Senin, 25 Mei 2015

Memahami Tindak Pidana Korupsi

Memahami Tindak Pidana Korupsi

Eddy OS Hiariej  ;  Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 25 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Harian Kompas edisi 1 April 2015 menerbitkan artikel dengan judul "Niat dan Perbuatan Jahat" yang ditulis oleh kolega penulis, Profesor Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada Profesor Hikmahanto, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman singkat terkait tindak pidana korupsi (tipikor) dan menanggapi beberapa hal dalam artikel tersebut.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu diluruskan. Pertama, terkait tipikor itu sendiri. Kedua, bentuk kesalahan dalam tipikor. Ketiga, perbandingan antara tipikor dan kejahatan terhadap nyawa yang diterangkan oleh Profesor Hikmahanto.

Pertama, perlu dipahami bahwa berdasarkan Undang-Undang Tipikor, ada 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tipikor. Ke-30 perbuatan tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi tujuh jenis. Pertama, tipikor yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara sebanyak dua pasal. Kedua, tipikor berupa suap-menyuap sebanyak 12 pasal. Ketiga, tipikor yang berhubungan dengan penggelapan dalam jabatan sebanyak lima pasal.

Keempat, tipikor yang bertalian dengan pemerasan sebanyak tiga pasal. Kelima, tipikor berupa perbuatan curang sebanyak enam pasal. Keenam, tipikor yang berkiatan dengan pengadaan barang dan jasa hanya satu pasal. Ketujuh, tipikor berupa gratifikasi juga satu pasal. Dengan demikian, korupsi tidak hanya bertalian dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, penyalahgunaan wewenang dan kerugian keuangan negara.

Kalaupun yang dimaksud oleh Profesor Hikmahanto, korupsi hanya Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3, yang harus dibuktikan tidak hanya sebatas unsur melawan hukum dan unsur menyalahgunakan kewenangan. Khusus terkait Pasal 3, haruslah dipahami bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan hanyalah salah satu cara. Masih ada dua cara lain yang disebut dalam Pasal 3, yaitu kesempatan atau sarana. Unsur menyalahgunakan kewenangan  atau kesempatan atau sarana adalah cara-cara yang dirumuskan secara alternatif.

Ketiga cara itu harus mempunyai hubungan kausal dengan jabatan atau kedudukan. Hubungan kausal ini pun harus dibuktikan. Adapun unsur "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" mengandung kedalaman makna bahwa tidak perlu ada kerugian negara secara nyata, tetapi cukup adanya potensi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Kedua, bentuk kesalahan dalam hukum pidana adalah sikap batin antara pelaku dengan tindak pidana yang dilakukan yang melahirkan dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau kealpaan. Dapat saja dalam suatu pasal kedua bentuk kesalahan tersebut dirumuskan secara alternatif. Adakalanya, dalam pasal yang berisi rumusan delik, bentuk kesalahan tidak dicantumkan secara eksplisit.

Dalam hal demikian, harus dimaknai bahwa bentuk kesalahan dalam delik tersebut adalah kesengajaan. Terkadang, kata "sengaja" dalam rumusan delik diganti dengan kata-kata "dengan maksud", "dengan tujuan", atau "diketahui". Kata-kata tersebut masing-masing memiliki implikasi hukum yang berbeda dalam hal pembuktian. Jika dicantumkan kata "sengaja", berarti pasal tersebut meliputi semua corak kesengajaan. Hal ini mempermudah kerja penuntut umum dalam membuktikan.

Lain halnya jika pasal tersebut mencantumkan kata "diketahui", maka corak kesengajaan yang ada dalam pasal tersebut mencakup kesengajaan sebagai maksud atau kesengajaan sebagai kepastian. Lebih sulit lagi jika pembentuk undang-undang mencantumkan kata-kata "dengan maksud" atau "dengan tujuan", maka yang harus dibuktikan hanyalah kesengajaan sebagai maksud dan menutup peluang adanya corak kesengajaan sebagai kepastian dan corak kesengajaan sebagai kemungkinan.

Niat dan kesengajaan

Ada dua hal yang perlu ditanggapi dalam artikel Profesor Hikmahanto terkait bentuk kesalahan dalam tipikor. Pertama, Profesor Hikmahanto seolah-olah menyamakan antara niat dan kesengajaan, padahal kedua hal itu memiliki perbedaan dalam hukum pidana.

Niat adalah terjemahan dari kata voornemen yang diartikan sebagai sikap batin dan merupakan subjectieve onrechtselement (melawan hukum subyektif). Sengaja sebagai terjemahan dari kata opzet adalah niat yang sudah ditunaikan dalam perbuatan nyata dan merupakan objectieve onrechtselement atau melawan hukum obyektif (Pompe, 1959, halaman 206, dan Moeljatno, 1983, halaman 18).

Kedua, Profesor Hikmahanto dalam artikelnya secara tegas menyatakan, "Dalam tindak pidana korupsi, yang harus dipahami adalah tidak mungkin karena ketidaksengajaan". Artinya, Profesor Hikmahanto hendak menyatakan bahwa tipikor tidak mungkin terjadi karena kealpaan. Apabila memahami bentuk kesalahan secara utuh dan mendalam, tipikor mungkin terjadi karena kealpaan. Pasal 11, Pasal 12 a, Pasal 12 b, dan Pasal 12 c Undang-Undang Tipikor terdapat kata-kata "diketahui atau patut diduga".

Dalam konteks teoretik, kata-kata "diketahui atau patut diduga" mengandung bentuk kesalahan pro parte dolus pro parte culpa yang berarti sebagian untuk kesengajaan sebagian untuk kealpaan. Artinya, tipikor dalam pasal-pasal tersebut tidak hanya karena kesengajaan, tetapi juga dapat terjadi karena kealpaan.

Tindak pidana terhadap nyawa

Ketiga, perbandingan antara tipikor dan tindak pidana terhadap nyawa. Dalam artikelnya, Profesor Hikmahanto menyatakan secara eksplisit, "Dalam tindak pidana korupsi, membuktikan adanya niat sekaligus perbuatan jahat dari pelaku sangatlah penting. Ini berbeda dengan tindak pidana yang terkait dengan nyawa. Dalam tindak pidana tersebut, ada sejumlah variasi". Dalam uraian selanjutnya, ternyata variasi dalam tindak pidana terhadap nyawa yang dimaksud Profesor Hikmahanto bahwa tindak pidana terhadap nyawa mungkin terjadi karena kesengajaan atau kealpaan dan kemudian dihubungkan  dengan percobaan.

Hal-hal yang perlu ditanggapi dari pernyataan Profesor Hikmahanto tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, haruslah dipahami bahwa semua rumusan delik dalam undang-undang tipikor dikonstruksikan secara formal (delik formal). Delik ini lebih menitikberatkan pada tindakan atau kelakuan (handeling).

Ini berbeda dengan tindak pidana terhadap nyawa yang selalu dirumuskan secara materiil (delik materiil). Delik tersebut lebih menitikberatkan pada akibat (gevolg). Konsekuensi lebih lanjut, membuktikan delik formal lebih mudah daripada delik materiil. Kedua, berdasarkan penjelasan di atas, tipikor sangat mungkin terjadi karena kealpaan. Dengan demikian, baik tipikor maupun tindak pidana terhadap nyawa dapat terjadi karena kesengajaan atau kealpaan.

Ketiga, percobaan bukanlah variasi dari suatu tindak pidana. Tegasnya, percobaan bukanlah delicta sui generis (delik mandiri), melainkan suatu tindak pidana yang tidak sempurna. Percobaan dapat terjadi pada semua kejahatan, termasuk tipikor dan tindak pidana terhadap nyawa. Terkait percobaan yang perlu dibedakan antara tipikor dan tindak pidana terhadap nyawa adalah bentuk percobaannya.

Dalam tipikor hanya bisa terjadi percobaan  terhenti atau geschorste poging atau tentative. Hal ini karena tipikor merupakan delik formal. Namun, Pasal 15 undang-undang a quo menyatakan bahwa percobaan dalam tipikor sama dengan perbuatan yang selesai. Adapun dalam tindak pidana terhadap nyawa yang merupakan delik materiil, selain percobaan terhenti, sangat mungkin terjadi percobaan selesai atau voltooide poging atau delit manque.

Apa yang dicontohkan oleh Profesor Hikmahanto dalam artikelnya, bahwa pelaku memiliki niat menghilangkan nyawa dengan meracun dan perbuatan sudah dilakukan, tetapi orang yang diracun ternyata masih hidup, adalah contoh dari voltooide poging. Bentuk percobaan ini tidak mungkin terjadi pada tipikor.   

Dengan paparan ini, diharapkan tidak terjadi distorsi informasi kepada publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar