Minggu, 24 Mei 2015

Pesantren dalam Sejarah Kebangkitan Nasional

Pesantren dalam Sejarah Kebangkitan Nasional

A Halim Iskandar  ;  Ketua DPRD Jawa Timur, Ketua DPW PKB Jawa Timur
KORAN SINDO, 23 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                
Kolonialisasi lama hanya merampas tanah. Sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan (Vandana Shiva).

Peringatan momen Kebangkitan Nasional harus selalu dimaknai dalam kerangka kontekstual, bukan tekstual. Jika hanya merujuk pada aspek tekstualitas, niscaya peringatan kebangkitan nasional tidak akan memberi makna berarti. Penyebabnya, banyak studi sejarah terbaru mulai mengkritisi penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Sebagaimana dikatakan Parakitri TS (2006), beberapa sejarawan menilai tanggal 20 Mei sebagai tonggak awal mula gerakan kebangkitan nasionalisme pribumi berkat kelahiran organisasi Boedi Oetomo (BO) mengandung banyak kelemahan sejarah.

Di antaranya organisasi BO saat itu sesungguhnya tidak mencerminkan aspirasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Hindia-Belanda menjadi bangsa yang berdaulat, namun sekadar wadah berorganisasi bagi para priyayi dan bangsawan Jawa dengan memperjuangkan isu yang cenderung ”Jawa sentris”.

Karena itu, banyak sejarawan menawarkan alternatif tafsir dengan menyebut momen kebangkitan nasional bermula dari kelahiran Sarekat Dagang Islamijah (SDI) di Batavia (1909) dan Sarekat Dagang Islam di Bogor (1912), serta Sarekat Islam (SI) di Surakarta (1911). Perjuangan SDI (kemudian bertransformasi menjadi SI di era Tjokroaminoto) yang semula didirikan untuk menyaingi usaha dagang Tionghoa, berubah menjadi gerakan nasionalisme sejati setelah menemukan musuh bersama yaitu Belanda.

Sejak itu SI merupakan gerakan yang menampung semua kelas sosial dalam perjuangan nasional yaitu kaum mustadzafin (pedagang, buruh, atau petani) dan golongan elite (guru, intelektual, wartawan, bangsawan, atau pejabat lokal). Bahkan tafsir sejarah lebih radikal disampaikan Agus Sunyoto dalam tulisannya, ” Diponegoro Pelopor Kebangkitan Nasional Pertama ” (2013) di situs pesantrenglobal. com.

Melalui perang Jawa, Pangeran Diponegoro mampu membuat Belanda kelimpungan, nyaris bangkrut dan hampir terbirit-birit meninggalkan Nusantara. Sekalipun namanya sangat lokal (Perang Jawa), sesungguhnya pertempuran itu berdimensi nasional. Pangeran Diponegoro berhasil menyatukan elemen-elemen kekuatan di Nusantara untuk berkumpul di Jawa dan menggempur Belanda.

Karena itu, Agus Sunyoto mengusulkan Hari Kebangkitan Nasional diperingati tiap 19 Juli, merujuk pada permulaan perang Jawa, 19 Juli 1825. Namun, mengingat 20 Mei sudah telanjur jadi konsensus nasional untuk diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, kita harus memaknainya secara substantif yakni refleksi tentang keberanian para anak bangsa waktu itu untuk memerdekakan bangsanya dari cengkeraman penjajah sehingga tetap berdaulat.

Secara substantif juga kita harus mengakui fakta bahwa peran pesantren begitu besar dalam mendukung setiap fase kebangkitan nasional. Seperti peran Pangeran Diponegoro yang sempat ”direduksi” dari sejarah, peran pesantren dalam pergerakan nasional juga sering ”dikebiri” dari panggung sejarah Indonesia.

Peran Pesantren

Momentum Kebangkitan Nasional selalu memiliki isu dan konteks yang spesifik di setiap zamannya. Dalam setiap babakan sejarah itu pula, pesantren (kiai dan para santrinya) memiliki peran yang signifikan untuk mempertahankan kedaulatan tumpah darah Indonesia. Catatan sejarah membuktikan.

Pada 1512, ketika embrio NKRI masih bernama Kerajaan Demak, Pati Unus yang merupakan santri didikan Wali Songo dengan gagah berani memimpin 10.000 pasukan dalam 100 kapal untuk menyerbu Portugis di Malaka. Tujuannya sederhana, Portugis tidak lebih jauh masuk ke Nusantara dan mengancam kedaulatan.

Kemudian, pada 1852, Pangeran Diponegoro yang merupakan santri dan ahli tarekat dari padepokan Tegalrejo, Yogyakarta mengobarkan Perang Jawa (Java Oorlog ) hingga membuat Belanda mengalami kerugian 20 juta gulden dan nyaris bangkrut.

Kemudian ketika hasil politik etis menjadikan para elite pribumi memimpikan berdirinya negara Indonesia, para ulama dan kiai NU pada Muktamar NU pada 1925 di Banjarmasin telah membulatkan tekad untuk memperjuangkan lahirnya Republik Indonesia sebagai Darussalam (negara kesejahteraan), bukan Darul Islam (negara Islam).

Sebuah gagasan progresif ketika belum banyak orang berpikir tentang konsep dasar negara Indonesia. Kemudian pada era revolusi kemerdekaan, Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa progresif tentang resolusi jihad pada 22 Oktober 1945. Suatu seruan yang membangkitkan spirit para santri di Jawa Timur untuk mengusir penjajah pada perang 10 November 1945. Tidak berhenti sampai di situ.

Ketika era perang senjata (perang konvensional) sudah berakhir dan berganti rupa menjadi perang dingin (nonkonvensional), Kiai Ahmad Shiddiq Jember melakukan ijtihad intelektual yang brilian sehingga menghasilkan rumusan pemikiran yang menjadikan prinsip-prinsip tauhid dan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah kompatibel dengan Pancasila.

Sebuah landasan epistemologis yang membuat NU secara sukarela menjadikan Pancasila sebagai asas NU jauh sebelum Soeharto secara represif memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal di Indonesia. Tujuan Kiai Ahmad Shiddiq cukup sederhana yakni bagaimana agar NKRI tetap utuh dan berdaulat.

Tantangan Pesantren

Deskripsi historis di atas menjadi bukti bahwa para wali, kiai, dan santri-santrinya sudah berkomitmen sejak dahulu untuk mempertahankan Tanah Air warisan Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, hingga bertransformasi menjadi NKRI ini tetap merdeka, berdikari, dan memiliki kedaulatan.

Lantas, pada era pascamodern seperti sekarang ini, tantangan kaum pesantren adalah menghadapi bentuk kolonialisme yang sama sekali berbeda dengan para pendahulunya. Sebagaimana dikatakan Vandana Shiva di atas, wujud kolonialisasi sudah bertransformasi lebih rumit dan kompleks.

Karena itu, kaum pesantren modern juga harus terus mengembangkan diri untuk meneruskan estafet perjuangan para sesepuh dalam menjaga kedaulatan Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar