Politik
Kehidupan dalam Bekapan Pandemi Arif Susanto ; Analis politik
Exposit Strategic; Pegiat Lingkaran Jakarta |
KOMPAS, 7 Mei 2021
Berlarut dalam bekapan pandemi Covid-19
memberi kita tambatan kuat untuk merefleksikan peran pemerintahan negara
dalam tatanan demokrasi kontemporer. Ketika ekonomi pasar tidak mampu menjadi
jawaban tunggal persoalan, solidaritas warga dan keterlibatan negara kembali
berperan menutup lubang. Demi menjawab tantangan, prosedur demokrasi
membutuhkan suntikan teknokratisme dan komitmen lebih kuat pada politik
kehidupan. Kualitas
pemerintahan ”Pandemi Covid-19 masih jauh dari akhir,”
kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros A Ghebreyesus.
Selain kebingungan, menurut WHO, kepuasan diri dan inkonsistensi kebijakan
kesehatan publik berkontribusi terhadap situasi tersebut. Fase kritis kini
malah membekap kembali dunia setelah lonjakan kasus-kasus baru di banyak
negara. Krisis-krisis berskala global kerap
menyediakan suatu momentum untuk menimbang ulang relasi segitiga antara
negara, pasar, dan warga. Pandangan Scott Galloway (2020) tampak mewakili:
”Kita perlu menangani secara serius negara agar kita dapat kembali menggeluti
secara serius kapitalisme sebagai suatu sistem produksi yang dapat
memperbaiki kehidupan.” Daya lenting para pelaku pasar membuat
sebagian mampu bertahan dengan mengubah krisis menjadi kesempatan. Namun,
pandemi memperburuk distribusi sumber daya dan memperlebar ketimpangan. Dalam
krisis, kerentanan yang ditinggalkan ekonomi pasar dapat ditutup lebih baik
oleh solidaritas warga bersama jaring pengaman yang disediakan negara. Kritik lama bahwa ekonomi pasar tidak cukup
diri dan demokratisasi atasnya memerlukan peran lebih besar negara belumlah
usang. Di tengah deraan pandemi, artikulasi solidaritas menggaungkan
kebutuhan tentang tatanan alternatif bahwa kepentingan diri tidak menjadi
penggerak tunggal pertukaran dan kebebasan untuk bertindak. Skeptisisme terhadap kapitalisme, walakin,
tidak semenantang keraguan tentang efektivitas demokrasi di hadapan pandemi.
Kebutuhan proteksi banyak dijawab penguatan eksesif kekuasaan negara,
termasuk untuk melakukan pengawasan yang menciutkan kebebasan warga.
Demokrasi perlu siasat lebih genial untuk menjawab krisis perlindungan
kehidupan. Kesehatan warga menjadi pertaruhan
kebijakan buruk berbagai pemerintahan terpilih, tetapi minus kompetensi.
Inefektivitas kebijakan diperparah pembelahan kepentingan, yang menghambat tercapainya
konsensus politik. Namun, ini bukan berarti bahwa pemerintahan otoriter yang
mengabaikan prosedur konsultasi publik dan bertindak sepihak itu lebih
unggul. Fareed Zakaria (2020) menunjukkan bahwa
keburukan pemerintahan yang menghinggapi negara-negara yang babak belur
dihantam pandemi bukanlah suatu kegagalan sistemik yang inheren dalam
demokrasi. Problem pokoknya adalah tentang kualitas pemerintahan, dan ini
menjadi pembeda antara negara yang bekerja efektif melawan pandemi dan yang
sebaliknya. Banyak pemimpin dikritik karena tidak becus
menciptakan formula kebijakan antikrisis. Sekitar 3 juta orang telah
meninggal karena Covid-19 di seluruh dunia. Yang paling menyedihkan adalah
kenyataan bahwa dengan sumber daya besar kekuasaan, mereka gagal memprioritaskan
perlindungan kehidupan. Politik kehidupan dalam pertanyaan besar. Investasi
pada kehidupan Manusia modern, sebut Michel Foucault
(1978), mengubah politik dengan menjadikan kehidupan mereka sebagai pokok
pergulatan. Negara modern tidak berkutat dengan subyek legal sebagai sasaran
hukuman demi penegasan kekuasaan. Bagi Foucault, pemeliharaan kehidupan,
bukan ancaman kematian, yang memberi akses kekuasaan negara atas diri. Negara bukanlah sang daulat yang berhak
menentukan siapa yang dibiarkan hidup dan siapa yang harus mati. Demokrasi
telah membalik posisi sang daulat dan membebankan tugas kepada negara untuk
memastikan, memelihara, dan bahkan melipatgandakan kehidupan. Fungsi
tertinggi kekuasaan adalah, simpul Foucault, untuk berinvestasi pada
kehidupan. Perhatikan bagaimana negara-negara dengan
sistem kesehatan publik lebih baik mampu pula melindungi lebih baik warga
negara mereka selama masa pandemi. Ini bukan semata tentang seberapa besar
anggaran dialokasikan untuk sektor dimaksud, tetapi terutama adalah tentang
komitmen dan tanggung jawab pemerintah pada pemeliharaan hidup. Suatu pemerintahan yang berinvestasi pada
kehidupan, sesungguhnya, sedang menabung untuk mendapatkan kepercayaan warga.
Menjadi basis legitimasi, kepercayaan tersebut pada gilirannya menumbuhkan
kepatuhan warga untuk menaati aturan, dan hal yang sama memberi kontribusi
pada perlindungan dari kemungkinan dampak lebih parah pandemi. Tuntutan peningkatan kapasitas tidak lantas
berarti kebutuhan perluasan secara eksesif lingkup kekuasaan negara. Francis
Fukuyama (2004) menyebut bahwa pemerintahan negara yang lebih ramping, tetapi
lebih kuat, dapat menjawab lebih tepat kebutuhan. Konstruksi kelembagaan yang
demikian juga merupakan elemen penting penguatan kedaulatan negara. Dengan tantangan yang semakin kompleks,
pemerintahan kuat membutuhkan sandaran kukuh pada kemajuan sains.
Teknokratisme selanjutnya semakin intens mengendalikan laju pemerintahan,
tetapi komitmen pada politik kehidupan lebih menentukan arah tujuannya. Hal
terakhir menghindarkan demokrasi untuk tidak menjadi proses sepenuhnya
mekanistis. Kapan pandemi Covid-19 berakhir masih
menjadi misteri, tetapi terang bagi kita bahwa penanggulangannya menuntut
kehadiran pemerintahan yang responsif pula antisipatif. Dunia pascapandemi
membutuhkan komitmen politik lebih besar pada pemeliharaan kehidupan dan
suntikan teknokratisme membantu demokrasi untuk menjawab persoalan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar