Urgensi Lembaga Pangan
Yudhi Harsatriadi Sandyatma ; Badan Ketahanan Pangan
|
KOMPAS, 01 Juli 2015
Desakan pembentukan
lembaga pangan dari hari ke hari semakin kencang disuarakan berbagai
kalangan. Tidak sedikit yang menyuarakan untuk segera dibentuknya lembaga
pangan, yang sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,
akan bertanggung jawab dan berada langsung di bawah Presiden. Desakan ini
muncul dari anggota DPR, akademisi, praktisi di bidang pangan, serta para pemangku
kepentingan lainnya.
Desakan dari berbagai
kalangan tersebut dinilai cukup beralasan, mengingat permasalahan pangan
datang silih berganti mendera negeri ini. Permasalahan pangan itu di
antaranya menipisnya stok beras di Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) yang
berdampak pada tersendatnya penyaluran beras untuk masyarakat miskin (raskin)
dan memberikan stimulan kepada pasar terhadap kenaikan harga beras; fenomena
munculnya beras plastik; merembesnya bawang merah impor ilegal di pasar
tradisional di beberapa kota besar; dan-yang terkini-kenaikan harga bahan
pangan , seperti bawang merah, cabai, daging ayam, daging sapi, dan telur
ayam.
Pasal 126 UU No
18/2012 secara eksplisit mengamanatkan bahwa dalam hal mewujudkan kedaulatan
pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga
pemerintah yang menangani bidang pangan. Lembaga ini berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada presiden. Dalam proses pembentukan lembaga pangan
ini, UU tersebut menegaskan harus terbentuk paling lambat tiga tahun sejak UU
pangan diundangkan.
Kelemahan koordinasi
Sebagaimana
diberitakan Kompas (11/6), pemerintah saat ini sedang merancang Peraturan
Presiden tentang Badan Pangan Nasional (BPN). Badan ini memiliki fungsi: (a)
koordinasi, pengkajian, dan perumusan kebijakan di bidang ketersediaan dan
kerawanan pangan, distribusi dan pelembagaan pangan, konsumsi dan pengawasan
keamanan pangan; (b) pelaksanaan pembinaan dan supervisi di bidang
ketersediaan dan kerawanan pangan, distribusi dan pelembagaan pangan,
konsumsi dan pengawasan keamanan pangan; (c) pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan; dan (d) pengembangan dan pengelolaan data informasi pangan.
Mencermati fungsi
rancangan BPN tersebut, terlihat lebih banyak mengadopsi prototipe fungsi
badan ketahanan pangan (BKP) yang merupakan lembaga di bawah Kementerian
Pertanian selama ini. Dalam pengelolaan pangan saat ini, selain BKP, Badan
Pengawas Obat dan Makanan dan Bulog terdapat dewan ketahanan pangan (DKP),
yang beranggotakan 16 kementerian dan dua lembaga dengan fungsi sebagai
lembaga fungsional koordinatif antarkementerian/lembaga yang diketuai
langsung presiden, dengan ketua harian menteri pertanian, dan ex officio adalah BKP. Namun, kenyataannya beberapa kelembagaan
pangan tersebut oleh berbagai pihak dianggap belum maksimal dalam mengatasi
problematika pangan di negeri ini dan sering kali termentahkan pada tingkat
koordinasi.
Berkaca pada kondisi
tersebut, lembaga pangan yang baru kelak harus punya otoritas, integritas,
dan tugas serta fungsi yang kuat. Tidak sekadar menaikkan status BKP menjadi
lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK).
Salah satu solusi yang
bisa ditawarkan untuk memperkuat kewenangan dan fungsi BPN adalah menyatukan
semua tugas dan fungsi yang ada di kementerian/lembaga menjadi melekat di
lembaga pangan tersebut. Selain agar BPN menjadi powerful dari sisi otoritas,
juga untuk mempersingkat rantai birokrasi yang begitu panjang dan tumpang
tindih tugas dan fungsi selama ini.
Di sini semua
kementerian/lembaga terkait urusan pangan harus duduk bersama merumuskan
tugas dan fungsi BPN. Dalam konteks tersebut, melalui wadah DKP, presiden
selaku ketua DKP atau forum rapat terbatas dapat memberikan arahan kepada
para pembantunya.
Opsi tersebut
kemungkinan besar akan mendapat tentangan dari berbagai kementerian/lembaga
terkait, mengingat urusan pangan yang dijalankan masing-masing
kementerian/lembaga sudah lama dilaksanakan. Namun demikian, opsi tersebut
bisa memecahkan kebuntuan lemahnya koordinasi yang terjadi selama ini.
Konsekuensinya BKP dan DKP akan melebur dalam lembaga pangan tersebut.
Regulator-operator
Dengan struktur
rancangan tersebut, BPN difungsikan menjadi regulator dengan fokus utama pada
sisi hilirisasi. Sementara dari sisi hulu, seperti peningkatan produksi,
sistem budi daya pangan, dan sebagainya masih tetap di bawah naungan
kementerian teknis terkait. Adapun Bulog, dari sisi fungsi, direvitalisasi
dan dikembalikan ke "khitahnya" sebagai LPNK bukan perum, seperti
saat ini yang harus bermain dengan dua sisi, di satu sisi secara komersial
harus profit oriented, di sisi lain harus menjalankan penugasan urusan pangan
dari pemerintah. Dan, Bulog sebagai lembaga operator menjalankan hasil kebijakan dari BPN.
Dengan sarana
infrastruktur Bulog yang dimiliki saat ini, seperti divisi regional yang
tersebar di 26 provinsi, 130 subdivisi regional, 1.550 gudang, 132 unit
pengelola gabah/beras, dan 319 unit pusat distribusi pangan/Bulog Mart
menjadikan Bulog satu- satunya lembaga yang memiliki kesiapan kelembagaan dan
sarana pendukung dalam pengelolaan beras dan beberapa pangan lainnya.
Dalam konteks
pengelolaan cadangan pangan, hal tersebut sejalan dengan amanah Pasal 32 UU
No 18/2012 tentang Pangan yang menyatakan bahwa pemerintah menugasi
kelembagaan pemerintah yang bergerak di bidang pangan untuk mengelola
cadangan pangan pemerintah yang didukung dengan sarana, jaringan, dan
infrastruktur secara nasional.
Dalam skala yang lebih
luas, BPN dapat melaksanakan pembinaan dan mengoordinasikan kegiatan Bulog
dalam melaksanakan penugasan pemerintah untuk pengadaan, penyimpanan,
distribusi dan stabilisasi harga pangan pokok beras, dan pangan pokok lainnya
yang ditetapkan pemerintah dalam rangka ketahanan pangan.
Untuk mengembalikan
peran Bulog kepada "khitahnya", di atas kertas seyogianya tidak
sesulit yang kita bayangkan. Ini mengingat sinyal perombakan fungsi Bulog
sudah dikemukakan langsung Presiden Joko Widodo pada saat pembukaan Rakernas
Tim Pengendali Inflasi Daerah, 27 Mei. Artinya, tugas utama perancang
kelembagaan Bulog saat ini adalah membuat peran Bulog semaksimal mungkin yang
selaras dengan BPN kelak.
Oleh karena itu,
sebagai hubungan regulator-operator, Bulog yang selama ini memiliki banyak
"Bapak", misalkan dalam hal raskin dengan Kementerian Sosial,
kemudian dalam hal pengadaan impor, operasi pasar, dan stabilisasi harga
pangan dengan Kementerian Perdagangan, dan pemberian rekomendasi izin impor
pangan dengan Kementerian Pertanian, dengan adanya BPN, maka Bulog akan berpatron kepada lembaga pangan baru
tersebut. Dengan demikian, rantai birokrasi akan menjadi singkat dan
problematika pangan yang mengemuka akan cepat diantisipasi.
Tata kerja pusat-daerah
Selain penguatan
otoritas kelembagaan pangan di pusat, tidak kalah penting adalah tata kerja
yang harus dibangun antara pusat dan daerah di era otonomi daerah.
Kelembagaan yang menangani ketahanan pangan yang sudah terbentuk di provinsi
dan kabupaten/kota menjadi modal utama
untuk menjalin tata kerja antara pusat dan daerah.
Sebagai perpanjangan
tangan pusat untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan di daerah,
kelembagaan pangan di provinsi dan kabupaten/kota harus memiliki otoritas
yang kuat, selaras dengan pembentukan organisasi sebagaimana diamanatkan
dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara konseptual, tata kerja
organisasi kelembagaan pangan di pusat-daerah dapat mengadopsi pola yang
telah dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
di mana di provinsi ada perwakilan BPN begitu pula di kabupaten/kota.
Pada akhirnya,
perubahan kelembagaan pangan yang sangat mendasar tersebut-dan memperhatikan
bahwa pangan memiliki posisi yang sangat strategis dari sisi politis, sosial,
budaya, ketahanan nasional, dan menyangkut hajat hidup orang banyak-maka
pembentukan lembaga pangan yang didesak berbagai kalangan adalah suatu hal
yang realistis dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Faktor otoritas
kelembagaan pangan yang kuat dan kepemimpinan layaknya dua sisi mata uang
yang tidak dapat dipisahkan guna mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian
pangan, dan kedaulatan pangan sebagaimana dicita-citakan pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
Pembentukan lembaga
ini diharapkan menjadi jembatan keterwujudan negara hadir sekaligus menjadi
dirigen, laksana komposer memimpin sebuah orkestra, manakala berbagai permasalahan
pangan muncul dapat diselesaikan secara paripurna. Selain itu, juga berbagai
target kegiatan dalam rangka swasembada pangan dapat tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar