Kami
Punya Bukti, Tidak Mengada-ada
Argo Yuwono ; Ketua Umum Partai Bulan Bintang
|
JAWA
POS, 11 Desember 2017
KASUS ujaran kebencian dengan tersangka
Ahmad Dhani memasuki babak baru. Menjelang akhir tahun, status hukum untuk
mantan musisi grup band Dewa itu berubah. Dari terlapor menjadi tersangka.
Sejumlah kalangan menganggap penyidik
melangkah sumbang menguap. Tuduhan bahwa polisi berbuat ngawur pun menyeruak.
Padahal, kami berbuat, bertindak, dan berkesimpulan bahwa kasus tersebut
berlandasan hukum.
Proses hukum yang kami lakukan tidak
serampangan. Butuh waktu yang tidak singkat untuk mengubah status tersebut.
Dhani diadukan oleh Jack Lapian pada Maret lalu. Saat itu status dia
terlapor. Bola panas penyelidikan bergulir dengan kencang. Kemudian, pada
November, status dia berubah menjadi tersangka setelah ada gelar perkara
penyidikan.
Polisi menetapkan seseorang menjadi
tersangka tentu menggunakan standar yang jelas. Tidak seperti membuat mi
instan. Ada proses yang cukup panjang. Namanya science investigation. Semua
bisa diuji secara ilmiah.
Serangkaian penyelidikan hingga penyidikan
dilakukan. Polisi berusaha mencari apakah benar ada unsur pidananya, siapa
aktor pidananya, dan jenis pidananya seperti apa. Begitu yang kami lakukan
dalam mengusut kasus Dhani. Jadi, jangan dibayangkan gampang menentukan
seorang sebagai tersangka. Pun termasuk dalam kasus Dhani.
Dalam menentukan tersangka, langkah pertama
yang wajib dilakukan polisi ialah menemukan alat bukti permulaan. Jumlahnya
harus dua. Itu jumlah minimal. Tidak boleh kurang dari dua. Lebih boleh.
Memang kalau satu alat bukti tidak bisa?
Tidak. Ketentuan itu sudah tertancap dalam KUHAP. Seperti kuku yang menempel
dalam daging. Tidak bisa dipisahkan.
Bukti permulaan tertulis pada pasal 184
KUHAP. Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat 1 KUHAP, di antaranya,
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, hingga terdakwa. UU yang
berbicara. Tidak mengada-ada.
Tidak ada yang memaksa kepolisian untuk
mengubah status hukum seseorang. Saya jamin. Karena apa, karena kami adalah
lembaga independen.
Polri tidak bisa mengada-adakan sebuah
kasus. Termasuk dalam kasus Dhani. Dhani menjadi tersangka setelah ada proses
yang panjang.
Kasus itu murni ada tindak pidananya. Dhani
melanggar UU ITE. Pasal 28 ayat (2) juncto pasal 45a ayat (2) UU RI No 19
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Jadi jelas,
bukan karena ada pesanan dari seseorang. Tetapi, memang karena ada unsur
pidana ujaran kebencian. Kami selama ini bertindak profesional.
Jika tidak percaya dengan langkah
kepolisian, bisa diuji dengan praperadilan. Silakan. Tetapi, kami memiliki
segudang bukti mengapa Dhani tersangka. Tidak perlu khawatir.
Profesional kepolisian bisa diuji. Ya,
melalui praperadilan itu. Polisi tidak boleh menghalang-halangi praperadilan.
Praperadilan adalah hak tersangka. Kepolisian wajib menghadapi. Kami
persilakan.
Saat ini berkas perkara disusun. Langkah
berikutnya, berkas diserahkan ke kejaksaan. Jika berkas dinyatakan lengkap
oleh kejaksaan, Dhani hingga barang bukti diserahkan ke kejaksaan untuk
disidangkan.
Sebaliknya, jika tidak menempuh
praperadilan, pembuktiannya dilakukan di persidangan. Biar alat bukti dan
hukum yang bersuara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar