disinfeksi ruang kerja, pemberian vitamin, dan tes
kesehatan), hingga pemotongan subsidi pemerintah untuk korporasi. Kedua, penyelesaian
problematika tata kelola dan aturan pelaksana UU Cipta Kerja secara patuh
(prudent) dan konsisten. Jangan sampai menimbulkan preseden buruk dengan
membebani pelaku usaha dan investor secara berlebihan. Implementasi aturan
pelaksana omnibus law harus selaras dari pusat sampai daerah agar bisa
menciptakan efisiensi riil sehingga menarik penanaman modal asing (PMA) atau
foreign direct investment (FDI). Arus masuk FDI menjadi katalis dalam
peningkatan produktivitas ekspor serta percepatan adopsi teknologi dan
integrasi Indonesia ke dalam rantai pasok global (global supply chain). Permasalahan klasik
terkait integrasi hulu-hilir industri serta daya saing produk dan
ketersediaan data yang akurat harus segera dituntaskan. Reformasi struktural
ekonomi dan bisnis yang belum tercakup di UU Cipta Kerja harus diselesaikan,
seperti efisiensi rasio investasi kapital terhadap output (ICOR), efisiensi
rantai pasok dan logistik, keterjangkauan biaya energi (listrik),
keterbatasan tenaga kerja terampil (skilled workers), serta problematika
skills mismatch pekerja dan produktivitas. Tanpa pembenahan aneka
persoalan industrial, kelemahan struktural ekonomi dan bisnis nasional akan
terus berulang dan jadi beban berat bagi pertumbuhan ekonomi. Pembangunan
infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara, sudah tepat
dan patut diapresiasi. Namun, percuma jika tak menaruh perhatian serius pada
pembaruan tata kelola sistem dan pembangunan SDM berdaya saing, sehat, dan
inovatif dalam mengarungi era revolusi digital. Daya
saing inovasi Ketiga, peningkatan indeks
inovasi, riset, dan pendidikan vokasi yang berfokus pada penguasaan
keterampilan dan keahlian spesifik menjadi kunci sukses membekali anak bangsa
bersaing di percaturan global. Dalam indeks inovasi global (IIG) 2020,
Indonesia memiliki skor indeks 26,49, urutan ke-85 dari 131 negara. Kalah
dari pesaing di ASEAN. Singapura (8), Malaysia (33), Thailand (44), Vietnam
(42), dan Filipina (41). Posisi tiga besar adalah Swiss (skor indeks 66,08),
Swedia (62,47), dan AS (60,56). Semakin tinggi indeks
inovasi, maka semakin maju perekonomian suatu negara. Indikator IIG meliputi
institusi, infrastruktur, output pengetahuan dan teknologi, SDM dan riset,
serta kecanggihan bisnis dan pasar. Pemerintah harus menaruh perhatian ekstra
terhadap anggaran riset nasional meskipun menjadi tantangan tidak ringan
karena fokus Kemendikbud-Ristek terbelah. Konsep triple helix
mendorong industri membentuk poros kerja sama solid dengan akademisi/peneliti
dan pemerintah sebagai fasilitator pendanaan dan fasilitas riset. Riset dan
inovasi harus jadi tulang punggung dalam proses berkesinambungan. Jika tidak,
alamat buruk bagi hilirisasi produk yang dihasilkan. Data Bank Dunia 2020
menyebutkan, anggaran riset Indonesia tergolong kecil, hanya 0,28 persen dari
PDB. Rata-rata dunia 2,04 persen, Malaysia 1,4 persen, Singapura 1,9 persen,
China 2,1 persen, Jepang 3,2 persen, dan Korsel 4,8 persen. Data UNESCO (2018)
menyebutkan, anggaran riset Indonesia masih ditopang kontribusi pemerintah
(88 persen), sementara swasta 12 persen. Swasta di Thailand (81 persen),
Singapura (52 persen), serta China dan Korsel (77 persen). Keempat, pemerataan
pertumbuhan investasi dan efisiensi rasio nilai investasi terhadap penyerapan
tenaga kerja. Berdasarkan data BKPM,
realisasi penerimaan investasi kumulatif Januari-Desember 2020 sebesar Rp
826,3 triliun, terdiri dari PMDN Rp 413,5 triliun dan PMA Rp 412,8 triliun.
Tumbuh 2,06 persen (yoy) dan melampaui
target Rp 817,2 triliun. Realisasi investasi
kuartal I-2021 sebesar Rp 219,7 triliun, terdiri dari PMA Rp 111,7 triliun
dan PMDN Rp 108 triliun. Nilai investasi telah mencapai 24,4 persen dari
target 2021 sebesar Rp 900 triliun dan meningkat 4,3 persen yoy. Penyerapan
tenaga kerja dari realisasi investasi kuartal I-2021 sebanyak 311.793 orang. Penyerapan
tenaga kerja Selain pemerataan secara
kontribusi, aspek penyerapan tenaga kerja harus diperhatikan. Penerimaan investasi
meningkat drastis lima tahun terakhir (2015-2020). Nilai investasi 2020 naik
51,5 persen dibandingkan 2015 (Rp 545,4 triliun). Namun, penyerapan tenaga
kerja justru merosot 19,5 persen dari 1,43 juta jiwa (2015) menjadi 1,15 juta
(2020). Adapun realisasi investasi 2016-2019 sebesar Rp 612,8 triliun Rp
692,8 triliun, Rp 721,3 triliun, dan 809,6 triliun. Serapan tenaga kerja 1,39
juta (2016), 1,17 juta (2017), 960.000 (2018), dan 1,03 juta (2019). Selama masa pemerintahan
Jokowi, kalkulasi rasio antara nilai penerimaan investasi terhadap jumlah
serapan tenaga kerja adalah Rp 714,5 juta per tenaga kerja (2020), Rp 783,1
juta (2019), Rp 751,3 juta (2018), Rp 588,9 juta (2017), Rp 440,1 juta
(2016), dan Rp 379,9 juta (2015). Faktor kritikal penurunan serapan pekerja
adalah investasi manufaktur yang menyerap banyak pekerja melemah 35,7 persen
dari Rp 335,8 triliun (2016) menjadi Rp 216 triliun (2019). Wajib diperhatikan agar
pertumbuhan investasi tak terpaku pada aspek kuantitas. Penanaman investasi
80-90 persen dalam bentuk bangunan (property asset), investasi dalam bentuk
mesin dan peralatan masih di kisaran 10 persen. Komposisi seperti ini kurang
mendongkrak produktivitas dan kinerja ekspor manufaktur. Padahal, jika dunia
industri berhasil mencapai utilisasi kapasitas produksi hingga 90 persen,
investor akan datang sendiri. Kelima, tantangan
menciptakan iklim investasi dan bisnis kondusif dan terhindar dari praktik
koruptif. Perizinan dan proses akuisisi lahan untuk pembukaan pabrik jangan
rumit dan tumpang tindih serta harus bebas pungutan liar. Reformasi birokrasi
dan transformasi regulasi menjadi harga mati dalam upaya mendapatkan
kepercayaan investor, pasar, dan dunia usaha. Terakhir, politik kebijakan strategis dan
komunikasi publik. Kesatuan derap langkah kebijakan antara pusat dan daerah
serta antara kementerian dan lembaga menjadi vital. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar