Jumat, 01 Desember 2017

Empat Masalah Pemicu Konflik

Empat Masalah Pemicu Konflik
Natalius Pigai  ;  Anggota Komnas HAM periode 2012–2017 berasal dari Papua
                                                   JAWA POS, 27 November 2017



                                                           
GEJOLAK Papua beberapa bulan belakangan tidak lepas dari berbagai persoalan mendasar. Masalah yang sudah lama tidak kunjung selesai atau boleh dibilang tidak diselesaikan. Bicara masalah di Bumi Cenderawasih bukan melulu soal kesejahteraan atau keamanan. Melainkan turut melibatkan sejarah dan politik. Dalam salah satu penelitiannya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat empat masalah utama yang membuat gejolak di wilayah paling timur Indonesia tidak kunjung tuntas. Empat masalah tersebut adalah sejarah politik, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), diskriminasi, dan kesenjangan.

Menurut LIPI, salah satu persoalan utama dan terutama di Papua adalah proses sejarah politik yang tidak mantap. Proses tersebut meninggalkan jejak dan warisan berupa ketidakpuasan dari beberapa kalangan. Persoalan itu pula yang mendasari munculnya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB.

Lantaran masalah sejarah politik tidak kunjung tuntas, gerakan TPNPB tidak berhenti. Sampai saat ini mereka masih beroperasi. Menuntut penuntasan masalah tersebut. Menjadi kian kompleks karena masalah yang berkaitan dengan pelanggaran HAM juga tidak kunjung selesai. Puluhan tahun berlalu, masalah itu seolah mengendap. Dari zaman Presiden Soeharto sampai Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah seolah enggan menuntaskan masalah tersebut.

Buktinya, banyak pelanggaran HAM yang berlalu begitu saja. Alhasil, masalah yang tidak diselesaikan itu semakin parah. Padahal, masalah itu sangat serius. Soal HAM, negara selama ini tidak tuntas menyelesaikan.

Selanjutnya berkenaan dengan diskriminasi. Diakui atau tidak, sampai saat ini diskriminasi terhadap masya- rakat Papua masih ada. Mereka tidak bebas tampil di panggung politik. Belum lagi diskriminasi etnik. Bahkan tidak jarang turut menjalar sampai diskriminasi bersifat rasisme.

Terakhir kesenjangan. Yang disebut pemerintah selama ini tidak sepenuhnya benar. Kesenjangan di Papua masih tampak. Bukan hanya pada satu sisi. Tapi berkaitan dengan berbagai urusan. Gembar-gembor pemerintah soal pembangunan di Papua tidak selaras dengan fakta di lapangan. Bahkan bisa disebut telah terjadi kemunduran. Sebab, pembangunan yang dilakukan pemerintah sebelumnya malah jauh lebih besar ketimbang yang dilakukan pemerintah saat ini. Tentu saja, ini menjadi pertanyaan serius sejauh mana pemerintah serius menangani segala permasalahan di Papua.

Empat masalah itulah yang membuat Papua menjadi sangat kompleks. Bila tidak segera ditangani, tentu saja masalah akan terus berlarut. Yang diperlukan saat ini adalah dialog secara langsung. Tentu saja tanpa melupakan sejarah yang bertalian dengan Papua. Jika tidak, bisa jadi masalah yang saat ini terjadi bertahan sampai waktu yang tidak tentu. Hanya dengan dialog, kontak senjata yang selama ini terjadi bisa dihentikan.

Problemnya, pemerintah maupun pihak-pihak yang menentang pemerintah di Papua sama-sama tidak mau kalah. Padahal, seharusnya, kedua pihak tidak boleh sama-sama keras. Bila terus begitu, masalah tidak akan selesai. Malahan bisa jadi memunculkan masalah baru. Masalah lain yang tiada akhir. Karena itu, dialog harus dilakukan. Mereka harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah di Papua. Tentu saja dialog itu juga wajib ditengahi oleh pihak yang netral sehingga bisa lahir solusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar