Jaminan
Kehilangan Pekerjaan Edy Sutrisno Sidabutar ; Peneliti
Ketenagakerjaan |
KOMPAS, 30 April 2021
Berkurang hingga separuhnya dari
sebelumnya. Itulah besaran uang pesangon bagi pekerja yang mengalami
pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu
Kerja, Hubungan Kerja, dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Sebagai contoh, PHK dengan alasan
efisiensi. Dalam ketentuan lama (UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan), pekerja berhak mendapat uang pesangon sebesar 18 bulan upah
dengan masa kerja 10 tahun. Sementara dalam PP No 35 Tahun 2021 hanya
mendapat sebesar sembilan bulan upah. Hal yang sama berlaku untuk PHK dengan
alasan perusahaan pailit, rugi, atau tutup. Tampaknya, bayangan pekerja terhadap
kompensasi PHK juga mesti berubah. Jika dalam ketentuan lama, kompensasi PHK
bisa dijadikan semacam ”tabungan masa depan” buat pekerja dan keluarganya,
kini bayangan seperti itu harus dibuang jauh. Setiap pekerja kini harus lebih
pintar-pintar mengelola upah yang diterima rutin setiap bulannya sehingga
memiliki kesiapan jika sewaktu-waktu terjadi peristiwa PHK oleh sebab apa
pun. Tentu saja itu tidak mudah. Terutama bagi
pekerja di sektor industri padat karya yang umumnya berpenghasilan sebatas
upah minimum. Bahkan, tidak jarang yang di bawah itu. Beruntung masih terdapat program Jaminan
Kehilangan Pekerjaan (JKP). Lewat PP No 37 Tahun 2021 tentang Jaminan
Kehilangan Pekerjaan, pekerja yang kehilangan pekerjaan akan mendapatkan
jaminan sosial berupa manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan
pelatihan kerja. Pekerja yang mengalami PHK berhak
mendapatkan manfaat uang tunai selama enam bulan, yakni sebesar 45 persen
dari upah sebulan selama tiga bulan pertama, dan 25 persen dari upah sebulan
untuk tiga bulan berikutnya. Meski namanya jaminan kehilangan pekerjaan,
tidak berarti setiap pekerja yang kehilangan pekerjaan berhak mendapatkan
manfaat JKP. Pekerja yang kehilangan pekerjaan disebabkan meninggal dunia,
memasuki usia pensiun, mengundurkan diri, dan cacat total dikecualikan dari
program ini. Walhasil, program JKP hanya dapat dinikmati
pekerja yang diproyeksikan masih akan bekerja atau masih memiliki kemampuan
untuk bisa bekerja kembali. Itu sebabnya, manfaat JKP bersifat kumulatif.
Manfaat uang tunai, akses terhadap pasar kerja, dan pelatihan kerja diberikan
dalam satu paket. Juga disyaratkan penerima manfaat JKP harus bersedia untuk
bekerja kembali (Pasal 19 PP No 37 Tahun 2021). Menjadi aneh dan ambigu jika pekerja yang
mengundurkan diri juga ikut dikecualikan sebagai penerima manfaat JKP sebab
pekerja yang mengundurkan masih berpotensi untuk bekerja kembali. Demikian
juga pekerja yang mengalami cacat total tetap. Masih terbuka kemungkinan
bekerja untuk jenis pekerjaan tertentu. Perlu
penyempurnaan Secara konsep, jaminan sosial bagi pekerja
korban PHK tentu saja cukup baik. Manfaat berupa uang tunai selama enam bulan
paling tidak sementara waktu dapat menopang kebutuhan hidup pekerja dan
keluarganya hingga mendapatkan pekerjaan baru. Meski demikian, pengaturan
syarat dan ketentuan JKP dalam PP No 37 Tahun 2021 sepertinya terburu-buru.
Sekadar memenuhi tenggat tiga bulan sejak UU Cipta Kerja (UU No 11 Tahun
2020) disahkan. Untuk itu perlu disempurnakan. Manfaat JKP sebaiknya bersifat alternatif
atau opsional, bukan kumulatif. Setiap pekerja yang kehilangan pekerjaan
semestinya dapat menikmati satu atau lebih dari tiga manfaat JKP. Tergantung
penyebab pekerja kehilangan pekerjaan. Pekerja yang meninggal dunia tentu saja
hanya kebagian manfaat uang tunai buat ahli warisnya. Demikian juga dengan
pekerja yang mengalami cacat total dan sama sekali tidak memungkinkan untuk
melakukan aktivitas bekerja. Pekerja yang mengundurkan diri seharusnya
tetap mendapatkan manfaat JKP karena masih memiliki kemampuan untuk bekerja
kembali. Lagi pula, dalam banyak kasus, pekerja yang mengundurkan diri juga
disebabkan perselisihan hubungan industrial dengan pengusaha. Pekerja
kontrak Pemberian manfaat JKP bagi pekerja kontrak
(perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT) juga perlu disempurnakan. Pembatasan
manfaat JKP hanya bagi pekerja kontrak yang di-PHK di tengah jalan jelas-jelas
ketentuan yang ambigu. Juga tidak sejalan dengan maksud dan tujuan program
JKP. Pekerja kontrak, baik yang di-PHK di tengah
jalan maupun yang berakhir sesuai jangka waktu PKWT, sama-sama berkepentingan
untuk bekerja kembali sehingga memenuhi syarat masuk program JKP. Lagi pula, pekerja kontrak yang hubungan
kerjanya berakhir sesuai jangka waktu PKWT ataupun yang diakhiri di tengah
jalan pada dasarnya sama-sama mendapatkan uang kompensasi (Pasal 17 PP No 35
Tahun 2021) sehingga tidak beralasan jika diperlakukan berbeda untuk program
JKP. Program JKP ini justru berpotensi lebih
menguntungkan bagi pekerja yang di-PHK karena melakukan kesalahan serius atau
melakukan tindak pidana. Dengan manfaat uang tunai selama enam bulan,
jelas-jelas jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan nilai pesangon
dalam PP No 35 Tahun 2021. Yang penting, pengajuan manfaat JKP tidak melewati
batas waktu yang ditentukan, yakni paling lama tiga bulan setelah terjadinya
PHK. Syarat telah membayar iuran selama satu
tahun atau paling singkat selama enam bulan berturut-turut sebelum terjadi
PHK menjadikan manfaat JKP baru dapat dinikmati pekerja pada tahun mendatang. Jika program JKP juga dimaksudkan sebagai
bentuk kompensasi atas berkurangnya nilai kompensasi PHK dalam PP No 35 Tahun
2021, sudah tepat jika syarat dan ketentuan penerima manfaat JKP dalam PP No
37 Tahun 2021 direvisi. Per definisi, JKP disebutkan sebagai
jaminan sosial kepada pekerja yang mengalami PHK. Syarat dan ketentuan
penerima manfaat JKP semestinya tidak boleh mengurangi hakikat JKP dimaksud. Tersedia cukup waktu bagi pemerintah untuk
segera menyempurnakan PP No 37 Tahun 2021 sehingga program JKP sesuai maksud
dan tujuan semula. Jaminan sosial bagi korban PHK. Tanpa terkecuali. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar