212
vs 811
Nasihin Masha ; Pemimpin Redaksi Koran
REPUBLIKA
|
REPUBLIKA,
08 Desember
2017
Kapolri Jenderal Tito Karnavian tanpa
tedeng aling-aling menyebutkan reuni 212 di Monas pekan lalu memiliki tujuan
politik. Penilaian itu tidak salah. Tepat sekali. Sejak awal gerakan Aksi
Bela Islam memang gerakan yang bertujuan politik. Itu juga tidak salah. Tak
melanggar konstitusi dan tak melanggar norma apapun.
Hanya kaum sekular yang akan berkeberatan.
Dan Indonesia sejak awal didesain bukan sebagai negara sekular, dan juga
bukan negara agama. Indonesia adalah negara yang mengakui agama dan menjadikan
religiusitas sebagai salah satu norma dasarnya.
Namun gerakan 212 bukanlah gerakan politik.
Ia adalah gerakan sosial. Ada kondisi sosial yang menuntut perbaikan nasib.
Ada masalah ketidakadilan. Statistik bisa memperlihatkan semua fakta itu:
rekening tabungan, kepemilikan dan penguasaan tanah, pendapatan, kesempatan
berusaha, dan sebagainya.
Partai-partai telah gagal mewujudkan semua
itu. Ada oligarki yang akut antara elite dan golongan kapitalis. Ada
pangeranisme di segala lapangan kehidupan. Karena itu gerakan 212 adalah
gerakan akar rumput yang tak terkanalisasi menghadapi gerakan kaum elite.
Agama yang menjadi pompanya, karena itu
satu-satunya senjata yang dimiliki. Uang tak ada, kekuasaan pun tak. Kaum
berdarah merah melawan kaum berdarah biru. Kita harus berhati-hati menghadapi
situasi ini.
Kita bisa saja mengatakan bahwa di atasnya
adalah orang-orang berduit juga. Tentu saja. Gerakan mana yang tak seperti
itu. Contoh paling gampang adalah Perang Jawa yang dipimpin Pangeran
Diponegoro. Yang penting adalah apa yang disuarakan dan korelasional tidak
dengan fakta di lapangan. Karena itu yang paling gigih untuk membendung arus
gerakan 212 adalah kaum plutokrat yang kini sedang menggendalikan kekuasaan,
melalui para cantriknya di kekuasaan.
Reuni 212 yang lalu – orang rupanya lebih
suka membahas yang tak substansal, seperti isu jumlah peserta, bahkan isu
intoleransi – adalah pertunjukan bahwa mereka tetap solid dan terkonsolidasi.
Kendatipun yang menjadi pemantiknya telah tumbang. Namun seperti yang saya
tulis dalam tujuh seri ”revolusi putih” setahun lalu, ini adalah gerakan
sosial. Jadi bukan sekadar Ahok.
Kasus Ahok tak akan cukup kuat jika tak
memiliki akar sosialnya. Seperti halnya pemberontakan Banten pada 1888, yang
dipantik masalah azan, berakar pada kemiskinan dan ketidakadilan sistem
kolonial. Masalah azan hanya akan menimbulkan letupan kecil saja jika tak ada
akar sosialnya.
Pertanyaan selanjutnya terhadap gerakan 212
ini apakah akan menjadi gerakan yang efektif atau sekadar kerumunan massa
saja. Inilah skeptisikal yang muncul. Kendati mereka datang dari berbagai
wilayah, pertanyaannya adalah apakah mereka cuma efektif di Jakarta atau bisa
menjadi gerakan yang terkoneksi di seluruh Indonesia. Kapolri menyebutkan
bahwa reuni 212 ujungnya adalah pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019.
Sebagai tujuan antara tentu saja benar.
Karena itu, Bachtiar Nasir, ketua gerakan
ini, melakukan safari keliling Indonesia. Dan, ia diganjal di mana-mana. Jika
ia berhasil menjadikan gerakan 212 sebagai sebuah rantai dan bukan sekadar
kerumunan maka efektivitas gerakan 212 akan menjadi kenyataan. Itulah
tantangan yang mereka hadapi.
Lalu, apa maksud 811? Itulah hari
pernikahan Kahiyang Ayu, putri Presiden Joko Widodo, dengan Bobby Nasution.
Pernikahan ini didesain kolosal dan dijadikan panggung tontonan menarik. Tak
ada lagi term sederhana seperti halnya pernikahan putra pertamanya, Gibran
Rakabuming Raka dengan Selvi Ananda. Panggung tontonan itu bahkan dibawa ke
Tapanuli saat acara ngunduh mantu.
Hampir semua stasiun televisi melakukan
siaran langsung. Jadilah pernikahan ini menjadi peristiwa politik kolosal
yang tak hanya bergetar di tatar Jawa maupun tatar Sumatera, tapi di seluruh
bumi Nusantara. Jokowi telah sukses menjadikan ini sebagai panggung yang apik.
Namun publik melupakan detil yang sangat penting: kehadiran 8.500 relawan
Jokowi dari seluruh Indonesia.
Menghadirkan relawan sebanyak itu butuh
pengorganisasian yang rapi. Apalagi kehadiran mereka tak menimbulkan
kegaduhan dan tak mencuri perhatian. Padahal mereka bukan dari satu
organisasi relawan, tapi dari banyak faksi relawan. Kehadiran itu membuktikan
bahwa mereka tetap terkonsolidasi dan bisa bekerja sama.
Mereka bukan massa kerumunan tapi sebuah
rantai. Mereka sudah membuktikan bahwa mereka sudah efektif memenangkan
Jokowi pada pilpres 2014 dan tetap dalam satu barisan kendati gagal
mempertahankan Ahok – namun tetap berhasil membangun citra positif Ahok
seperti dibuktikan dalam survei-survei kandidat capres-cawapres 2019. Mereka
banyak bergerak di dunia sosmed.
Acara 811 bisa menjadi test case buat
mereka untuk bergerak serentak. Dan ini bisa menjadi ancang-ancang untuk
pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019. Apalagi sejak dini, pada 2015, mereka
sudah berikrar untuk menjadikan Jokowi sebagai presiden dua periode. Dan
ikrar itu terus didengungkan di setiap pertemuan tahunan mereka.
Yang hadir di Solo memang 8.500, namun
mereka bukanlah kerumunan tapi rantai. Sehingga mereka tetap memiliki down
line di bawahnya. Mereka juga menjadi gerakan yang memengaruhi publik di
sekitarnya. Mereka akan mengawal program-program Jokowi, mereka juga memantau
aparat dan birokrasi di seluruh Indonesia. Karena itu, Jokowi selalu
mendengarkan mereka. Para menteri pun akan jerih terhadap mereka.
Kini pertanyaannya adalah siapa yang akan
menjadi pemenang pertarungan 212 vs 811? Kita nantikan pada 2019 nanti.
Hingga saat ini, Jokowi masih belum memiliki lawan yang sebanding, seperti
diperlihatkan oleh angka-angka survei. Yang selalu menguntit di bawahnya
adalah Prabowo Subianto – lawannya di pilpres 2014.
Namun dari angka survei yang dirilis
Indobarometer, Anies Baswedan memiliki potensi untuk menjadi pesaingnya.
Tentu Anies akan menghadapi dua kendala. Pertama, jika Prabowo mengizinkan.
Kedua, jika kinerjanya sebagai gubernur moncer. Pada titik inilah mengapa
Anies digempur terus oleh media dan sosmed.
Kita sebagai rakyat, hanya berharap agar
perbaikan nasib bangsa yang menjadi titik tuju utamanya. Empat amanat
konstitusi, seperti tercantum di Pembukaan UUD 1945, harus menjadi acuannya.
Bersainglah dalam politik karena itu hakikat demokrasi, tapi kita tetap satu
Tanah Air dan satu bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar