Minggu, 31 Mei 2015

Daya Saing Infrastruktur Transportasi Darat

Daya Saing Infrastruktur Transportasi Darat

Adrianto Djokosoetono  ;  Dewan Pertimbangan DPU Taksi Organda
KORAN SINDO, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengembangkan infrastruktur sesungguhnya patut didukung semua pihak. Keinginan Presiden tersebut menjadi logis ketika pemerintah memiliki anggaran tambahan lebih dari Rp300 triliun pascapengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak akhir 2014. Apalagi, kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga terlihat antusias mendukung realisasi megaproyek infrastruktur ini. Sejatinya, infrastruktur yang ideal, utamanya di luar Pulau Jawa, bukan lagi sekadar target, melainkan suatu kebutuhan yang niscaya bagi Indonesia.

Bahkan menjadi tuntutan nasional seiring dengan ikhtiar pemerintah mengurangi ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Survei Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyebutkan, Indonesia menempati peringkat terendah dalam indeks kinerja logistik dengan skor hanya 2,5, di bawah Afrika Selatan, Malaysia, Chili, Thailand, Brasil, Meksiko, India, Filipina, Vietnam, dan Singapura yang menempati urutan paling baik dengan skor 4,5. Jadi, lewat perbaikan infrastruktur, baik infrastruktur konektivitas, infrastruktur pangan, maupun infrastruktur energi—sebagaimana ditekankan Presiden, ongkos produksi dan distribusi bakal lebih efisien.

Pengembangan saranaprasarana transportasi darat, laut, dan udara akan dapat menekan biaya logistik yang selama ini menjadi momok dunia usaha. Industri jasa angkutan darat sebagai bagian penting dari gerbong penggerak ekonomi nasional juga akan semakin kuat. Perbaikan jalan rusak, penambahan ruas jalan baru, pembangunan infrastruktur penunjang, serta pengembangan teknologi transportasi adalah jawaban dari keruwetan lalu lintas.

Pemerataan Ekonomi

Seiring dengan pemerataan pembangunan ekonomi ke arah Indonesia timur, infrastruktur transportasi darat menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar. Sektor maritim yang menjadi prioritas pemerintah sudah pasti diikuti dengan geliat pertumbuhan bisnis di daerah. Percepatan pembangunan berbagai pelabuhan, baik yang sudah ada maupun pelabuhan baru, akan meningkatkan arus kendaraan dan logistik.

Begitu pun dengan niat pemerintah menarik investor untuk menanamkan modalnya, khususnya di kawasan industri di Indonesia timur yang berbasis sumber daya alam akan sangat memengaruhi lalu lintas orang maupun barang. Yang tak kalah penting, sebagaimana kerap disuarakan Organisasi Angkutan Darat (Organda), pengembangan ekonomi di luar Jawa harus diikuti dengan penyiapan infrastruktur transportasi secara matang.

Setidaknya, pemerintah sekarang ini punya program membangun 13 kawasan industri di luar Jawa yang sekurangkurangnya menelan anggaran USD20 miliar. Jangan sampai, kawasan Indonesia timur mengalami permasalahan yang sama dalam infrastruktur jalan sebagaimana yang terjadi di wilayah Jawa pada umumnya. Problem kemacetan parah yang saat ini lazim terjadi di kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, bahkan Bali merupakan akibat langsung dari pembangunan infrastruktur transportasi darat yang telat.

Disebut telat karena tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, termasuk transportasi umum, tidak sanggup dikejar oleh pertumbuhan sarana jalan raya. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pertumbuhan jalan raya hanya seperempat dari kecepatan pertumbuhan kendaraan bermotor. Akibatnya, kemacetan menjadi semakin sulit terurai dan mobilitas warga masyarakat tersendat.

Lebih-lebih pertumbuhan ekonomi yang senantiasa diikuti peningkatan daya beli niscaya akan mendorong pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor secara signifikan. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan kendaraan roda empat di Indonesia pada 2014 saja mencapai lebih dari 1,2 juta unit. Bukan tidak mungkin, di Indonesia timur akan terjadi keruwetan transportasi jika tidak diantisipasi sejak dini. Mumpung belum terlambat.

Lima Hal Penting

Terhadap pembangunan infrastruktur transportasi di Indonesia timur, paling tidak ada lima hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama , pemerintah harus benar-benar memastikan pengalihan subsidi BBM dapat dirasakan langsung oleh masyarakat salah satunya melalui perbaikan infrastruktur jalan raya.

Buruknya fasilitas infrastruktur jalan yang ditandai oleh banyaknya jalan berlubang dan jalan yang tidak rata membuat mobilitas masyarakat bisa dan dunia bisnis terganggu. Kedua, jika di kota-kota besar saja jalan utamanya tidak memadai, apalagi di daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh pemerintah, bisa jadi akan lebih parah. Kecuali bisa mengakibatkan penggunaan BBM menjadi tidak efisien, persoalan infrastruktur transportasi darat juga mengakibatkan angka kecelakaan terus meningkat.

Demikian pula kerugian material yang ditimbulkan menyusul seringnya penggantian suku cadang kendaraan akibat rusaknya jalan raya. Ketiga, pengembangan infrastruktur di kawasan Indonesia timur harus menggunakan konsep inklusif yang melibatkan kontribusi masyarakat. Berbeda dengan penanganan wilayah Indonesia barat yang sudah lebih dahulu dibangun, pembangunan wilayah Indonesia timur harus sesuai dengan karakteristik kedaerahan.

Melalui pelibatan masyarakat ini, iklim investasi di Indonesia timur bakal semakin menarik di mata pemilik modal. Keempat, pembangunan infrastruktur transportasi di wilayah timur mesti dimulai dari sektor prioritas yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Karena itu, keinginan kuat sejumlah pihak terkait, baik pusat maupun daerah, dibutuhkan untuk bersinergi.

Tanpa keterlibatan pemerintah daerah dalam pembangunan infrastruktur, hasilnya tidak akan optimal. Kelima, pengawasan dan konsistensi pelaksanaan proyek infrastruktur. Tanpa pengawasan yang kuat, realisasi pekerjaan besar ini tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Pembiayaan megaproyek infrastruktur ini tidak hanya berasal dari ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pascakenaikan harga BBM, melainkan juga badan usaha milik negara (BUMN) maupun investor swasta baik lokal maupun asing.

Biaya ratusan triliun rupiah ini tidak akan menghasilkan perbaikan signifikan karena diselewengkan oknum yang tidak bertanggung jawab. Nah, lima hal tersebut penting dicermati agar ikhtiar menekan biaya logistik yang tinggi dapat segera terlaksana. Ke depan diharapkan perbaikan infrastruktur memangkas ongkos logistik hingga 10% dari 20-30% yang terjadi sekarang ini.

Pada gilirannya, daya saing produk barang dan jasa dapat semakin kompetitif, baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Dengan demikian, target Indonesia menjadi 10 besar kekuatan ekonomi dunia pada 2025 dengan pendapatan domestik bruto USD4,5 triliun dan pendapatan per kapita USD15.000 per tahun bukan sekadar pepesan kosong belaka.

FIFA, Korupsi, dan PSSI

FIFA, Korupsi, dan PSSI

Djoko Susilo  ;  Duta Besar RI untuk Swiss 2010-2014
MEDIA INDONESIA, 29 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
MUNGKIN bagi sebagian masya rakat Indonesia, operasi penangkapan sejumlah pejabat FIFA, Rabu (27/5) pagi di Zurich, yang dilakukan oleh polisi Swiss dan sejumlah agen FBI, cukup mengejutkan. Itu merupakan operasi penangkapan cukup besar yang dialami jajaran elite pejabat FIFA. Meski demikian, bagi kebanyakan orang di Swiss, terbongkarnya korupsi di FIFA tidak terlalu mengagetkan. Mereka sudah lama mencium gelagat bau busuk di FIFA. Hanya, mereka masih sangat sulit membuktikannya.

Andrew Neill ialah wartawan senior Inggris yang secara lengkap mampu mendokumentasikan tindakan korup sejumlah pemimpin FIFA melalui bukunya yang berjudul Foul, yang telah terbit hampir lima tahun yang lalu. Akibat tulisannya itu, menurut Thierry Regennas, seorang pejabat FIFA yang punya hubungan khusus dengan PSSI, Andrew Neill dicekal dan dilarang menghadiri semua kegiatan FIFA di mana pun. Ia menjadi persona non grata di lingkungan FIFA. Masalahnya, yang diungkapkan Neill itu sangat memalukan bagi Sepp Blatter, bos FIFA, baik sebagai warga Swiss maupun sebagai tokoh dunia.

Neill mencontohkan, meski Blatter sehari-hari tinggal di Zurich, alamat KTP-nya tercatat di Kota Appenzell, sebuah kota kecil yang cukup jauh dari Kantor FIFA. Mengapa dia memilih menuliskan alamatnya di kota kecil Appenzell? Alasannya sederhana saja, untuk urusan pajak penghasilan. Sebab, jika dia menuliskan alamat KTP-nya sesuai tempat tinggalnya di Zurich, dia harus membayar pajak jauh lebih tinggi. Di Swiss, hal yang demikian termasuk ilegal meski belum tentu bisa dipidanakan.

Blatter yang sudah bergaji jutaan franc Swiss per tahun, kabarnya sekitar 5 juta franc Swiss per tahun, masih sering minta uang tiket, sewa apartemen, dan belanjaan pacarnya dibayar FIFA. Sampai 2012, FIFA dan Blatter seperti tokoh Al Capone dalam film The Untouchables dan dia memang benar-benar The Untouchables. Kondisi itu cukup membikin gusar sejumlah politikus dan pejabat di Swiss, khususnya anggota parlemen. Oleh karena itu, pada 2012, Bundesrat atau Parlemen Swiss menerbitkan sebuah UU yang mewajibkan semua organisasi internasional yang bermarkas di Swiss harus tunduk dan patuh kepada hukum Swiss. Perkecualian diberikan kepada PBB, WHO, WTO, dan sebagainya. Karena FIFA bukan organisasi internasional antarnegara, FIFA wajib tunduk kepada hukum Swiss. Oleh karena itu, sungguh sangat mengherankan bahwa ada oknum PSSI yang mengatakan hanya patuh kepada FIFA, tapi tidak kepada Menpora yang merupakan pemerintah Indonesia.

Jika Blatter dan FIFA tunduk kepada hukum Swiss, sudah seharusnya kalau hukum nasional Indonesia menjadi acuan dan sandaran bagi kegiatan PSSI.
Jika Swiss tidak mengakui kepemilikan hak ekstrateritorialitas dan hak imunitas FIFA sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1815 tentang Hubungan Internasional, jelas sekali bahwa PSSI juga tidak memiliki kekebalan apa pun terhadap hukum Indonesia. PSSI tidak bisa hanya tunduk kepada FIFA dan terus berlindung kepada status FIFA. Itu hanyalah rekayasa untuk mencoba memanfaatkan status ekstrateritorialitas dan hak imunitas, yang di Swiss saja sudah tidak diakui.

Implikasi arogansi

Penangkapan itu cukup melemahkan Blatter. Ia sudah lama diawasi, tetapi belum ada bukti kuat yang bisa menjeratnya. Hanya, sudah hampir lima tahun terakhir ini Blatter tidak berani menginjakkan kakinya di Amerika Serikat, khawatir akan diringkus FBI. Ketika saya masih di Bern, saya sempat menulis artikel di koran der Bund dengan judul Nein zum der neo-kolonialismus Herr Blatter (Jangan Bertindak sebagai Penjajah Baru Tuan Blatter), saya mendapat sambutan dan apresiasi hangat dari banyak pihak. Inti tulisan saya ialah meminta Blatter dan FIFA jangan mengobok-obok PSSI dan Indonesia, yang dianggap mereka mirip tanah jajahan.

Implikasi arogansi FIFA itu merembet ke Tanah Air. Sudah lama pengurus PSSI bersikap merendahkan pemerintah. Ketika saya menjabat duta besar di Bern, saya cek dari data yang ada, satu-satunya organisasi Indonesia yang mengunjungi Swiss dan tidak pernah memberitahukan kehadiran dan aktivitasnya hanyalah PSSI. Bisa dikatakan PSSI tidak pernah menganggap keberadaan KBRI Bern sebagai wakil pemerintah RI di Swiss.

PSSI mencoba mengikuti pola dan arogansi FIFA dengan cara yang lebih buruk.Para pejabat FIFA meski juga dikenal arogan, mereka tetap mempunyai kemampuan yang mumpuni. Sebut saja Thierry Regenass dan Jerome Valcke. Mereka mempunyai kemampuan bicara dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman.

Dengan kondisi riil yang terjadi sekarang ini, PSSI hanyalah mengekor dan meniru FIFA dalam format yang buruk. Kesan yang muncul ialah PSSI antiintelektual, tidak taat hukum, ngeyel, keras, dan mau menang sendiri.

Pembandingkan FIFA dengan PSSI sebenarnya tidak relevan. Sebab, sejelek-jeleknya Blatter dan geng yang berkuasa di markas FIFA Zurich, mereka berjasa memopulerkan sepak bola sebagai the beautiful game dan menjadi cabang olahraga paling terkenal di muka bumi. Selama dua dasawarsa, pemasukan FIFA dari berbagai kegiatan yang dikelola sangat luar biasa. FIFA telah menjadikan sepak bola sebagai tambang emas. Sebaliknya, PSSI sudah selama hampir tiga atau empat dasawarsa tidak memiliki prestasi yang berarti. Malahan ranking Indonesia merosot di bawah Timor Leste.

Jadi, sesungguhnya sangat mengherankan jika pengurus PSSI saat ini masih ngotot ingin mempertahankan eksistensinya yang tanpa prestasi.Wajar sekali jika pemerintah geregetan dan mengambil tindakan tegas dengan tidak mengakui eksistensi PSSI. Di negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Eropa Barat, jika para pengurus gagal, mereka dengan sukarela mengundurkan diri.

Paralel dengan yang terjadi di Zurich, sudah waktunya pemerintah harus berani bertindak lebih tegas, bukan hanya dengan menolak mengakui kepengurusan PSSI, melainkan juga harus berani melakukan tindakan audit secara tuntas. Para pejabat FIFA itu ditangkap setelah didakwa menerima suap. Tidak ada uang pemerintah baik dari AS maupun Swiss, tetapi jelas bahwa mereka telah melakukan tindakan tidak terpuji.Sayangnya, di Indonesia, jika perbuatan suap itu tidak melibatkan penyelenggara negara dan menggunakan uang negara, tindakan itu halal saja. Jadi, jika seseorang menyuap untuk terpilih dalam kepengurusan organisasi nonpemerintah, tindakannya tidak bisa disebut korupsi karena tidak melibatkan penyelenggara negara.

Namun sesungguhnya, saat ini aparat berwajib mendapatkan momentum untuk membenahi dunia sepak bola secara tuntas. Jika para pengurus FIFA di Zurich tidak kebal hukum, sudah sewajarnya sekarang PSSI dan seluruh jajarannya dipaksa membuka diri. Keputusan Komisi Informasi Publik bahwa data keuangan PSSI itu juga merupakan hak publik untuk tahu merupakan titik tolak penting dan bisa menjadi landasan. Seharusnya, PSSI tidak perlu banding, apalagi salah satu tokohnya, Hinca Panjaitan, dulu merupakan salah seorang penggagas UU kebebasan informasi publik ketika masih menjadi aktivis LSM IMLPC.

Jika sekarang tidak segera dilakukan tindakan pembersihan dan pembenahan di PSSI, bangsa Indonesia akan kehilangan momentum. Kita ingin memiliki pengurus PSSI dan klub sepak bola yang bermartabat, sportif, dan mempunyai nasionalisme tinggi. Lebih baik kita melakukan perombakan total dari sekarang daripada sepak bola nasional makin terpuruk.

Angin Segar Industri Baja Ringan?

Angin Segar Industri Baja Ringan?

Ahmad Heri Firdaus  ;  Peneliti Indef
MEDIA INDONESIA, 29 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
PROGRAM penyediaan satu juta rumah oleh pemerintah tentu tidak hanya membawa angin segar bagi masyarakat berpenghasilan rendah, mestinya juga memberi harapan besar bagi pelaku industri dasar di Indonesia. Bagaimana tidak, guna memenuhi target pembangunan sejuta rumah tersebut tentunya akan mendorong tumbuhnya berbagai industri yang terkait dengan penyediaan komponen input pembangunan rumah. Sedikitnya terdapat dua kelompok industri dasar yang terkait langsung dalam penyediaan input pembangunan rumah tersebut, yaitu industri barang galian nonlogam serta industri dasar besi dan baja.

Industri barang galian nonlogam mencakup banyak komponen yang sangat menentukan pembangunan rumah itu sendiri, di antaranya industri semen, keramik dan atap rumah. Adapun, industri dasar besi dan baja mencakup kom ponen konstruksi rangka atap rumah yang saat ini penggunaannya semakin populer. Di antaranya produk baja ringan yang kini menjadi penyokong utama pembuatan rangka atap rumah dan berbagai bangunan lainnya.

Terbukti pada 2013 saja pertumbuhan penjualan baja ringan mencapai 30% dan diperkirakan terus tumbuh seiring dengan program sejuta rumah dan program-program infrastruktur lainnya.

Namun harapan besar tersebut tidak serta merta membuat produsen baja ringan bergembira. Pasalnya saat ini industri baja ringan tengah dihadapkan kondisi sulit hingga banyak produsen baja ringan terancam gulung tikar, utamanya produsen yang termasuk golongan menengah ke bawah. Kondisi ini terkait dengan kebijakan pemerintah terdahulu yang telah menerapkan safeguard agreement untuk bahan baku baja ringan yakni galvalume.

Kebijakan pemerintah dalam hal ini sejatinya memiliki tujuan baik, yaitu untuk melindungi produsen galvalume lokal. Kebijakan ini muncul dengan dalih impor galvalume meningkat sekitar 27% pada 2013. Selain itu, kebijakan ini juga dapat menekan impor bahan baku. Namun di satu sisi, kebijakan ini dapat mematikan industri baja ringan dalam negeri jika tidak dilakukan dengan tepat. Jika tidak memperhatikan kondisi suplai dan demand, alih-alih dapat melindungi galvalume dalam negeri, yang terjadi justru semakin membanjirnya berbagai produk jadi seperti baja ringan dan sebagainya.

Kondisi suplai galvalume saat ini hanya 60% dari kebutuhan nasional yang disediakan produsen galvalume lokal. Tentu kebutuhan nasional masih banyak tergantung impor galvalume karena peningkatan permintaan terlebih adanya program sejuta rumah pemerintah.

Penerapan safeguard agreement langsung direspons negatif oleh industri baja ringan, saat impor galvalume sebagai bahan baku baja ringan menurun secara drastis pada Agustus 2014, sebulan setelah kebijakan ini diterapkan pada Juli 2014. Para produsen beralih untuk mengimpor coil strip, galvalume yang sudah dipotong, karena kenaikannya lebih dari 10 kali lipat sejak diterapkan safeguard agreement. Namun, tentu saja harga impornya jadi lebih mahal karena adaya proses pemotongan.

Impor yang berkurang dan produksi galvalume dalam negeri belum memenuhi kebutuhan dalam negeri membuat galvalume menjadi langka di pasaran. Tentu sesuai hukum penawaran dan permintaan dalam ekonomi, harga di dalam negeri akan meningkat. Hal ini mungkin sebuah keuntungan produsen lokal, namun akan berdampak negatif pada produsen baja ringan.

Jika dilihat lebih jauh, struktur industri galvalume dalam negeri sangat tidak memihak pada produsen baja ringan.Jumlah produsen galvalume dalam negeri hanya 3 perusahaan, yaitu PT NS Bluescope Indonesia, PT Sunrise Steel, dan PT Sarana Central, sedangkan jumlah produsen baja ringan mencapai ratusan unit. Tentu pasar yang tercipta adalah pasar oligopsoni, yakni penjual lebih sedikit daripada pembeli.

Kebutuhan galvalume yang belum bisa sepenuhnya dipenuhi produksi dalam negeri menjadikan impor menjadi pilihan yang harus diambil. Tujuannya jelas, menghindarkan shortage pasokan dalam negeri. Apabila shortage terjadi, harga bahan baku galvalume akan meroket. Imbasnya, produk turunan dari galvalume seperti baja ringan akan meningkat pula.

Dilema pemerintah

Walupun bertujuan baik, pemerintah juga harus melihat dampak penerapan safe guard agreement secara luas. Terutama produsen baja ringan yang membutuhkan pasokan untuk menunjang program pemerintah, namun justru pasokan bahan baku dihambat.Tentu akan ada efek domino dari adanya hambatan pasokan bahan baku. Pertama, impor barang jadi akan meningkat. 

Hal ini akan menjadi pilihan utama produsen baja ringan dengan beralih hanya menjadi pedagang barang jadi baja ringan. Alasannya ialah baja ringan yang sudah jadi tidak terkena bea masuk impor. Jika terjadi hal ini, akan terjadi pengurangan tenaga kerja dan akhirnya pengangguran akan meningkat.

Kedua, penggunaan kayu untuk rangka rumah akan semakin meningkat yang pada ujungnya akan berpotensi menimbulkan illegal logging. Ketiga, akan mematikan industri turunan seperti industri jasa pemotongan galvalume. Hal ini terkait dengan semakin meningkatnya impor coil strip.Ini akan mengurangi penghasilan industri jasa pemotong galvalume.

Keempat, pasar persaingan semakin tidak efisien. Hal ini terkait dengan struktur pasar industri galvalume nasional yang oligopsoni. Impor yang berkurang akan membuat kekuatan menguasai pasar akan semakin besar dan akan mengakibatkan pasar tidak efisien dan tidak sehat. Terlebih jika produsen galvalume juga bermain di pasar baja ringan. Hal ini disebabkan sistem penguasaan dari hulu ke hilir ini sudah lazim di Indonesia.Tentu praktik ini akan mengakibatkan kerugian ganda bagi produsen baja ringan. Ini biasa disebut dengan integrasi vertikal yang juga dilarang dalam UU Antimonopoli.

Jika dilihat dari keempat dampak tersebut, pemerintah hendaknya lebih mendorong agar terjadi efisiensi, baik dari sisi produksi maupun distribusi. Efisiensi ini akan menguntungkan semua pihak termasuk produsen baja ringan. Efisiensi ini dapat berbentuk tekanan kepada produsen galvalume dan produsen bahan baku galvalume dalam hal ini PT Krakatau Steel.

Selain itu, kebijakan safeguard agreement perlu dikaji ulang untuk mengantisipasi munculnya guncangan negatif yang lebih besar lagi pada industri baja ringan. Kajian tersebut harus mempertimbangkan seluruh pelaku industri baja ringan secara luas, bukan hanya industri galvalume.

John Nash, Sang Jenius

John Nash, Sang Jenius

Hotasi Nababan  ;  Alumnus Technology Policy MIT
KORAN TEMPO, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Saya mendapat berita John Nash dan istrinya meninggal dalam kecelakaan di sebuah taksi di New York (24 Mei). Berita ini langsung menyengat saya, mengingat kejeniusannya membantu kita memahami kerumitan dalam memutuskan apa saja.

Siapa John Nash? Dalam film pemenang Oscar, A Beautiful Mind, Russel Crowe berhasil menghidupkan John muda, seorang matematikawan di Universitas Princeton, dengan begitu polos dan lugas. Pada 1960-an dia mencari rumus matematika untuk memprediksi keputusan orang dalam urusan apa saja, dari soal pacaran, belanja, sampai bekerja. Teori itu dikenal sebagai Game Theory. Sebelumnya John von Neumann membuat model matematika untuk zero-sum game, yaitu dalam ekosistem jika ada yang rugi, pasti ada yang untung. Dalam pertandingan, selalu ada yang menang dan yang kalah.

Namun John mencari jawaban lebih dari hal itu. Dia membuat model matematika yang lebih rumit untuk membuktikan dalam situasi pelik, jika para pihak yang terlibat mau "bekerja sama", hasil yang diperoleh jauh lebih baik daripada memaksimalkan kepentingan masing-masing.

Game Theory cepat menjalar masuk ke berbagai bidang pelik, seperti keputusan dalam pasar keuangan, strategi perusahaan, negosiasi perburuhan, hingga konflik antarnegara. Saking banyaknya manfaat kejeniusan Nash, dia dianugerahi Nobel Ekonomi pada 1994.

Pada musim gugur 1992, saya beruntung mengikuti kuliah "Industrial Organization" (IO) di School of Economics Massachusetts Institute of Technology (MIT) dari Prof Jean Tirole, seorang ekonom muda Prancis. IO adalah cabang ilmu Game Theory tentang interaksi perusahaan dan pasar. Dengan semangat, dia bisa menyederhanakan rumus matematika rumit. Saat itulah saya jatuh hati kepada teori ini. Tirole menggunakan IO untuk regulasi pasar dan monopoli. Dia dapat memformulasikan model harga optimum bagi pasar keuangan di AS dan Eropa. Atas kontribusinya yang besar, dia diganjar Nobel Ekonomi pada 2004, 10 tahun setelah gurunya, John Nash, menerimanya.

Banyak bencana katastrofe dunia yang batal karena para pihak secara intuitif menggunakan Game Theory, seperti krisis Kuba saat Kennedy-Krushev dan perang bintang saat Reagan-Andropov. Pada akhirnya, tidak berperang adalah solusi terbaik. Untuk melindungi kepentingannya, seseorang harus memikirkan orang lain. Ini bertentangan dengan teori klasik Adam Smith pada abad ke-18 yang mengatakan kehidupan manusia akan menjadi lebih baik jika setiap orang mengejar kepentingannya sendiri, karena ekuilibrium alami akan tercapai dari seluruh interaksi manusia yang egoistis.

Cara berpikir Game Theory selalu saya gunakan dalam 25 tahun karier saya di dunia korporasi, termasuk menjadi orang nomor satu di berbagai perusahaan selama 12 tahun. Saya sangat terbantu saat menghadapi isu barrier-to-entry, penentuan harga jual, persaingan tidak sehat, keputusan investasi, hingga hubungan dengan karyawan.

Saat bernegosiasi soal penjualan lokomotif buatan GE Lokindo di Madiun kepada PT Kereta Api, saya mengajak pihak KAI untuk mengeksplorasi konsekuensi dari seluruh opsi. Akhirnya kami sepakat dengan terma yang saling menguntungkan. Waktu PLN sulit menghidupi mesin pembangkit yang sudah tidak ekonomis, saya berhasil mengajak PLN dan GE mencari solusi baru yang menguntungkan keduanya.

Waktu berembuk dengan Asosiasi Pilot Merpati yang menuntut kenaikan gaji di tengah arus pembajakan pilot, saya membuat simulasi bersama atas semua kemungkinan. Akhirnya mereka bersedia tidak naik gaji. Selama enam tahun memimpin Merpati pada saat sulit, tidak ada satu pun aksi karyawan yang mengganggu perusahaan. Mereka makin kooperatif jika asymmetric information berkurang.

Saya memahami kesulitan yang dihadapi pemerintah dalam keputusan yang dilematis, seperti subsidi BBM, impor beras, ekspor tambang mineral, atau insentif pajak. Para pelaku usaha dan masyarakat yang dihadapi memiliki strategi sendiri dengan perilaku beragam. Mereka akan bertindak reaktif terhadap aksi pemerintah. Semoga aplikasi Game Theory dapat digunakan dan dipahami oleh seluruh tim pemerintah agar terjadi perilaku yang diharapkan. Niat baik saja tidak cukup. Manusia itu rasional.

Tuhan begitu baik memberi Nash bagi kita semua. Thank you, John! Rest in peace...

Islam Indonesia, Islamnya Dunia

Islam Indonesia, Islamnya Dunia

Husein Ja'far Al Hadar  ;  Penulis
KORAN TEMPO, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Dakwah Islam adalah kerja kebudayaan. Sebab, kebudayaan adalah fondasi utama bangsa. Apa yang tertanam dalam kebudayaan bukan hanya kokoh dan akan lintas zaman, namun juga menjadi identitas sekaligus pandangan hidup kebangsaan. Dengan demikian, dakwah sebagai kerja kebudayaan itu membuat Islam menjadi roh bagi seluruh sendi kehidupan: dari budaya, sosial, ekonomi, bahkan hingga politik. Strategisnya lagi karena itu berjalan tanpa harus membuat negeri ini kehilangan identitas primordialnya dan kearifan lokalnya, atau pula harus menjadikannya sebagai negara Islam.

Dalam konteks itu, mengislamkan Indonesia berarti mengindonesiakan Islam (terlebih dulu). Keduanya integral, tak bisa dipisahkan. Sebab, itulah memang teladan dakwah ala Nabi Muhammad. Khalil Abdul Karim dalam Syari'ah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan (LKiS, 2003) memaparkan tentang itu, bahwa tak sedikit syariat Islam merupakan hasil akulturasi dengan budaya Arab pra-Islam. Bahkan hingga membuat sebagian kita "gagap" menarik garis batas mana (substansi) ajaran Islam dan mana (irisan) budaya Arab.

Itu pula yang dilakukan Wali Songo dan pembawa Islam pertama di Indonesia. Mereka membawa Islam minus Arab, meskipun mereka sendiri bahkan keturunan Arab dari kalangan 'Alawiyyin (keturunan Nabi), setidaknya menurut beberapa catatan riset akademis yang kuat. Sebab, mereka sadar bahwa mereka dan Islam yang dibawanya akan menjadi bagian dari Indonesia, entitas lain di belahan bumi yang berbeda yang jelas itu bukan Arab. Mereka kemudian memformulasi apa yang kita sebut dengan Islam Indonesia atau Islam Nusantara, yakni perpaduan antara nilai-nilai (substansi) Islam yang diakulturasikan dengan budaya Indonesia. Dengan demikian, sebagaimana Islam Arab ala Nabi, Islam Indonesia ala mereka pun menjadi bagian integral dari bangsa ini yang mempengaruhi seluruh sendi kehidupan bangsa ini.

Maka, hadirlah satu Islam dengan berbeda wadah (cita rasa) budaya: Arab dan Indonesia. Persis seperti diperintahkan Allah dalam Surat Al-Hujurat: 13, agar kita saling berlomba dalam ketakwaan namun tetap menyadari, melestarikan, dan mengembangkan identitas budaya masing-masing.

Kini, ketika berbagai negara muslim-khususnya di Timur Tengah-sedang dirundung kekacauan akibat konflik agama (Islam), kesuksesan dakwah Islam di Indonesia bukan hanya bisa diklaim secara kuantitas dengan menghasilkan populasi umat Islam terbesar di dunia, tapi juga kualitas dengan menghasilkan corak Islam yang mampu menghadapi tantangan zaman dengan segala pola krisisnya. Sebab, di negeri turunnya, yakni Arab Saudi, dakwah Islam sebagai kerja kebudayaan justru ditentang: dakwah Islam justru diubah menjadi kerja menghancurkan "berhala" kebudayaan. Dengan demikian, kini dunia Islam mulai sadar bahwa Islam Indonesia justru potensial menjadi kiblat Islam dunia. Bukan untuk diimpor, tapi untuk disadari bahwa dakwah Islam adalah kerja kebudayaan. Jadi, sangat tepat dan patut kita apresiasi pemilihan tema "Memperkokoh Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia" dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 pada Agustus mendatang. Islam Nusantara perlu terus dilestarikan, dikembangkan, dan diperjuangkan. Bukan hanya karena itu Islam kita, tapi juga karena itu Islamnya dunia dan Islam masa depan.

Paradoks Golkar

Paradoks Golkar

Umbu TW Pariangu  ;  Dosen FISIPOL Undana, Kupang
KORAN TEMPO, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Ketua majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, Teguh Satya Bakti, mengabulkan gugatan Aburizal Bakrie untuk membatalkan surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono (Tempo.co, 18/5). Jika pengajuan banding dilakukan Menkumham, konsekuensinya selama proses banding berjalan, kubu Aburizal tak bisa memobilisasi pendaftaran pilkada ataupun revisi UU Pilkada. Sebab, berdasarkan Pasal 36 Peraturan KPU, partai yang bersengketa bisa mengikuti pilkada jika ada keputusan hukum tetap. Karena belum ada inkracht, KPU masih mengakui SK Menkumham mengenai kepengurusan Partai Golkar kubu Agung.

Jika aksi saling gugat tak berujung, kader-kader terbaik Golkar di daerah sudah pasti akan masuk kotak di pilkada serentak 9 Desember nanti. Secara kelembagaan, Golkar pun akan mengalami stagnasi karena gagal menjadikan pilkada serentak sebagai amunisi memperkuat sumber daya, terutama dalam menyongsong Pemilu 2019. Revivalitas partai untuk mengembalikan kejayaannya akan termakan sia-sia oleh spirit faksionalisasi politik liar.

Sebagaimana tradisi demokrasi kita, setiap keputusan politik yang menghasilkan kekalahan akan memunculkan kelompok baru, lalu membidani lahirnya partai baru untuk menjustifikasi dan melanjutkan identifikasi kepentingan politik pihak kalah. Apakah model ini yang terus membingkai politik kita? Padahal arah politik kekinian sedang memantapkan proses reifikasi dan kejernihan ideologi berpartai. Kita tak ingin eksistensi parpol hanya menjadi mesin pertarungan berbasis kalah-menang, dendam-kekecewaan, karena hal itu hanya akan merusak ideologi suci partai.

Sayang, semangat islah dua kubu Golkar tak kunjung terbit. Kader/elite yang terbilang berpengalaman dan memiliki kematangan politik mumpuni justru sibuk larut dalam hukum besi saling meniadakan. Insting berburu jabatan tampaknya telanjur berakar dan berpotensi mendestruksi fondasi dan kohesivitas partai.

Meminjam pendapat Max Weber, kondisi ini mencerminkan para politikus sesungguhnya bukan hidup untuk politik, yang memandang politik sebagai panggilan atau medan pengabdian (vocation/beruf), namun mereka hidup dari politik, di mana dunia politik dijadikan sumber nafkah dan ajang politik transaksi. Model politik seperti ini adalah racun yang tentu saja menggerogoti bangunan demokrasi.

Tak ada jalan lain, sikap legawa elite Golkar harus terbit mendahului terbitnya "matahari kembar" partai. Tidak sulit untuk duduk semeja dengan hati jernih merundingkan masa depan partai, karena mereka pernah dibesarkan oleh orientasi sejarah yang sama. Terlebih ketika komunikasi diletakkan pada nilai kebajikan (virtue), nurani, dan ketekunan mewujudkan bonum commune, upaya untuk menepis menipisnya lapisan ozon kepercayaan dan saling pengertian di antara elite Golkar bukan hal yang mustahil.

Paradoks jadinya ketika masing-masing kubu berkukuh memenangi kepentingannya atas nama kebenaran dan demokrasi, sementara menurut Lary Diamond (dalam Agustino, 2009: 58), mengenai konflik di tubuh partai, jika demokrasi disepakati sebagai aturan main, dialog/islah adalah syarat mutlak membangun konsensus. Sebab, hanya dengan konsensuslah pintu rekonsiliasi terbuka dan metamorfosis kultur politik yang dewasa dan terlembaga dapat terwujud.

“Pertandingan” Tim Jokowi

“Pertandingan” Tim Jokowi

Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Ibarat sepak bola, tim yang dipimpin Joko Widodo tampil cukup baik. Sekurangnya ada empat gol penting yang diciptakan.

Gol pertama ialah pembubaran Petral. Sebagian kalangan sejak awal tak menyangka bahwa Jokowi berani membubarkan anak perusahaan Pertamina yang selama bertahun-tahun tidak transparan dan tidak akuntabel itu. Tidak kurang dari Rp 250 miliar per hari bisa dihemat setelah Petral dibubarkan.

Gol kedua adalah demonstrasi mahasiswa 20 Mei yang berlangsung relatif aman. Ini, antara lain, berkat dialog Jokowi dengan para tokoh mahasiswa, mengulang yang pernah dilakukan juga oleh presiden kedua RI, Soeharto, beberapa hari menjelang pecahnya kerusuhan Malari, 15 Januari 1974.

Kita berharap dialog istana dengan mahasiswa tidak berhenti sampai hari-hari ini saja. Bagaimanapun, kritik dan gerakan mahasiswa yang murni tanpa ditunggangi diperlukan oleh pemerintah.

Gol ketiga terjadi saat Jokowi menunjuk sembilan perempuan sebagai anggota Pansel Pimpinan KPK. Tentu penunjukan perempuan-perempuan ini juga mengundang sejumlah interpretasi negatif. Namun, harus diakui, ia didukung berbagai kalangan yang merasakan napas baru dalam upaya pemberantasan korupsi.

Gol keempat adalah konsistensi Jokowi mendukung pembekuan PSSI oleh Menpora. Dalam tempo tak terlalu lama setelah pembekuan itu, di Amerika Serikat, Biro Investigasi Federal (FBI) membongkar kasus pencucian uang, pemerasan, dan penyuapan oleh sejumlah pejabat FIFA-tujuh orang di antaranya telah ditangkap.

Maka, pembekuan PSSI ibarat mendapat keabsahan seiring kasus dugaan korupsi di FIFA. Diharapkan, Tim Transisi segera merampungkan tugas dan kewenangan mereka sehingga pembekuan PSSI bisa dicabut dan kita memulai awal baru kebangkitan organisasi serta prestasi sepak bola nasional.

Meski untuk sementara mencetak empat gol, pertandingan belum berakhir. Tim Jokowi tidak sempurna karena masih memiliki berbagai titik lemah yang mesti dibenahi untuk bertahan sampai peluit akhir ditiup wasit masa pemerintahan berakhir.

Dan, sebagian titik lemah itu mulai tampak nyata di mata kita, para penonton. Mungkin, salah satu titik lemah tersebut adalah kekompakan Tim Jokowi, sebuah kesebelasan yang relatif terbilang yunior karena baru sekitar tujuh bulan bertanding.

Oleh karena itulah muncul desakan dari berbagai pihak agar Jokowi mengganti pemain alias merombak kabinetnya. Namun, di pihak lain ada mantra never change the winning team.

Kita tahu Jokowi lebih memilih merombak kabinet setelah bekerja selama satu tahun. Dan, suka atau tidak, masa satu tahun itu tepat dan telah mencukupi untuk menurunkan para pemain cadangan.

Perlukah Jokowi merombak kabinet sebelum satu tahun? Ya atau tidak bagi dia ini ibarat déjà vu yang pernah dia jalani sejak masa kampanye pilpres sampai pembentukan Kabinet Kerja pada Oktober 2014.

Pada rentang waktu itulah kita lihat dan saksikan semua tokoh kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berhiruk pikuk tentang "kabinet kerja", "kabinet ramping", "kabinet profesional", dan sebagainya. Pada akhirnya, suka atau tidak, yang terjadi hanyalah apa yang dinamakan dengan "kompromi politik".

Kompromi politik itu biasanya tak lepas dari negosiasi antartokoh dan antarpartai. Untuk kasus pilpres lalu, kompromi politik bahkan melibatkan kepentingan donatur dan relawan.

Tidak ada yang keliru dengan fenomena ini karena politik adalah juga ajang berkompromi. Masalahnya, kompromi baru yang akan dilakukan untuk merombak kabinet belum tentu akan membuat Kabinet Kerja yang lebih baik.

Kalaupun, toh, Jokowi akan merombak kabinet sebelum masa satu tahun, dia tentunya pertama-tama mesti mengakomodasi PDI-P sebagai partai yang mencalonkan dia sebagai presiden dan yang mengikat dia dengan Trisakti-Nawacita. Langkah ini pun belum tentu berjalan mulus karena bakal ada sanggahan dari partai-partai lain anggota KIH.

Dengan kata lain, perombakan kabinet sebelum atau pas masa setahun akan menimbulkan kegaduhan yang sesungguhnya tidak perlu. Namun, saya berani bertaruh, Jokowi sebagai kepala pemerintahan bakal mampu meredam ancaman kegaduhan tersebut.

Sebetulnya yang dibutuhkan Tim Jokowi saat ini bukan hanya sekadar perombakan kabinet, melainkan kritik. Masalah bangsa ini sudah menumpuk sejak Reformasi 1998 dan makin menumpuk selama 10 tahun terakhir.

Ibarat tim sepak bola, Tim Jokowi di lapangan "dikeroyok" oleh tim lawan, mungkin juga wasit, dan juga sebagian penonton yang merasa tidak menyaksikan pertandingan yang bermutu. Oleh karena itu, kita yang kurang puas dengan jalannya pertandingan, jangan ragu untuk memuji dan memaki selama tidak melempari batu atau membuat rusuh.

Media massa tidak perlu sungkan membeberkan perekonomian yang melambat, resapan anggaran yang masih sedikit, dan lain-lain melalui pemberitaan yang obyektif. Publik boleh saja mencaci maki di media sosial asalkan tidak sampai berurusan dengan aparat hukum karena melanggar UU ITE.

Politisi-politisi pun bisa buka mulut melalui media massa untuk mengkritisi pemerintah. Begitu pula dengan para akademisi atau surveyor, yang selalu mendapatkan tempat untuk menyampaikan kritik atau hasil jajak pendapat mengenai kinerja atau popularitas Jokowi.

Terpenting, Jokowi mendengarkan pula secara langsung keluhan rakyat kecil di kalangan bawah yang dia datangi dalam setiap kunjungan. Kita tentu boleh ramai-ramai tepuk tangan mendukung Tim Jokowi yang sedang berlaga di lapangan hijau. Mereka yang kecewa pun silakan berteriak "huuuuu..." atau cepat-cepat angkat kaki.

Aparat keamanan dan wasit pertandingan wajib tetap bertugas serta wajib menjaga agar pertandingan berlangsung sampai usai. Dengan begitu, maka kita bisa sama-sama berucap, "Selamatlah Indonesia kita!"

Mengapa Kita Pesimistis?

Mengapa Kita Pesimistis?

Anton Hendranata  ;  Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk
KOMPAS, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Di awal terpilihnya Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk memimpin bangsa ini, mereka disambut meriah dengan gegap gempita. Bukan hanya oleh rakyat Indonesia sendiri, melainkan juga oleh bangsa-bangsa besar di dunia.

Optimisme yang melempem, bahkan menuju kesirnaan, secara naluri muncul kembali ke permukaan. Gairah bangsa ini meletup kembali. Harapan besar menuju Indonesia yang kuat dan disegani secara aklamasi ada di pundak pemimpin baru dengan gaya santun merakyat.

Harus diakui, di awal pemerintahan JKW-JK, mereka langsung dihadapkan pada situasi yang teramat sulit. RAPBN 2015 yang dirancang pemerintah sebelumnya tidak cocok dengan Nawacita yang dicanangkan oleh mereka.

Ujian pertama, yang memerlukan nyali, ialah menaikkan harga bensin dan solar pada November 2014 ketika harga minyak dunia naik tajam. Rakyat tersentak dan mengeluh. Saya kira ini reaksi normal karena kenaikan harga BBM pasti akan menaikkan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Inflasi yang naik tinggi akan menyengsarakan rakyat kebanyakan.

Pelaku ekonomi dan analis dikagetkan oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) yang langsung merespons kenaikan suku bunga dari 7,50 persen menjadi 7,75 persen, dengan alasan untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan memastikan tekanan inflasi tetap terkendali. Padahal, ini kan harga yang diatur pemerintah, yang bersifat sementara dan tak permanen, di mana inflasi akan turun lagi secara perlahan.

Rasional dan terukur

Kegelisahan akibat kenaikan harga BBM dan suku bunga BI untungnya tidak berlangsung lama. Di luar dugaan, harga minyak dunia anjlok hingga pernah di bawah 50 dollar AS per barrel pada Januari 2015.

Kondisi ini tidak disia-siakan pemerintah. Pada 1 Januari 2015, reformasi migas dicanangkan. Subsidi bensin dicabut dan hanya memberikan subsidi tetap untuk solar Rp 1.000 per liter. Normalnya pencabutan subsidi BBM akan ditolak rakyat, tetapi kali ini tidak karena dibarengi penurunan harga bensin menjadi Rp 7.600/liter dari Rp 8.500/liter dan solar menjadi Rp 7.250/liter dari Rp 7.500/liter. BI sebagai otoritas moneter menurunkan suku bunga menjadi 7,50 persen.

Tidak ada yang menyangka reformasi migas bisa secepat itu. Pemerintah baru terbebas dari sandera subsidi BBM yang setiap tahun selalu menjadi beban dan ganjalan berat APBN. Penghematan dari subsidi BBM menyebabkan ruang fiskal pemerintah melebar. Keinginan JKW-JK untuk membangun infrastruktur, yang selama ini bobrok, secara intensif dan berkelanjutan seharusnya sangat realistis.

Subsidi energi yang berkurang drastis dari Rp 350 triliun pada 2014 menjadi hanya Rp 138 triliun di 2015 menjadi angin segar buat APBN pertama pemerintahan JKW-JK. Postur APBN-P 2015 menjadi lebih produktif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat. Rencana fantastis bahwa pengeluaran untuk membangun infrastruktur meningkat 63 persen; dari sebelumnya Rp 178 triliun menjadi Rp 290 triliun pada 2015. Kalau ini bisa direalisasikan dan konsisten diteruskan selama lima tahun pemerintahan JKW-JK, fundamental perekonomian Indonesia akan sangat kuat. Potensi tinggi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mudah dicapai, dengan tren inflasi yang turun dan stabil, disertai dengan nilai rupiah yang rasional dan terukur.

Niat mulia ini sayangnya tak mudah dilakukan. Selalu ada tantangan dari kubu yang melihat dari sudut pandang yang berbeda. Dalam enam bulan pemerintahan JKW-JK, situasi politik masih penuh ketidakpastian. Isu pergantian kabinet selalu diembuskan politisi, yang tentunya membuat resah para pembantu presiden. Rakyat pun mulai bosan melihatnya: kapan, ya, elite politik berdamai dan satu visi untuk menuju Indonesia hebat?

Situasi semakin berat. Perekonomian pada kuartal I-2015 terlihat sangat lesu dengan hanya tumbuh 4,7 persen. Profit perusahaan anjlok, pelaku usaha cenderung menurunkan target produksi dan penjualan. Tekanan inflasi meningkat karena kenaikan harga minyak dunia. Bank mengalami kesulitan untuk menyalurkan kreditnya, tecermin dari pertumbuhan kredit yang hanya 11,3 persen pada April 2015, sementara rupiah masih berkutat di atas Rp 13.000 per dollar AS.

Kemunculan isu bahwa BI bisa diintervensi dan tidak independen makin membumbui lemahnya perekonomian domestik. Kalau melihat logika dan kronologi kebijakan moneter dan makroprudensial yang diambil, rasanya BI masih berintegritas, apalagi undang-undang menjamin independensi BI. Ketika ini dilanggar, kepercayaan akan luntur dan bisa menimbulkan biaya ekonomi sangat mahal, yang merusak sendi perekonomian.

Oleh karena itu, menjadi sangat penting bahwa ada koordinasi dan komunikasi yang positif antara pemerintah dan BI, termasuk dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tentunya koordinasi dan komunikasi yang menghargai peran dan kontribusi masing-masing.

Realisasi penerimaan pajak yang kurang memuaskan di kuartal I dan kemungkinan besar target kenaikan pajak 30 persen sulit terealiasi. Rasanya target pertumbuhan ekonomi pemerintah 5,4 persen kurang realistis, perkiraan kami hanya 5-5,1 persen pada 2015.

Dengan situasi politik dan ekonomi yang memprihatinkan, ditambah kondisi global yang tak menentu, terutama kapan Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuannya, adalah reaksi yang cukup wajar kalau insan ekonomi mulai getir terhadap kepemimpinan JKW-JK. Tingkat kepercayaan masyarakat mulai menurun, rasa kecewa mulai menyelimuti optimisme di awal pemerintahan JKW-JK.

Beri kesempatan

Euforia kepemimpinan JKW-JK mulai meredup. Pasar saham dan pasar obligasi mengalami tekanan. Investor asing sudah mulai mundur perlahan dari perekonomian Indonesia. Di saat kita hampir sepakat pada 2015 merupakan tahun yang sulit dan bergejolak, lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's (S&P) malah memberikan penilaian positif terhadap perekonomian Indonesia. S&P sangat mengapresiasi kebijakan pemerintahan JKW-JK, terutama penghapusan subsidi BBM yang dinilai tidak produktif.

Gonjang-ganjing politik tidak berpengaruh signifikan terhadap penilaian S&P pada perekonomian Indonesia. Kelihatannya decoupling antara politik dan ekonomi masih berlaku untuk Indonesia. Politik jalan sendiri dengan hiruk-pikuknya, sedangkan ekonomi jalan sendiri dengan tantangan domestik dan eksternalnya.

Oleh karena itu, mengapa kita sebagai bangsa harus pesimistis, sementara pihak luar yakin kepada Indonesia di masa depan. Penilaian positif dari lembaga pemeringkat sekaliber S&P saya kira madu yang memberikan spirit bagi pemerintahan JKW-JK. Obat manjur mencabut subsidi BBM, walaupun terasa pahit dalam jangka pendek, saya rasa akan berbuah manis kalau realisasi pembangunan infrastuktur dijalankan dengan konsisten.

Konektivitas antardaerah akan berjalan mulus, distribusi barang dan jasa akan berjalan lancar. Pembangunan regional akan secara kontinu menuju konvergensi, bukan divergensi. Semua itu pada akhirnya akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan kekuatan ekonominya. Kita beri pemerintah kesempatan membuktikan janjinya, sambil menunggu penilaian S&P untuk mendapatkan peringkat investasi (investment grade) pada tahun depan?