Indonesia
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 25 Mei 2015
Seorang dokter kapal menyediakan
nama bagi Indonesia. Pada 1861, Adolf Bastian, kelahiran Bremen, Jerman,
berlayar di Asia Tenggara. Ia kemudian menulis sejumlah buku. Salah satunya
dibaca banyak orang: Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels,
1884-1894. Dari buku ini nama "Indonesia" mulai menandai kepulauan
yang yang ribuan jumlahnya itu.
Bastian berpengaruh karena ia
bukan hanya seorang dokter kapal. Ia lulus ilmu hukum, lulus biologi, ia
berminat dalam ilmu yang di zamannya disebut "ethnologi", dan ia
juga dokter. Bahwa ia jadi dokter kapal, itu tanda keinginannya menjelajah
bagian bumi yang lain. Pada 1873, ia ikut mendirikan Museum für Völkerkunde
di Berlin, dengan koleksi besar karya manusia dari pelbagai penjuru.
Dokter kapal yang tak
henti-hentinya mengarungi laut melintasi batas ini -- dan meninggal dalam
perjalanan di usia 80 -- yakin bahwa ada yang menyatukan sesama manusia: "gagasan-gagasan
dasar", Elementergedanken.
Umat manusia, tulis Bastian,
"punya segudang gagasan yang dibawa lahir dalam diri tiap orang,".
Gagasan elementer itu muncul dalam pelbagai variasinya dari Babilonia sampai
dengan Laut Selatan.
Tapi manusia juga menunjukkan
Volkergedanken, gagasan yang dikondisikan oleh ruang hidup yang
beragam.Bastian menggunakan pengertian Volk, atau dalam bahasa Yunani
"ethnos," untuk menyebut kelompok manusia yang dipertalikan ras,
adat, bahasa, nilai-nilai.
Bagi zaman ini, theori Bastian
tak lagi menakjubkan. Bahkan pengertian "ethnos," juga
"ras," yang jadi tulang punggung theori itu, kini guyah. Tapi kita
bisa bayangkan kuatnya gema pemikiran ini di abad ketika imperialisme
membentuk bumi.
Imperialisme, sebagaimana
penjelajahan "ethnologi", (atau "anthropologi"),
mempertemukan manusia dari pelbagai asal-usul, namun pada saat yang sama
menunjukkan sebuah jarak -- bahkan ketimpangan dan penaklukan. Dalam
imperialisme, sebagaimana dalam karya ethnografis, orang "Barat"
bukan menemui melainkan menemukan dunia lain -- seakan-akan
"barang" itu ada setelah dilihat oleh "Barat". Saat itu,
"barang" itu pun beku. Ia berubah jadi "yang-lain" --
sebagaimana dalam dongeng Yunani,manusia jadi batu ketika Medusa menatapnya.
Peralihan dari "liyan"
jadi "yang-lain" yang membatu itulah sendi utama imperialisme.
Imperialisme menorehkan sesuatu yang buruk pada kesadaran: dalam
kungkungannya, kata Edward Said, orang jadi yakin bahwa dirinya semata-mata
"orang putih" atau semata-mata orang "kulit berwarna".
Imperialisme membuat orang tak sadar bahwa orang bukan hanya satu identitas,
tapi punya sejarah yang membuatnya tak sepenuhnya ajeg, utuh, dan tunggal.
Dalam sejarah itu juga
berlangsung dialektik antara temu dan takluk. Orang berada di satu ruang
hidup, tapi dalam posisi yang satu tunduk, yang lain bertahta. Pertemuan
bukan lagi pertemuan, melainkan penaklukan. Di ruang politik yang sama itu
mereka tak saling menyapa -- bahkan dalam hidup sehari-hari.
Dalam A Certain Age,
catatan-catatan yang disusun secara menarik oleh Sejarawan Rudolf Mrazek dari
wawancaranya dengan generasi tua Indonesia, kita tahu bahwa dulu, di
kota-kota kita, penduduk Belanda hadir tapi dengan jarak.
"Waktu saya
anak-anak," cerita Nyonya Surono, "saya tak pernah ketemu orang
Belanda di jalan.". Pak Mewengkang berkisah tentang masa kecilnya di
Sulawesi Utara. "Saya besar di dusun, dan tak ada orang Belanda di sana.
Hanya, pada hari Minggu, kadang-kadang....seorang pastur Belanda
datang". Wartawan Rosihan Anwar hanya sedikit berbeda. Di masa kecilnya
di Agam, Sumatra Barat, ayahnya kenal orang Belanda: seorang controleur yang
datang ke rumah tiap Lebaran. Hanya tiap Lebaran. Si anak cuma boleh melihat
dari jauh. Sementara Pak Oey, yang besar di Surabaya dan Batavia, cuma melihat
orang Belanda di kolam renang.
Wertheim, sarjana Belanda yang
dikenal sebagai cendekiawan antikolonialisme, juga mengalami jarak itu. Ia
baru tahu ada yang tak beres di sekitarnya ketika pembantunya bercerita bahwa
anaknya mati karena tak ada yang mengobati sakitnya.
Zaman itu adalah zaman
diabaikannya apa yang universal dalam diri manusia; Elementergedanken Bastian
pelan-pelan dilupakan. "Liyan" tak lagi berarti "sesama".
Itu sebabnya racun imperialisme
jadi menyengat ketika konteksnya bergeser. Kita ingat riwayat Soewardi
Soerjaningrat. Juli 1913 ia menulis di sebuah koran mengecam pemerintah
kolonial yang hendak merayakan kemerdekaan Belanda dari kekuasaan Prancis.
Soewardi mengandaikan diri sebagai seorang Belanda yang tahu diri dan
berseru, "aku tak akan membuat pesta kemerdekaan di negeri yang telah
kita rampas kemerdekaannya".
Sesungguhnya Soewardi menegaskan
apa yang universal dalam sesama: semua ingin merdeka, terutama orang-orang
jajahan. Tapi itulah yang tak diakui pemerintah kolonial. Soewardi ditangkap.
Dalam umur 14, ia diasingkan ke Belanda.
Tapi justru di sana, di negeri
dengan kehidupan demokratis itu, ia kian sadar bahwa "liyan" adalah
"sesama" dan "sesama" bisa berarti "setara".
Dialektik antara temu dan takluk bergerak: jika di negeri jajahan temu
tenggelam oleh takluk, di Eropa yang merdeka takluk tersisih oleh temu.
Pembangkangan Soewardi kian tegas. Perlakuan hukum yang sama di masyarakat
Belanda mengukuhkan keyakinannya bahwa mereka yang seperti dirinya bukan
hamba. Mereka berasal dari sebuah kepulauan yang tak mau takluk dan jadi
"Hindia Belanda".
April 1917, di halaman Hindia
Poetra, Soewardi memilih nama yang dipakai Bastian bagi tanah airnya.
Indonesia: negeri yang dibangun oleh yang universal, untuk semua, dan
sekaligus oleh yang berbeda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar