Nasionalisme
dan Ekonomi
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS, 25 Mei 2015
Nasionalisme
dan ekonomi seolah-olah tidak berhubungan. Rasa berbangsa dan bertanah air
satu membangun sebuah kesadaran bahwa tanah dijajah untuk memakmurkan
penjajah. Penjajahan Barat (Portugal, Spanyol, dan Belanda) di Nusantara
berawal dari keunggulan Barat dalam berdagang.
Ketika
nasionalisme menemukan bentuknya dalam negara-bangsa, kedaulatan republik
tidak mudah melepaskan diri dari kepentingan ekonomi Barat. Heroisme bambu
runcing mampu mengusir penjajah, tetapi tidak cukup untuk mencapai cita-cita
masyarakat adil dan makmur. Kedaulatan republik baru diakui Belanda dalam
Konferensi Meja Bundar di Belanda (1949).
Itu pun
Indonesia harus berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), yang tidak sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945. Uni Indonesia-Belanda dibentuk dengan Ratu
Belanda sebagai ketua uni itu. Semua utang Hindia Belanda sampai batas
penyerahan Jepang, sebesar 4,3 miliar gulden (sekitar Rp 14 triliun
sekarang), ditanggung oleh RIS. Semua aset asing dikembalikan. Negara boleh
mengambilnya dengan kompensasi yang adil. Secara ekonomi, republik
tersandera.
Kedaulatan ekonomi
Para
bapak bangsa dengan sadar menjadikan sosialisme sebagai ideologi tandingan
bagi kapitalisme. Visi ekonomi negara dirumuskan sederhana dalam tiga ayat
konstitusi. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan. Bumi, air, kekayaan alam di dalamnya, dan cabang-cabang
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk
kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
Nasionalisme
sumber daya alam dan cabang-cabang produksi bertentangan dengan spirit
individualistis kapitalisme, tetapi juga bukan etatisme (rakyat untuk
negara). Meski tidak eksplisit, UUD 1945 dijiwai sosialisme religius. Spirit
sosialistis terasa semasa rezim Orde Lama yang tidak mau tersandera utang
luar negeri dan modal asing. Ketergantungan pada bantuan luar negeri (baca:
utang) dalam praktiknya menggerogoti kedaulatan ekonomi nasional.
Rezim
Orde Baru menegaskan ideologi ekonomi Indonesia bukan kapitalisme, juga bukan
sosialisme. Namun, dalam praktiknya, akumulasi modal dan kekayaan terpusat di
luar negara. Yang bertambah kaya bukan negara, melainkan elite penguasa dan
kroninya. Nasionalisme dilepaskan dari kedaulatan ekonomi. Sampai sekarang,
dominasi ekonomi negara lain dan eksploitasi sumber daya alam untuk
kemakmuran para kapitalis dilindungi undang-undang.
Kapitalisme
global memaksa negara menyerahkan sebagian kedaulatannya. Negara berkembang
biasanya lebih tunduk pada tuntutan korporasi global daripada sanksi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara tidak berdaya atas kekayaan bumi
tanah Papua, meski investasi asing di sana tidak berkorelasi langsung dengan
kesejahteraan rakyat.
Selama
puluhan tahun negara hanya dalam posisi penerima royalti dari hasil
eksploitasi yang dilakukan PT Freeport Indonesia. Setelah ada tekanan publik,
barulah besaran royalti itu sedikit meningkat jadi 3,75 persen (emas), 4 persen
(tembaga), dan 3,25 persen (perak). Penerimaan sesungguhnya perusahaan itu
tidak bisa diaudit dan, konsekuensinya, lolos dari skema perpajakan.
Kebijakan
negara menyangkut tenaga buruh didikte kepentingan kapitalisme global yang
bermarkas di luar Indonesia. Regulasi tenaga kerja alih daya yang menjadikan
buruh seperti sekrup mesin produksi tak kunjung dibatalkan.
Kekuatan
ekonomi sebuah perusahaan multinasional melampaui kekuatan ekonomi suatu
negara. Angka penjualan korporasi multinasional General Motors, Wal-Mart,
Exxon Mobil, Ford Motor, ataupun Daimler Chrysler di atas produk domestik
bruto Indonesia. Sedikit di bawah Indonesia adalah Mitsui, Mitsubishi, Toyota
Motor, dan General Electric. Peta kekuatan ekonomi kini mengalami pergeseran
dengan masuknya korporasi global dari kapitalis negara, terutama Tiongkok.
Kebangkitan ekonomi
Sebuah
laporan dari Institute for Policy Studies (2000) memperlihatkan kebangkitan
spektakuler korporasi global. Pada tahun 1999, seratus kekuatan ekonomi
terbesar di dunia terdiri dari 51 korporasi dan 49 negara. Peta jalan ekonomi
nasional masih belum memperlihatkan situasi darurat dalam kepungan
kapitalisme pasar bebas dan kapitalisme negara.
Nasionalisme
Indonesia seharusnya menjadi spirit kebangkitan ekonomi. Selama ini kita
masih banyak hidup dengan slogan nasionalisme: cintailah produk Indonesia,
(dalam praktiknya) belilah produk luar negeri. Swasembada pangan pun terancam
gagal apabila negara membiarkan usaha rakyat bersaing sendiri melawan
kekuatan kapitalis pasar bebas dan kapitalis negara.
Konsumen
di Pulau Jawa lebih memilih jeruk mandarin ketimbang jeruk medan yang lebih
murah. Itu berarti aktivitas ekonomi kita menghidupi petani di Tiongkok dan
dalam jangka panjang secara tak langsung mematikan usaha petani jeruk di
Sumatera Utara. Jeruk yang hanya menyeberangi selat kalah bersaing dengan
jeruk yang melintas samudra. Mustahil petani jeruk kita mampu bersaing dengan
petani jeruk Tiongkok yang ditopang (kapitalisme) negara.
Untuk
menghindari tafsir keliru atas pasal ekonomi yang begitu singkat dalam UUD
1945, amandemen konstitusi menambahkan, "Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional".
Namun,
praktik ekonomi dalam banyak contoh lebih liberal daripada negara kapitalis.
Di negara-negara Uni Eropa, transaksi sehari-hari harus dalam mata uang euro.
Di Indonesia, dollar Amerika Serikat menjadi primadona. Pejabat yang disuap
pun memilih mata uang asing. Lalu lintas devisa terlalu bebas. Negara hanya
mencatat devisa hasil ekspor, tetapi uangnya sendiri tersimpan di luar negeri
dan menguatkan cadangan devisa negeri asing.
Koperasi
di negara kapitalis Barat memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap
perusahaan dan pemodal besar. Cerita sukses koperasi seperti itu jarang
terdengar di Indonesia. Badan-badan usaha milik negara (BUMN/BUMD) harus
layak bisnis dan mengamankan kepentingan nasional. Era BUMN/BUMD sebagai sapi
perah atau tempat penampungan loyalis penguasa harus berakhir.
Di era
globalisasi, negara-negara seperti tidak berbatas. Negara-bangsa seperti
sebuah ilusi. Namun, Amerika dan Tiongkok masih berbicara tentang kepentingan
nasional. Nasionalisme berarti memihak kepentingan nasional, bukan membela
identitas bangsa. Untuk itu, politik harus melepaskan diri dari personalisasi
kekuasaan. Kepentingan bangsa di atas segala-galanya untuk kebangkitan
ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar