Jumat, 01 Desember 2017

Jokowi dan Penataan Undang-Undang

Jokowi dan Penataan Undang-Undang
Feri Amsari  ;  Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas; Peserta The 6th Knowledge Co-Creation Program for Practice on Drafting and Vetting, Tokyo-Jepang
                                                DETIKNEWS, 29 November 2017



                                                           
Presiden Joko Widodo meminta agar DPR membatasi jumlah perundang-undangan. Pembatasan jumlah itu dianggap akan menghilangkan kerumitan penyelenggaraan pemerintahan dan memudahkan urusan ekonomi dan bisnis. Menurut Presiden, DPR cukup menghasilkan 3 hingga 4 UU saja setiap tahunnya dengan menjauhi pembentukan perundang-undangan yang transaksional.

Apabila ditinjau dari sisi politik hukum pembentukan perundang-undangan, pendapat Jokowi itu sulit dibantah. Transaksional dalam pembentukan perundang-undangan oleh DPR dan Pemerintah acapkali menghasilkan UU tidak berkualitas. Tidak hanya multi-tafsir, UU juga menciptakan masalah baru karena berbenturan dengan UU lain.

Contoh yang menarik adalah benturan antara rezim UU Pemilu. Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ternyata berbenturan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 Jo UU Nomor 8 Tahun 2015 Jo UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada). Misalnya, kedua rezim UU Pemilu tersebut berbeda mengatur mengenai jumlah anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

Jumlah PPK diatur berbeda; UU Pemilu mengatur sebanyak 3 orang PPK, sedangkan UU Pilkada mengatur harus 5 orang. Bahkan UU Pemilu juga bertentangan dengan UU Pemerintahan Aceh (PA) mengenai jumlah pengawas pemilihan umum. UU PA menentukan jumlah pengawas pemilu sebanyak 5 orang, sedangkan UU Pemilu mengurangi menjadi 3. Padahal UU PA merupakan bagian dari keistimewaan Aceh.

Selain UU yang bermasalah, peraturan lain di bawah UU juga tidak tertata dengan baik --untuk tidak terlalu kasar menyebut "berantakan". Permasalahan dalam sektor bisnis tidak saja karena UU yang ambigu dan tumpang tindih, tetapi juga karena tidak harmonisnya peraturan antarkementerian.

Disharmonisnya peraturan antarkementerian bukan tidak mungkin karena gagalnya koordinasi di dalam kabinet. Beberapa kasus penting memperlihatkan kegagalan koordinasi itu. Misalnya dalam berbagai kasus konflik agraria, masing-masing Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memiliki aturan yang terkait agraria. Akibatnya, penyelesaian konflik agraria memiliki banyak "pintu penyelesaian" yang membingungkan.

Kondisi yang sama juga terjadi dalam dunia bisnis. Contohnya dalam dunia bisnis gula rafinasi dan gula tebu, terdapat pengaturan yang tidak senada mengenai gula yang diatur dalam Peraturan Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Masalah yang sama juga terjadi pada cabang-cabang bisnis dan lapangan penyelenggaraan negara lainnya.

Lembaga Penata Regulasi

Tumpang-tindihnya UU dan peraturan di bawahnya bukan yang masalah sulit untuk diselesaikan. Sepanjang terdapat koordinasi dalam rancangan, pembahasan, dan pembentukan peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan yang disahkan pasti akan jauh lebih tertib.

Presiden semestinya telah memiliki tim khusus untuk menata peraturan yang ada. Setidaknya keberadaan staf penyusun dan perancang (Suncang) yang berada pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen PP Kemenkumham) dapat dimaksimalkan oleh Presiden untuk melakukan penataan tersebut.

Kerumitan penataan juga berkaitan dengan tumpang-tindihnya kelembagaan yang semestinya melakukan penataan peraturan perundang-undangan. Pada era Orde Baru dibentuk Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) untuk menata peraturan yang sebelumnya merupakan lembaga yang dibentuk khusus untuk itu. Namun karena tidak terlalu efektif, maka dilebur di bawah Kemenkumham.

Keberadaan BPHN sesungguhnya tidak efektif karena menciptakan dualisme kelembagaan karena Kemenkumham telah memiliki Dirjen PP yang tugas dan kewenangannya dapat disatukan. Jika peran Dirjen PP diperkuat, misalnya dengan memberikan kewenangan untuk menata peraturan perundang-undangan pada wilayah eksekutif di tingkat nasional dan daerah, maka tumpang tindih dan benturan antarperaturan perundang-undangan dapat dihindari.

Selain usul tersebut di atas, beberapa pakar seperti Zainal Arifin Mochtar mengusulkan Dirjen PP dapat diletakkan langsung di bawah Presiden. Pandangan Zainal itu mirip dengan model Biro Legislasi Kabinet Jepang yang langsung berada di bawah Perdana Menteri. Tugas Biro Legislasi itu sederhana, yaitu memastikan tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan tidak harmonis satu sama lainnya.

Setidaknya terhadap Dirjen PP dapat diberikan dua tugas utama, yaitu: (i) memastikan harmonisasi antara UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri, serta Peraturan Daerah. Dirjen PP tidak boleh luput dalam memastikan harmonisasi antara peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama; (ii) memastikan kesesuaian antara aturan di bawah UU terhadap UU.

Dengan kewenangan itu, peraturan perundang-undangan hanya dapat dilanjutkan pembahasannya begitu check and recheck peraturan itu diberikan tanda "hijau" oleh Dirjen PP. Sebaliknya, apabila Dirjen PP menemukan ketidaksesuaian dan disharmonisnya sebuah peraturan maka dapat memberikan tanda "merah" sebagai tanda tidak perlu dilanjutkan pembahasannya. Bahkan bisa pula memberikan persetujuan dengan catatan perbaikan.

Dengan menggunakan format penataan peraturan semacam itu, Presiden menjadi lebih mudah dalam meminta pertanggungjawaban jika terdapat peraturan yang tidak saling sesuai dan disharmonis karena terdapat lembaga yang bertanggung-jawab untuk itu. Metode penataan peraturan perundang-undangan yang diserahkan pada satu lembaga ini tidak pernah diterapkan Presiden Indonesia. Jadi, bukan hanya "dosa" Presiden Joko Widodo.

Jika Presiden Jokowi memilih pembenahan peraturan perundang-undangan, maka penguatan lembaga yang paling bertanggung jawab menata regulasi menjadi diperlukan. Perlu langkah sistematis untuk pembenahan peraturan sebelum tindakan kerja, kerja, dan kerja dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar