Senin, 25 Mei 2015

Astaga

Astaga

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 24 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Oh..astaga Apa yang sedang terjadi Oh...astaga Hendak ke mana semua ini Bila kau pemuda sudah tak mau lagi peduli Mudah putus asa dan kehilangan arah.

Itu adalah cuplikan dari lirik lagunya Ruth Sahanaya yang bertajuk ”Astaga”. Saya tidak ingat tahun berapa lagu yang merupakan bagian dari album Ruth Sahanaya Seputih Kasih itu ngetop di blantika musik Indonesia. Yang jelas sudah lama karena tergolongnya juga tembang lawas (lagu lama).

Tetapi, isinya masih sangat relevan dengan kondisi masyarakat sekarang. Anak-anak usia sekolah tidak mau sekolah, tetapi memilih nongkrong, kumpul-kumpul sambil minum bir, ngeganja , ngebut , dan kalau sudah enggak punya duit, merampok, membegal, bahkan sampai membunuh orang.

Pemuda-pemuda itu sudah tak peduli kalau ada orang tewas di tangannya, atau ada orang yang dirugikan karena barangnya dirampok, atau bagaimana perasaan orang tuanya, atau mungkin orang tuanya juga sudah tidak peduli kepada anak-anaknya. Maka kagetlah Ruth Sahanaya dan terciptalah pada waktu itu lagu ”Astaga”.

Tetapi, orang mengucap ”Astaga” sebenarnya bukan karena kaget saja. Orang yang keheranan dan sekaligus juga marah, atau heran, tetapi menyenangkan bisa juga berseru ”Astaga”. Yang baru mendapat kejutan yang menyenangkan, juga mengucapkan ”Astaga”, sambil meloncat kegirangan.

Tetapi, kata ”Astaga” itu sebenarnya berasal dari doa dalam agama Islam, yang bunyi lengkapnya adalah ”Astaghfirullah al adzim ”, atau disebut juga doa istigfar. Terjemahan bebas dari istigfar kira-kira sebagai berikut ”Aku mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung”. Jadi ketika seseorang beristigfar, seharusnya ia melakukannya setelah ia melakukan suatu kesalahan, yang disengaja atau tidak disengaja, atau bisa juga sebelum ia melakukan kesalahan yang keburu disadarinya.

Bisa kesalahan kecil, bisa juga kesalahan yang besar. Contoh kesalahan kecil adalah kalau saya sedang berpuasa, hampir saja saya menyuapkan ayam pop ke mulut saya. Contoh kesalahan besar adalah ditawari gratifikasi oleh calo proyek untuk tidur sebentar (maksimum tiga jam saja) dengan artis kondang cantik asalkan bisa mencairkan dana proyek sebesar beberapa puluh miliar rupiah.

Istigfar pun diucapkan berulang-ulang di sini untuk memperkuat iman agar tidak tergoda oleh bisikan artis cantik senilai puluhan juta rupiah (awas! Bukan bisikan setan, loh ! Setan itu nakutin !). Jadi, kata ”Astaga” bukanlah istilah yang tepat untuk menyatakan kekhawatiran kita tentang ”pemuda sudah tak mau lagi peduli, mudah putus asa dan kehilangan arah ” karena itu semua bukan kesalahan kita.

Tetapi, itulah bahasa. Bahasa ada ketentuannya dan ada aturannya yang baku. Biasanya makna setiap kata dan ketentuan pemakaiannya ditulis dalam kamus seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia atau kamus antarbahasa seperti Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia-Belanda, Indonesia-Jawa, dan seterusnya. Pengarang-pengarang kamus adalah pakar-pakar bahasa, akademisi bergelar doktor dan profesor yang pekerjaannya tidak lain ya mengurus bahasa saja.

Di negara-negara maju, para akademisi itu digaji besar oleh universitasnya untuk menjaga kebakuan bahasa. Pemerintah menyediakan dana untuk pembuatan aneka kamus, dan para pengguna bahasa itu pun rajin membuka kamus kalau ada kata-kata asing, atau yang baru pernah didengarnya. Dengan demikian, kita bisa menghindari terlalu menyimpangnya bahasa dari pengertiannya yang awal.

Dengan demikian juga, bahasa itu bisa menjadi alat komunikasi yang lestari, tidak berubah-ubah terlalu banyak. Dalam bahasa Inggris misalnya banyak kata baru yang lahir dari perkembangan ilmu atau kehidupan sosial-budaya yang memang sangat dinamis. Misalnya, kata ”e-mail ” yang sekarang banyak digunakan dalam komunikasi lewat internet, belum ada dalam kamus bahasa Inggris tahun 1970-an, ketika saya mengambil S-2 di Inggris dan S-3 di Belanda.

Atau, kata smog timbul sejak Kota London sering diselimuti asap (smoke) dan kabut (fog ) akibat industrialisasi sejak awal abad XX. Atau, kata-kata yang banyak kita dengar juga dalam bahasa Indonesia seperti chatroom, agritourism. avatar , belanja online, dan masih banyak lagi. Tidak demikian halnya dengan bahasa Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia malas membaca kecuali membaca SMS atau Instagram dan teksteks dalam bahasa alay lainnya di media sosial.

Di sisi lain, orang Indonesia juga terkenal sangat kreatif, termasuk dalam penciptaaan istilah-istilah. Maka, timbullah kata-kata baru yang menyimpang dari pakem yang baku. Kata ”cuek ”misalnya berasal dari kata ”acuh”, yang awalnya adalah ”acuh-tak acuh”, yang artinya adalah ”peduli-tak peduli”.

Jadi ”acuh” dan ”cuek” itu seharusnya berarti ”peduli”, bukan ”tidak peduli” seperti diartikan dalam bahasa gaul yang makin lama makin menjadi bahasa formal. Celakanya, para penutur di media massa (khususnya TV) juga sama: malas merujuk ke kamus (versi Google-nya pun ada, loh sebenarnya), dan mereka pun menciptakan kata-kata baru seperti ”merumput” yang maksudnya adalah bermain sepak bola, padahal arti sebenarnya adalah ternak yang sedang makan rumput.

Atau, istilah turunan dari bahasa Inggris yang dipelintir-pelintir supaya kedengarannya bagus, padahal salah seperti ”sinergisitas” yang seharusnya cukup dengan ”sinergi” saja, atau ”kritisi” yang maksudnya adalah ”kritik”, atau ”nominator” yang seharusnya adalah ”nomine” (calon).

Tapi, yang sama mengganggunya adalah kesalahan ucapan karena lidah etnik tertentu yang agak aneh sehingga VIP dibaca ”pi-ai-fi ”, Free Port dibaca ”pri-fort”, dan ”feminiN” dibaca ”feminiM”. Karena semua orang malas merujuk ke kamus, dan hanya mengandalkan TV saja sebagai acuan, maka lama-lama yang salah itu menjadi baku. Sekarang hampir semua mahasiswa saya (termasuk mahasiswa S-3) menyebutkan ”feminiM”, bukan ”feminiN”. Astagaaa .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar