Pasar
Bre Redana ; Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 24 Mei 2015
Sebagai
produk kebudayaan, pasar tradisional rasanya tak beda jauh dengan kesenian
rakyat atau sering disebut kesenian tradisional. Dua-duanya terdesak oleh modernitas.
Andaikan masih ada yang bertahan, umumnya kumuh. Segelintir kelompok ketoprak
di Jawa Tengah bertahan karena militansi semangat berkesenian pemainnya.
Dibanding kesenian tradisional, pasar tradisional bertahan karena aspek lebih
kompleks.
Sebagaimana
pernah dilukiskan oleh Clifford Geertz dalam Penjaja dan Raja, ada gambaran
bahwa interaksi yang terjadi pada pasar tradisional tak semata-mata bersifat
ekonomi. Tak ada persaingan antarpedagang dalam pasar tradisional. Menurut
Geertz, dalam pasar tradisional yang terjadi adalah sliding price system
alias ”harga meluncur turun”.
Persaingannya
adalah persaingan antara penjual dan pembeli, di mana bersamaan terjadinya
transaksi ekonomi berlangsung pula transaksi kejiwaan. Pedagang dan pembeli
saling berusaha merebut hati. Kalau pembeli mampu merebut hati pedagang atau
si cowok pedagang terpincut kecantikan ibu-ibu pembeli, harga bakal meluncur
turun.
Itu
bedanya dengan pasar modern seperti dirumuskan Cyril S Belshaw. Kalau pada
pasar tradisional banyak faktor nonekonomi bermain, pada pasar modern yang
ada semata-mata faktor ekonomi. Harga sudah dipatok, fixed price. Hubungan
semua aktor yang terlibat bukan lagi hubungan kemanusiaan, melainkan hubungan
mekanis.
Makanya,
bagi siapa saja yang pernah menginjak pasar tradisional—terlebih kalau kita
mengenang pasar-pasar kita di masa lampau—yang muncul adalah kenangan
mengenai harmoni masa lalu. Segala hal terjadi di pasar. Banyak kejadian
meski tanpa peristiwa. Dari situlah masyarakat bertumbuh.
Mungkin
didasari romantisisme semacam itu, atau terlebih lagi pada dasarnya manusia
memang makhluk sosial, di sejumlah daerah dilakukan revitalisasi pasar
tradisional. Di situ tampak kesejajaran pasar tradisional dengan kesenian
tradisional. Kesenian tradisional yang bisa hidup adalah yang mampu
merevitalisasi diri, menyesuaikan diri dengan kehidupan kontemporer tanpa
kehilangan roh tradisi.
Mengenai
pasar, dalam hal revitalisasi pasar ada yang berhasil ada yang gagal.
Prestasi sangat menonjol dari Jokowi adalah ketika sebagai Wali Kota Solo dia
berhasil menata dan merevitalisasi sejumlah pasar di kota yang romantis di
waktu malam itu. Kelanjutan karier dia sebagai presiden, saya kurang berminat
memperbincangkan.
Banyak
kepala daerah kurang berhasil menata pasar. Bogor misalnya, meski wali
kotanya baru dan muda, Pasar Bogor tak kunjung menunjukkan tanda-tanda
ditangani dengan perspektif muda dan modern. Tetap kumuh, tetap memacetkan
lalu lintas, bahkan area kekumuhan perdagangannya cenderung meluas.
Contoh
keberhasilan dalam merevitalisasi pasar tradisional menjadi pasar modern
malah lebih banyak ditunjukkan oleh pihak swasta, dalam hal ini pihak
pengembang perumahan. Mengambil sampel secara acak, sebutlah misalnya Pasar
Modern Bintaro. Los-los pedagang tertata rapi, cukup bersih, beberapa makanan
dan jajanan tradisional tersedia dalam wujud sangat representatif. Nasi
jamblang Cirebon, pecel, garang asem, ketupat sayur, apalagi ya....
Interaksi
antara pedagang dan pembeli berlangsung seperti dalam pasar tradisional di
masa lalu. Orang ramai tawar-menawar. Pemuda pedagang buah mengaku, senang
berdagang di situ. Diminta pindah ke tempat lain dengan keuntungan lebih
besar pun ia berkemungkinan enggan.
Mengapa?
”Ibu-ibu
yang belanja di sini cantik-cantik...,” jawabnya cengengesan.
Hemm,
benar juga....
Mentransformasikan
nilai-nilai tradisional kita dalam kehidupan modern merupakan tugas pokok
pemerintah. Menilai keberhasilan atau kegagalan pemerintah daerah sebenarnya
tak terlalu sulit. Lihat saja pasarnya. Seperti Pasar Triwindu Solo atau
seperti Pasar Bogor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar