Militer
Harus Cegah Separatisme
Connie R Bakrie ; Pengamat militer
|
JAWA
POS, 27 November 2017
SOAL Papua, saya meyakini bahwa separatisme
itu adalah bagian dari terorisme. Jadi, menanggulangi gerakan semacam itu,
yang ingin memisahkan diri dari negara yang berdaulat, jelas-jelas sebenarnya
memerlukan tentara. Dan memang harus gerakan tentara yang menangani persoalan
seperti itu. Itu idealnya.
Tetapi, kita juga harus melihat begini.
Dalam kondisi kita punya panglima yang tidak bervisi outward looking, tidak
terlalu paham tentang isu-isu regional dan internasional, menurut saya, kita
seharusnya agak bersikap bijak untuk menghadapi gerakan separatisme di Papua.
Saya sepakat mending mereka itu disebut
gerakan kriminal bersenjata. Supaya yang turun adalah Polri saja dulu. Bahwa
kemudian nanti Polri dibantu dari belakang, di-BKO-kan tentara dan pasukan
khusus dari TNI, itu lain soal. Tapi, seharusnya yang dihadapi disebut
sebagai kriminal bersenjata. Sehingga kita punya alasan kuat bahwa yang turun
adalah gakkum (penegakan hukum) dan ketertiban.
Kalau dalam praktiknya dilakukan Polri,
tetap saja pada akhirnya dukungannya akan datang dari TNI. Tapi, percaya
saya, kalau itu dilakukan, mendahulukan sisi penegakan hukum, serangan
diplomatik dari UN, serangan dari MIT University kayak Noam Chomsky kemarin,
ataupun serangan-serangan dari Australia, dari Oxford University, atau dari
mana pun itu, tidak akan terjadi.
Kalau kita sekarang mengedepankan militer,
saya tanya, apakah kita sudah mempunyai kemampuan tempur yang benar-benar
presisi, yang benar-benar tidak mungkin ada korban yang salah misalnya? Itu
yang saya bilang tadi. Saya menyayangkan karena selama ini kan tentara tidak
punya alasan untuk memperkuat diri dan memprofesionalkan diri secara
revolusioner.
Kalau sampai kita tidak mampu, TNI belum
mampu mengcounter isu tersebut dengan baik, PBB pasti akan bereaksi. Negara
kita akan menjadi sorotan lagi akibat satu strategi yang tidak pas. Karena
gerakan separatis itu kalau kita lihat memang kayaknya ditunggu-tunggu
pihakpihak di luar sana. Terlalu lama terjadi pembiaran di situ sehingga
mereka menjadi besar.
Karena itu, untuk Papua, saya sarankan
sebenarnya kalimatnya jangan menggunakan kata separatis. Saya tidak sepakat
jika disisipkan kata separatis di antara kalimat kelompok kriminal
bersenjata.
Sekali lagi, saya ini pendukung utama
tentara harus turun kalau namanya separatis. Tetapi, secara diplomatik,
secara strategis, sekarang lebih baik kita namakan gerakan kriminal
bersenjata tanpa ada kata separatis di dalamnya. Turunkan polisi untuk
menghadapi mereka.
Jadi, mending masukkan saja gerakan
separatis di Papua sebagai urusan penegakan hukum dan ketertiban. Kalau
namanya gakkum, ketertiban, itu internal verse. Nggak bisa siapa pun dari
luar ikut campur. Bahwa nanti kita deploy tentara lebih banyak untuk
menghadapi mereka di lapangan, nggak masalah, karena di depan leading actor-
nya adalah ketertiban. Yang menjadi dasar penindakan adalah pelanggaran hukum
dan gangguan terhadap ketertiban oleh sekelompok orang yang bersenjata.
Papua is a very special case. Karena sudah
terlalu besar dan menjadi sorotan dunia. Menurut saya, sudah telanjur terjadi
pembiaran atas apa yang terjadi di Papua. Kita menganggap kecil, ah, cuma
Oxford, tapi gerakannya itu masif dan itu terus berinteraksi. Akhirnya
menjadi besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar