Pendidikan
Transformatif, Pentingkan Proses dan Substansi Rakhmat Hidayat ; Dosen Sosiologi
Universitas Negeri Jakarta, Sekretaris Asosiasi Profesi Pendidik dan Peneliti
Sosiologi Indonesia (AP3SI) |
KOMPAS, 4 Mei 2021
Peringatan Hari Pendidikan Nasional atau
Hardiknas 2020 dan 2021 sangat istimewa daripada tahun-tahun sebelumnya.
Sepanjang 2020, pendidikan nasional dihadapkan dengan kondisi pandemi
Covid-19. Pandemi global ini memberikan dampak semua proses pendidikan
berlangsung di rumah (daring/online/PJJ). Pendidikan di Indonesia mengatur pendidikan
formal, nonformal, dan informal dengan berbagai variannya. Dalam waktu
bersamaan, semua jenis pendidikan itu tak bisa berfungsi sesuai dengan
kapasitasnya. Pendidikan formal masih bisa berjalan dengan ragam
kompleksitasnya. Sementara jutaan orang tergantung dari nasibnya pada
praktik-praktik pendidikan nonformal yang tersebar di pelosok Indonesia. Di sisi lain, orientasi pendidikan masih
terjebak pada hasil, bukan proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan masih
dikelola dalam pendekatan tradisional, yaitu tatap muka. Pendekatan
nontradisional yang tidak dengan tatap muka masih dianggap ”nonpedagogis”
karena dianggap kurang efektif, tak substansial, dan sebagainya. Masalah lain yang kita hadapi adalah
infrastruktur pendidikan kita gagap dalam merespons krisis Covid-19. Daya
dukung itu dalam bentuk platform teknologi digital. Infrastruktur terkait
juga dengan sumber/media pembelajaran. Masalah koneksi/sinyal internet di
daerah-daerah luar Jawa. Bagi masyarakat di Jawa, urusan sinyal/koneksi
internet atau koneksi listrik masih bisa berjalan normal, tetapi itu masalah
serius bagi yang tinggal di luar Jawa. Bahkan, beberapa daerah di Jawa masih
terkendala sinyal/koneksi internet/listrik. Kehilangan
esensi Sama halnya 2020, peringatan Hardiknas 2021
menjadikan bahan refleksi pendidikan yang berlangsung pada era pandemi.
Selama pandemi, praktik pendidikan ibarat menjadi paradoks dalam masyarakat
kontemporer. Di satu sisi, kita merayakan apa yang disebut masyarakat
digital, di mana semua lapisan masyarakat bisa menggunakan berbagai platform
pendidikan. Di sisi lain, penggunaan platform itu
dengan keterbatasan ruang dan waktunya telah mengakibatkan pendidikan
kehilangan esensinya. Pendidikan terlokalisasi ke dalam berbagai platform
pendidikan yang mengurangi emansipasi pendidikan, yaitu mencerahkan individu.
Pendidikan secara mekanis masih berjalan, tetapi krisis secara humanis. Pendidikan
terjebak pada beban administratif agar tidak lumpuh sama sekali. Pendidikan yang ada adalah etalase
artifisial yang ditonjolkan semua aktornya, baik guru/dosen maupun
murid/mahasiswa. Kita kesulitan menemukan ruang pendidikan otensitas karena
sekat platform yang ada. Ditambah masalah yang mengitarinya, seperti
akses internet, gawai, dan sinyal. Ruang otensitas itu dijumpai pada
kapasitas dialog, interaksi, pertukaran nilai dan budaya pendidikan yang
seharusnya berlangsung kontinu di masyarakat. Pendidikan juga kehilangan
nalar kritis dan sopan santun yang selama ini dipupuk di ruang pendidikan. Atas nama digital, pendidikan memagari
derajat interaksi dan keintiman interaksi itu. Yang ada adalah ruang virtual
yang memanipulasi wajah pendidikan itu sendiri. Ruang virtual berjuang
mengamankan pendidikan dari keterpurukannya dan kita semua tergopoh-gopoh
menjalaninya. Pada praktik artifisial itu, kita
menyaksikan bagaimana murid/mahasiswa kehilangan motivasi untuk belajar dan
kurang antusias mengikuti pelajaran. Mereka malah sibuk sendiri bermain gawai
tanpa fokus mengikuti pelajaran dari guru/dosennya. Di sisi lain, kita
menjumpai fenomena stres, depresi, dan kejenuhan dalam pembelajaran daring
tersebut. Secara psikologis, kondisi ini tak sehat.
Tak ada tatap muka menyebabkan tak terwujudnya ruang dialog sebagai elan
vital pendidikan. Pembelajaran daring sulit menciptakan dialog interaktif di
ruang-ruang kelas. Dengan membangun dialog interaktif, pendidikan bisa
berjalan pada jalur sebenarnya. Dialog yang dimaksud adalah bagaimana
pendidikan membawa peserta didik melibatkan pada konteks pembelajaran yang
berlangsung. Dialog antara ranah teoretis dan empirisme, yaitu dunia sosial
masyarakat. Dalam membangun konteks tersebut berlangsung pertukaran pemikiran
ataupun nilai yang berlangsung dialektis. Adanya dialog interaktif itu memungkinkan
kesadaran kritis terbentuk dalam praktik pendidikan. Pendidikan bukan sekadar
penyampaian materi dan substansi materi kepada peserta didik. Pendidikan tak
semata-mata menunaikan kewajiban administratif. Pendidikan memerlukan proses
dialog, interaksi, dan penanaman nilai-nilai kebajikan (public virtue) secara
sistematis melalui sekolah atau universitas. Pendidikan dengan memberikan bantuan kuota
dianggap menyelesaikan masalah, tetapi lebih penting adalah menyediakan
lingkungan pendidikan yang mendukung proses pencarian esensi pendidikan itu
sendiri. Pandemi telah mengikis proses pendidikan ini dan membawanya pada
pragmatisme pendidikan. Ini membahayakan masa depan pendidikan jika kita
tidak secara out of the box
meresponsnya. Pendidikan
transformatif Pada saat pendidikan kita mengalami defisit
esensinya, kita juga disuguhi parade jargon dan slogan yang setiap hari
berwara-wiri di dunia pendidikan. Dalam dua tahun ini kita sering mendengar
slogan seperti ”Kampus Merdeka”, ”Merdeka Belajar”, ”Sekolah Penggerak”, atau
”Guru Penggerak”. Semua slogan itu bermunculan dalam alam bawah sadar
pendidikan Indonesia. Seolah tanpa cela, terlegitimasikan dalam mekanisme
pendidikan kita. Semua berlomba mempraktikkan jargon itu
sebagai manifestasi dari instrumentalisasi negara. Pada saat bersamaan,
ketika sibuk memproduksi slogan itu, kesibukan lain muncul secara sporadis
dengan berbagai polemik, seperti menghilangkan kata agama dalam Peta Jalan
Pendidikan atau polemik Standar Nasional Pendidikan. Fenomena ini menjadikan energi terkuras
mengurus hal-hal yang tak substansial dan kian mengukuhkan kondisi di mana
pendidikan kita berada di persimpangan jalan. Pendidikan terjebak dalam ruang
delusional yang mahir memproduksi slogan dan imajinasi tanpa berkaca pada
kenyataan yang ada. Fenomena delusi itu menjadikan arah pendidikan semakin
absurd dan tercerabut dari konteks sosial budayanya. Absurditas itu menjadikan pendidikan
kehilangan akar epistemologisnya dan menjadikan individu semakin terasing
dari pendidikan itu sendiri. Celakanya, sebagai kesadaran mekanistis, semua
berlomba-lomba mewujudkan slogan tersebut dalam berbagai ranah. Tanpa ditopang oleh celah kesadaran kritis
di baliknya. Adanya berbagai program itu membuktikan pendekatannya lebih ke
rasionalitas instrumental dalam program-program yang cenderung dipaksakan
sesuai slogan yang ada. Padahal, yang lebih penting adalah penguatan
kapasitas akademik seraya menyediakan ekosistem pendidikan yang mumpuni
daripada sibuk mengampanyekan berbagai slogan tersebut. Fenomena ini juga melahirkan sisi lain
dalam bentuk proyek sebagai turunan dari slogan tersebut. Paradoks pendidikan
ini membawa kita pada gagasan pendidikan transformatif yang menumbuhkan
kesadaran kolektif terhadap konteks sosial budaya dalam menciptakan keadilan
sosial. Pendidikan transformatif lebih mementingkan proses dan kerangka
substansial daripada panggung artifisial yang sarat dengan slogan dan jargon. Dominasi pengetahuan teknis instrumental
sebagaimana disajikan dalam berbagai proyek slogan itu bisa di-counter dengan
pengetahuan kritis sebagai input dialog dalam ruang pendidikan. Momentum Hardiknas 2021 sejatinya bisa
sejenak merefleksikan fenomena ini seraya mengumpulkan energi yang berserakan
untuk menata ulang pendidikan pascapandemi. Energi untuk menyusun puzzle
dalam kontak pandora pendidikan Indonesia. Selamat Hardiknas 2021! ● |
Terima kasih, Pak Budisan
BalasHapus