Senin, 25 Mei 2015

Pasar

Pasar

Bre Redana  ;  Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
KOMPAS, 24 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Sebagai produk kebudayaan, pasar tradisional rasanya tak beda jauh dengan kesenian rakyat atau sering disebut kesenian tradisional. Dua-duanya terdesak oleh modernitas. Andaikan masih ada yang bertahan, umumnya kumuh. Segelintir kelompok ketoprak di Jawa Tengah bertahan karena militansi semangat berkesenian pemainnya. Dibanding kesenian tradisional, pasar tradisional bertahan karena aspek lebih kompleks.

Sebagaimana pernah dilukiskan oleh Clifford Geertz dalam Penjaja dan Raja, ada gambaran bahwa interaksi yang terjadi pada pasar tradisional tak semata-mata bersifat ekonomi. Tak ada persaingan antarpedagang dalam pasar tradisional. Menurut Geertz, dalam pasar tradisional yang terjadi adalah sliding price system alias ”harga meluncur turun”.

Persaingannya adalah persaingan antara penjual dan pembeli, di mana bersamaan terjadinya transaksi ekonomi berlangsung pula transaksi kejiwaan. Pedagang dan pembeli saling berusaha merebut hati. Kalau pembeli mampu merebut hati pedagang atau si cowok pedagang terpincut kecantikan ibu-ibu pembeli, harga bakal meluncur turun.

Itu bedanya dengan pasar modern seperti dirumuskan Cyril S Belshaw. Kalau pada pasar tradisional banyak faktor nonekonomi bermain, pada pasar modern yang ada semata-mata faktor ekonomi. Harga sudah dipatok, fixed price. Hubungan semua aktor yang terlibat bukan lagi hubungan kemanusiaan, melainkan hubungan mekanis.

Makanya, bagi siapa saja yang pernah menginjak pasar tradisional—terlebih kalau kita mengenang pasar-pasar kita di masa lampau—yang muncul adalah kenangan mengenai harmoni masa lalu. Segala hal terjadi di pasar. Banyak kejadian meski tanpa peristiwa. Dari situlah masyarakat bertumbuh.

Mungkin didasari romantisisme semacam itu, atau terlebih lagi pada dasarnya manusia memang makhluk sosial, di sejumlah daerah dilakukan revitalisasi pasar tradisional. Di situ tampak kesejajaran pasar tradisional dengan kesenian tradisional. Kesenian tradisional yang bisa hidup adalah yang mampu merevitalisasi diri, menyesuaikan diri dengan kehidupan kontemporer tanpa kehilangan roh tradisi.

Mengenai pasar, dalam hal revitalisasi pasar ada yang berhasil ada yang gagal. Prestasi sangat menonjol dari Jokowi adalah ketika sebagai Wali Kota Solo dia berhasil menata dan merevitalisasi sejumlah pasar di kota yang romantis di waktu malam itu. Kelanjutan karier dia sebagai presiden, saya kurang berminat memperbincangkan.

Banyak kepala daerah kurang berhasil menata pasar. Bogor misalnya, meski wali kotanya baru dan muda, Pasar Bogor tak kunjung menunjukkan tanda-tanda ditangani dengan perspektif muda dan modern. Tetap kumuh, tetap memacetkan lalu lintas, bahkan area kekumuhan perdagangannya cenderung meluas.

Contoh keberhasilan dalam merevitalisasi pasar tradisional menjadi pasar modern malah lebih banyak ditunjukkan oleh pihak swasta, dalam hal ini pihak pengembang perumahan. Mengambil sampel secara acak, sebutlah misalnya Pasar Modern Bintaro. Los-los pedagang tertata rapi, cukup bersih, beberapa makanan dan jajanan tradisional tersedia dalam wujud sangat representatif. Nasi jamblang Cirebon, pecel, garang asem, ketupat sayur, apalagi ya....

Interaksi antara pedagang dan pembeli berlangsung seperti dalam pasar tradisional di masa lalu. Orang ramai tawar-menawar. Pemuda pedagang buah mengaku, senang berdagang di situ. Diminta pindah ke tempat lain dengan keuntungan lebih besar pun ia berkemungkinan enggan.

Mengapa?

”Ibu-ibu yang belanja di sini cantik-cantik...,” jawabnya cengengesan.

Hemm, benar juga....

Mentransformasikan nilai-nilai tradisional kita dalam kehidupan modern merupakan tugas pokok pemerintah. Menilai keberhasilan atau kegagalan pemerintah daerah sebenarnya tak terlalu sulit. Lihat saja pasarnya. Seperti Pasar Triwindu Solo atau seperti Pasar Bogor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar