Merayakan
Keterbatasan M Alfan Alfian ; Dosen Magister Ilmu
Politik, Universitas Nasional, Jakarta |
KOMPAS, 7 Mei 2021
Beberapa kali di harian Kompas saya menulis
tentang refleksi mudik Idul Fitri. Saya pernah menulis dengan judul
”Merayakan Keindonesiaan” (Kompas, 1 Juni 2017) dan ”Merayakan Kemanusiaan”
(Kompas, 19 Juni 2018). Kali ini, dengan adanya kebijakan larangan mudik oleh
pemerintah sebagai antisipasi berkembangnya pandemi Covid-19, terpaksalah
saya membuat tulisan, ”Merayakan Keterbatasan”. Pada hakikatnya manusia dilahirkan dalam
kondisi terbatas, dia nyaris tidak bisa berbuat apa-apa kalau tidak ada orang
lain yang lebih dewasa. Manusia lahir berjumpa dengan alam dunia yang
barangkali saja kelak dia pahami sebagai absurd. Dunia penuh absurditas dan,
di tengah ragam tantangan, dia harus eksis. Hidup harus berjalan, betapa pun
kejamnya penderitaan. Betapa pun demikian, Tuhan menyukai orang yang
bersyukur. Sabar dan syukur adalah jawaban. Dengan
bersabar, segala cobaan kita hadapi dengan ikhlas. Dengan selalu bersyukur,
kita terhindar dari kesombongan. Manusia makhluk serba terbatas. Dia tak
punya apa-apa. Yang merasa kaya dengan segala kekayaan materi, apakah materi
itu akan terus dibawa sampai ke liang kubur? Yang dibawa amal kebaikannya.
Manusia serba terbatas, justru dia tidak membawa apa-apa ketika hadir di
dunia. Kelak, semua yang kita catat sebagai yang miliki, semua itu hanya
titipan. Bak syair lagu Koes Plus, dalam tidurmu semua akan hilang. Justru karena manusia makhluk serba
terbatas, dia tidak punya hak sama sekali untuk sombong. Kesombongan akan
meluluhlantakkan semuanya. Perbuatan manusia tercatat. Yang berbuat baik
kendati sebesar biji sawi akan mendapat ganjaran-Nya. Juga sebaliknya. Guru
madrasah saya berpuluh tahun yang lalu mencontohkan, betapa sia-sianya tenaga
yang kau keluarkan untuk mengisi bak wudhu dengan menimba air di sumur ketika
kau lantas sombong ke teman-temanmu dengan mengatakan, kalau bukan karena
aku, para jamaah tidak bisa berwudhu. Hanya sekadar mengatakan ini semua ada
karena aku, itu sudah ditafsirkan sebagai kesombongan. Mengapa? Karena
manusia serba terbatas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan-Nya.
Mengabaikan kekuatan ilahiah dalam kehidupan sehari-hari fatal akibatnya.
Betapa pun demikian, banyak yang merasa tidak tahu-menahu tentang hal ini.
Aspek religiositas dianggap tidak penting. Itu ironis, padahal melalui
dimensi religiositas itulah manusia menjadi sensitif terhadap sesamanya. Dalam pandangan Idul Fitri, manusia seolah
lahir kembali dalam kondisi asal atau fitrahnya yang suci. Pandangan ini
menganggap bahwa semua manusia lahir dalam kondisi sedemikian. Pandangan yang
sangat positif itu mengasumsikan bahwa dalam dinamika hidup manusia,
sejahat-jahatnya dia, secara naluriah tetap ada keinginan berbuat baik.
Apakah keinginan itu kuat atau lemah, atau belum sempat terwujud hingga
seseorang meninggal, semua ada perhitungannya. Karena itu, justru dengan menyadari
keserbaterbatasannya, manusia senantiasa berikhtiar untuk kebaikan. Manusia
berjuang untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik. Dalam ajaran agama
Islam, Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak dan
Rasul memberikan suri teladan yang baik (uswatun hasanah). Mengemuka pula
ajaran bahwa sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi sesama.
Kemanfaatanlah yang menjadi patokan, apakah manfaat bagi sesama manusia,
lingkungan hidup, ataupun sesama makhluk Tuhan lainnya. Menyadari adanya keterbatasan itulah,
manusia berjuang untuk berserah. Perjuangan untuk berserah diri kepada-Nya
ialah perjuangan seumur hidup. Tidak ada daya dan upaya, itu semua dari Yang
Maha Kuasa. Pandemi Uraian di atas barangkali selaras dengan
kondisi kita, warga dunia, ketika dunia tengah dikepung pandemi Covid-19.
Pandemi yang sudah berlangsung lebih dari setahun ini mencatatkan betapa
terbatasnya kemampuan manusia untuk mengantisipasinya. Bahkan, kini, varian
Covid-19 semakin bermacam-macam, berlomba dengan segala daya dan ikhtiar
manusia untuk melawannya. Segala macam kegiatan yang menghadirkan orang
banyak tidak dianjurkan, bahkan dilarang. Bahkan, kita sempat menyaksikan
bagaimana Mekkah, tempat umat Islam naik haji, ditutup dan dibatasi
jemaahnya. Pandemi tidak mengenal sentimen primordial.
Dia menyasar ke siapa saja, termasuk terutama mereka yang tidak mematuhi
protokol kesehatan. Dalam konteks inilah kebijakan pemerintah yang membatasi
mudik Lebaran bisa dipahami. Memang berat rasanya. Saya bisa merasakannya
karena saya termasuk satu dari ribuan, bahkan jutaan, pemudik di masa normal.
Kendati demikian, tetaplah Idul Fitri kita rayakan bersama kendati di tengah
keterbatasan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar