”Quo
Vadis” Independensi KPK Kristianus Jimy Pratama ; Peneliti Hukum;
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada |
KOMPAS, 11 Mei 2021
Perjalanan panjang dalam pengujian
formil dan materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang dikenal juga
sebagai UU KPK hasil revisi telah menemui babak akhir. Babak akhir tersebut
ditandai melalui ketok palu majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan pengujian formil untuk seluruhnya dan mengabulkan permohonan
pengujian materiil untuk sebagian. Dalam amar Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, majelis hakim MK menyatakan bahwa
KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan mana pun, tetapi tergolong
dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Memahami hal tersebut sejenak membuat saya
menghela napas dalam. Saya kembali mencoba untuk
mengingat betapa masifnya aksi penolakan berbagai kalangan menuntut RUU KPK
tidak disahkan dalam tempo yang amat singkat. Bahkan, kalangan mahasiswa
terbilang vokal pada aksi penolakan tersebut. Berkenaan dengan dua
fenomena tersebut, tibalah saya mengikhtiarkan diri untuk menyelami sebuah
analogi kritis-korelatif antara independensi mahasiswa dan independensi KPK
pasca-Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019. Mari kita memulai analogi tersebut
dengan membedah kebebasan yang dimiliki oleh keduanya. Seorang mahasiswa dapat
secara bebas mengemukakan pendapat ataupun aspirasinya, baik pada forum
akademik maupun dalam organisasi kemahasiswaan. Bahkan, tidak jarang
mahasiswa dapat mengemukakan kritik terhadap suatu kebijakan yang diterapkan
oleh perguruan tinggi ataupun pemerintah. Meskipun demikian, kebebasan
mahasiswa tersebut juga terikat pada sebuah kode etik mahasiswa untuk dapat
menjaga martabat dan nama baik almamaternya. Jadi, kode etik mahasiswa
menjadi salah satu batasan bagi mahasiswa dalam mengekspresikan diri dan
pendapatnya. Sementara di sisi lain,
KPK yang digolongkan dalam rumpun kekuasaan eksekutif memiliki independensi
dalam melakukan tindakan pro justisia, seperti tindakan penyadapan,
penyidikan, penyitaan, hingga penggeledahan. Meskipun demikian, kebebasan KPK
secara kelembagaan telah dibatasi oleh sebuah ”kode etik”, yaitu kedudukannya
dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Disparitas Apabila dianalogikan
secara saksama, KPK dapat diposisikan sebagai seorang mahasiswa dalam
organisasi mahasiswa yang berupaya untuk mengkritisi kebijakan organisasi
mahasiswa lain dalam satu fakultas yang sama. Tentulah dapat mudah untuk
dipahami, gejolak yang muncul dalam hubungan antara kedua organisasi
mahasiswa tersebut akan menciptakan disparitas di antara keduanya. Disparitas tersebutlah
yang akan menjadi tantangan ataupun ujian besar terhadap independensi KPK
dalam pengimplementasiannya. Selain itu, KPK juga akan menghadapi ujian
independensinya dari seluruh lapisan masyarakat karena KPK tidak lagi menjadi
lembaga negara yang memiliki kemandirian kedudukan yang penuh dalam
perspektif ketatanegaraan. KPK dalam rumpun kekuasaan
eksekutif manakala melakukan tindakan pro justisia kepada rumpun kekuasaan
lain akan menyimpangkan konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh
Montesquieu. Bahwa suatu cabang kekuasaan tidak diperkenankan untuk melakukan
tindakan intervensi kepada cabang kekuasaan lain. Hal ini seperti halnya
seorang mahasiswa dalam sebuah organisasi mahasiswa yang berbeda fakultas
mencoba untuk mengkritisi kebijakan organisasi mahasiswa fakultas lain. Tentulah perilaku mahasiswa dalam analogi
tersebut menjadi tidak patut untuk melakukan sebuah intervensi. Pada
akhirnya, saya menjumpai sebuah konklusi atas analogi tersebut melalui sebuah
pertanyaan reflektif. Apakah KPK akan menjalani independensinya sebagai
”mahasiswa yang kritis” atau justru akan lebih terikat pada kode etiknya? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar