Ratapan
Abadi di Afghanistan Tajuk Kompas ; Dewan Redaksi Kompas |
KOMPAS, 11 Mei 2021
Sebelum pasukan AS dan
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) diputuskan ditarik dari Afghanistan,
kekerasan bersenjata sudah seperti
bagian dari kehidupan di negara itu. Setelah pasukan asing diumumkan
ditarik dari negeri tersebut, kekerasan semakin intens dengan skala
kebrutalan yang tak terbayangkan. Pelaku serangan sudah gelap mata, tak
membedakan target militer atau sipil, dewasa atau anak-anak, laki-laki atau
perempuan, lokasi pertempuran atau sekolah. Nyawa dan kehidupan seolah sudah
tak ada harganya. ”Saya sudah tidak tahu
lagi, negeri macam apa tempat kami tinggal ini,” ucap salah satu kerabat
korban serangan bom di depan sekolah
Sayed ul Shuhada di Distrik Das-i-Barchi di pinggiran ibu kota Kabul,
Sabtu (8/5/2021). Sedikitnya 68 orang, kebanyakan siswi dan perempuan remaja
usia 12-20 tahun, tewas, serta 165 orang terluka. Pilihan tempat dan waktu
peledakan, yakni saat para siswi keluar dari sekolah, memperkuat kekhawatiran
bahwa kelompok-kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak, menjadi
korban paling menderita akibat kekerasan di Afghanistan. Masih terngiang ratapan
itu, belum kering air mata, dan belum
sembuh duka akibat insiden itu, Senin (10/5) di Provinsi Zabul, wilayah
selatan negara itu, ranjau jalan meledakkan bus, menewaskan 11 orang dan melukai 28 orang, termasuk
perempuan dan anak-anak. Senin dini hari, ledakan juga menghantam minibus di
Provinsi Parwan, utara Kabul, menewaskan dua orang dan melukai sembilan
orang. Ratapan demi ratapan terus bergema di Afghanistan, seolah itu abadi. Kekerasan melonjak
beberapa pekan terakhir setelah AS mengumumkan penarikan pasukannya dari
Afghanistan paling lambat 11 September 2021. Penarikan pasukan ini bagian
dari kesepakatan AS dan Taliban di Doha, Qatar, 2020. Dalam kesepakatan itu,
AS meminta jaminan kepada Taliban bahwa Afghanistan tidak dijadikan pangkalan
serangan-serangan teroris ke AS. Bagaimana Afghanistan? Diharapkan yang
bertikai, terutama pemerintahan Presiden Ashraf Ghani dan Taliban, berdialog
membentuk pemerintahan. Namun, bukan dialog yang
mengemuka, melainkan justru konflik, pertempuran, dan kekerasan. Berulang
kali Taliban dibujuk kubu Ghani untuk duduk bersama merancang masa depan
Afghanistan. Namun, tak ada tanda-tanda kelompok itu bersedia berdialog. Itu
sebabnya, seperti dituduhkan Ghani dalam artikelnya di jurnal Foreign
Affairs, 4 Mei 2021, Taliban terlihat lebih tertarik pada kekuasaan daripada
perdamaian. Jika jalan perdamaian tampak suram, bagaimana meminimalkan
kekerasan akibat penarikan pasukan asing? Melalui Twitter, Dubes China untuk
Afghanistan Wang Yu melontarkan kritik bahwa hendaknya penarikan pasukan
asing dilakukan secara bertanggung jawab agar tidak memantik kekacauan lebih
besar, yang memicu penderitaan rakyat Afghanistan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar