Senin, 25 Mei 2015

AA = 80 Juta

AA = 80 Juta

Arswendo Atmowiloto  ;  Budayawan
KORAN JAKARTA, 23 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Gegara awalnya ada gosip, artis dengan inisial AA melakukan prostitusi, konon dengan tarif Rp80 juta untuk short time. Ini istilah waktu kencan sekitar 3-4 jam, yang dibedakan dengan long time, atau semalam suntuk.

Dunia kencan esekesek selalu memiliki istilah tersendiri yang hanya dimengerti mereka yang terkait di dalamnya, walau kenyataannya menyebar menjadi rahasia yang diumumkan. Dari inisial itu Butet K. melalui Twitter-nya mempertanyakan apakah AA itu adalah saya. Lalu ramailah komentar dan komentar beruntun. Follower , pengikut Butet mencapai ratusan ribu, yang jika setengah persen memberi komentar bisa menjadi ramai.

Butet komedian handal sedang melucu. Dan ditanggapi secara lucu oleh yang lain, jadilah guyonan bak berbalas pantun. Namun kabar AA yang gosip diterima dengan serius. Termasuk daftar inisial lain yang mudah ditebak siapa orangnya, dan harga booking-nya. Menurut sumber, data itu muncul dari RA, yang adalah mucikari, yang dulunya pernah menjadi penata rias. Sejak awal pun, ketika dimintai pendapat dalam wawancara, saya mengatakan kabar itu sangat pantas diragukan.

Banyak kejangalan, dan ketidak-masuk akalan. Yang utama sumbernya hanya satu orang, dalam hal ini RA. Sungguh tidak layak jika sumber berita hanya berasal dari satu orang/sumber lalu diangkat secara besar-besaran. Tanpa upaya pihak lain untuk membenarkan dan atau menolak. Sehingga berimbang. Kali ini hanya dari satu sumber, dan disambar begitu saja. Memang berita “artis nyambi perek”, merupakan berita yang seksi—pun andai tidak disertai data dan fakta. Keraguan kedua adalah RA sebagai mucikari, yang konon mempunyai anak buah belasan atau bahkan sampai 200 artis. Rasanya menjadi lebih janggal lagi kalau masing- masing artis berbeda tipis tarifnya.

Rasanya selama ini bayaran profesional artis terbagi dalam kategori atas, menengah atau kelas figuran. Dan bukan seperti harga cabe yang dibedakan keriting, atau rawit. Dan lebih tidak mungkin lagi sang artis menitipkan harga yang lumayan gede begitu saja. Apalagi si mucikari mendapatkan bagian 30 persen. Namun demikian sungguh menyenangkan. Kesigapan polisi layak mendapat pujian. Para ahli hukum juga melihat dari sudut hukum dan menemukan banyak ketimpangan dalam menangani pelacuran. Mucikari bisa kena sanksi hukum, sementara pelaku atau pengguna malah lolos. Itu pun hukuman yang tak begitu berat. Dan seperti banyak kasus lain, kasus ini pun melenggang begitu saja. Segala riuh rendah tak meletakkan dalam penyelesaian, atau ada realisasi bagaimana mengatasi atau mempersoalkan.

Saya tergoda dengan mengemukakan bahwa persoalan yang lebih mendasar adalah bahwa segala sesuatu yang menyangkut perempuan, selalu berada dalam situasi : yang belum selesai. Sesuatu yang masih terus mengambang—atau sengaja diambangkan. Dalam hal ini paling jelas bagaimana perempuan selalu disalahkan, dan pria tak dipersoalkan.

Padahal transaksi hanya terjadi dari kedua pihak. Dari sisi yang lain, pihak perempuan bahkan masih harus menghadapai masalah psikologis dan sosial kalau ingin menjadi anggota TNI, harus memenuhi syarat keperawanan. Perawan atau tidak dikaitkan dengan tata nilai, dengan moral. Seperti kisah Sinta yang diragukan keperawanannya oleh Rama, ribuan tahun lalu dalam wayang Ramayana. Posisi yang kurang menguntungkan, misalnya sebagai pengusaha,dan harus berhubungan dengan pihak bank untuk memperoleh kredit, harus ada persetujuan atau izin dari suami.

Perempuan dijadikan tidak mandiri, tidak berdaulat atas dirinya sendiri, atas nasibnya. Kasus AA=80 juta, mudah-mudahan juga sekaligus membuka lebih luas dan mendasar bahwa sesungguhnya kita semua masih membebani kaum perempuan dengan mitos, dengan realitas bikinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar