Senin, 25 Mei 2015

Islam Nusantara

Islam Nusantara

Heri Priyatmoko  ;  Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
KORAN TEMPO, 22 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Sengketa wacana soal pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa di Istana Negara belum kunjung selesai. Pemerintah dituduh melakukan liberalisasi agama Islam. Menteri Agama gesit menangkisnya. Tujuan kegiatan ini adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di telatah Indonesia. Kalau didapatkan qari (pelantun Al-Quran) yang lihai membaca dengan langgam Melayu, Bugis, Medan, atau dengan langgam apa pun, itu merupakan ciri Nusantara.

Indonesia bukanlah bumi Arab yang sanggup mengadopsi dan menerima segala unsur budaya padang pasir. Megaproyek pengislaman berjalan puluhan abad menggunakan strategi canggih-meminjam istilah pemikir Islam terkemuka Abdul Munir Mulkhan-dakwah kultural. Sederet wali, komunitas ulama, dan para raja membumikan ajaran Islam memakai pendekatan kultural supaya masyarakat tidak berontak dan menampik.

Bentangkan arsip sejarah lokal, terbabar upaya islamisasi yang berjalan mulus dan sukses dikerjakan oleh penguasa tradisional. Kita mulai dari istana Kasunanan sebagai pewaris wangsa Mataram Islam yang tertua. Gagasan cerdas Paku Buwana X memakai bahasa Jawa untuk komunikasi dalam acara khotbah di Masjid Agung menuai sanjung-puji.

Selain itu, Paku Buwana IV bekerja sama dengan para ulama menyusupkan petuah ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadis ke dalam serat piwulang seperti Serat Wulangreh dan Wulang Putri. Raja bersama ulama hendak menjembarkan pengetahuan para kawula soal Islam-Jawa lewat karya sastra.

Hal serupa dikerjakan oleh petinggi Keraton Kasultanan Yogyakarta. Banyak karya sastra mengutip sejarah dan ajaran Nabi Muhammad yang digarap dalam bentuk tembang macapat. Sebut saja Babad Muhammad, Serat Cariyos Nabi, atau Serat Wulang Mingsiling. Karangan ini mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Di almari istana, tersimpan Serat Mikrajan berbentuk prosa dengan sisipan syair. Dengan melahap karya ini, masyarakat meresapi kisah Isra' Mi'raj Nabi Muhammad naik burak.

Barisan pengkritik pembacaan Al-Quran berlanggam Jawa penting untuk diberi tahu fakta berharga yang termuat dalam buku Kraton Jogja (2008) ini. Istana mengoleksi Serat Piwulang Agami berhuruf Jawa dan Serat Ambiya berhuruf Arab Pegon yang sama-sama mengajarkan Islam melalui macapat. Fakta ini menunjukkan, koleksi sastra keraton kental dipengaruhi ajaran Islam. Pengaruh Islam terjalin harmonis dalam bentuk riwayat, biografi, roman, dan lainnya. Ambillah contoh, Roman Amir Hamzah yang disadur menjadi Serat Menak diterima luas oleh rakyat Jawa. Bahkan, sampai memunculkan jenis wayang baru, yaitu wayang gedok. Kala Sultan Hamengku Buwono IX naik takhta pada 1940, keraton tengah didera kesulitan. Sebagai penghibur suasana galau, raja mendorong para pujangga menyusun teks-teks yang lebih banyak menyajikan nuansa Islam dalam wayang menak.

Demikianlah, gambaran pergumulan antara unsur Jawa dan Islam. Yang pasti, potret Islam Nusantara tak akan meninggalkan budaya lokal sebagai unsur asli dan lebih tua, demi mewujudkan sebuah harmoni. Tampaknya, berkaca dari polemik tersebut dan suburnya kelompok garis keras, cara berdakwah kultural mau tak mau kudu diwacanakan tanpa henti oleh Menteri Agama dan MUI. Kita rindu harmoni dan ketenteraman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar