Wanita
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 24 Mei 2015
Karena tak memberi tahu akan
berkunjung, rumah Romo Imam tertutup ketika saya datang. Tapi jendelanya
terbuka lalu saya tekan bel karena yakin ada orang di dalam rumah. Benar
saja, istri Romo Imam membukakan pintu. Melihat saya datang, Ibu Imam
bernyanyi: "Wanita dijajah pria sejak dulu...."
"Kelihatan ibu gembira
sekali, Romo ada?" tanya saya. Ibu Imam langsung nyerocos: "Betul
kan, yang ditanya Romo. Ibu ini seperti tidak pernah ada, padahal sampeyan
berkali-kali ke sini. Para lelaki selalu meremehkan keberadaan wanita."
Ibu Imam mengucapkan kata itu
dengan nada canda. Saya pun ikut bercanda. "Ibu, sekarang Pak Jokowi
telah mendudukkan wanita dengan cara terhormat, panitia seleksi pimpinan KPK
semuanya wanita," kata saya.
"Tapi kalian para lelaki
ribut kan?" sahut Ibu Imam dengan cepat. "Ada yang menyebut pilihan
Jokowi ini sensasional. Ada yang menyebut panitia seleksi jadi cacat dan
tidak sempurna, karena tak ada lelaki sebagai penyeimbang. Bahkan ada yang
menyebut ini tanda-tanda kiamat. Ealah... dulu panitia seleksi semuanya
lelaki, kok tidak ada yang ribut? Kalian juga tak menyebut-nyebut perlu
wanita untuk penyeimbang agar ada kesempurnaan. Semesta ini bukan hanya milik
lelaki, pertiwi itu disebut Ibu, tak ada menyebut Bapak Pertiwi."
Wah, tumben istri Romo
bersemangat. "Kartini memperjuangkan emansipasi wanita karena berharap
ada kesejajaran gender," kata Ibu Imam lagi. "Tetapi kalian para
lelaki mengaburkan perjuangan itu dengan simbol wanita kemayu nan cantik khas
bangsawan. Setiap Hari Kartini kalian meminta kami para wanita mengenakan
kebaya. Sopir taksi pakai kebaya, murid-murid wanita dari TK sampai SMA
berkebaya, karyawan bank pakai kebaya. Dan kalian senang melihatnya lalu
kalian bilang semangat Kartini harus diwarisi wanita Indonesia. Pas ada
panitia seleksi yang semuanya wanita, kalian ribut. Apa ke sembilan wanita
itu harus mengenakan kebaya?"
Saya coba menanggapi. "Ibu,
mungkin bukan soal kebaya atau mewarisi semangat Kartini. Tapi soal
pengalaman dalam memilih calon pimpinan KPK. Ke sembilan wanita itu dianggap
tak tahu bagaimana kerja pimpinan KPK. Mereka selama ini berada di luar
ingar-bingar pemberantasan korupsi, bagaimana mereka bisa memilih pimpinan
yang akan memberantas korupsi. Mungkin pula mereka tak pernah datang ke
kantor KPK...."
"Justru karena itu Jokowi
memilihnya," Ibu Imam memotong ucapan saya. "Mereka jadi steril
dari kepentingan berbagai pihak. Mereka jadi independen tak mudah diintervensi
partai politik karena mereka dikenal jauh dari dunia politik. Mereka tak
terlibat dalam kontroversi heboh KPK selama ini. Sampeyan harus tahu,
kecenderungan sekarang peminat orang menjadi pimpinan KPK menyusut. Mereka
pada takut karena jabatan sebagai pimpinan KPK banyak risikonya dan mudah
dikriminalisasi. Mereka juga takut kalau setelah menjabat akan mendapatkan
berbagai tekanan, baik dari partai politik maupun dari pemerintah, karena
merasa dipilih oleh orang-orang yang sesungguhnya juga tak netral.
Apalagi
pada saat akhir keputusan itu ada di parlemen, lembaga politik yang selama
ini juga dianggap korup. Jadi, ya, siapa tahu kesembilan wanita hebat ini
bisa menjaring peminat lebih banyak atau malah menjemput bola dan meyakinkan
calon bahwa mereka benar-benar netral."
"Kalau begitu kita tunggu
hasilnya," kata saya. Ibu Imam menyambung: "Ya kita lihat hasil
akhirnya siapa pimpinan KPK terpilih, baru kita komentari. Ini baru panitia
seleksi saja ributnya kayak mau kiamat." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar