Jumat, 03 Juli 2015

Profesionalisme Polri Harapan Masyarakat

Profesionalisme Polri Harapan Masyarakat

   Budi Gunawan  ;   Wakapolri
KORAN SINDO, 01 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”A hero is an ordinary individual who finds the strength to persevere and endure in spite of overwhelming obstacles.”

Premis yang dilantunkan Christoper Reeve tersebut terdengar bersahaja. Namun, di balik ketenangannya tersimpan gemuruh yang menghadirkan perspektif lain akan makna kepahlawanan.

Aktor pemeran Superman ini tak hendak menggugat makna heroisme yang selama ini kita hidupi. Ia sekadar menyimpulkan nilainilai baru, dengan perbuatan biasa-biasa saja, namun menginspirasi jutaan lainnya. Baginya, pahlawan adalah orang biasa yang memiliki kekuatan untuk bertahan dan teguh menghadapi berbagai deraan.

Tesis Reeve ini terasa cukup relevanuntukdiketengahkansebagai bahan refleksi di momen Hari Bhayangkara ini. Dengan tugasnya sebagai penegak hukum dan penjaga kamtibmas, bagi sebagian orang polisi dipandang sebagai pahlawan. Namun, tak sedikit juga yang menganggap sebaliknya.

Dua variabel ini, sebagaimana juga performa yang memberi harapan maupun yang menurunkan citra, selalu mewarnai perjalanan Polri. Diskresi yang dimiliki dalam penegakan hukum menyediakan banyak peluang bagi polisi untuk menjadi pahlawan dengan bertindak progresif sebagai penjaga keadilan. Namun, di sisi lain kewenangan tersebut juga dapat menjerumuskan polisi ke lembah kenistaan bila menyelewengkannya. Profesi kepolisian memang sarat dengan ironi dan kontradiksi.

Di antara dualisme inilah polisi harus meniti tugas dan tanggung jawabnya sebagai bhayangkara negara. Hanya sakralitas pengabdian yang membuat seorang polisi sanggup bertahan dengan teguh menghadapi berbagai tantangan, dan inilah yang dalam kategori Christoper Reeve di atas membuat polisi layak disebut sebagai pahlawan. Karena diskresi yang melekat, kerja polisi menjadi tak mengenal batas, 24 jam sehari, baik siang maupun malam, dinas maupun tidak.

Lingkungan kerja polisi juga bukanlah ruang ber-AC yang nyaman seperti penegak hukum lainnya. Di jalanan yang terik dan berdebu, polisi harus berhadapan dengan penjahat yang siap menghunus badik. Celakanya, sekalipun berhadapan dengan para kriminal, polisi dituntut untuk menghormati hak asasi mereka dan siap dijadikan bulanbulanan.

                                                         ***

Dilema memang selalu mewarnai tugas polisi. Petugas kepolisian di lapangan yang bukan profesor diharuskan bertindak seketika, tanpa sempat membaca referensi, tanpa ruang untuk berpikir. Jika tindakannya benar, polisi tak akan mendapat aplaus. Bila tindakan yang ditempuh keliru, polisi bisa kehilangan nyawa atau berhadapan dengan hukum. Ibarat buah simalakama, satu kaki polisi berada di penjara dan kaki lainnya ada di kuburan.

Dengan pertaruhan semacam ini tak adil rasanya bila orang hanya pandai mencerca kinerja kepolisian, tanpa memahami berbagai kendala yang dihadapi profesi itu sendiri. Publik hanya menilai apa yang tampak di permukaan dan berangkat dari prasangka. Hal ini tentu saja akan mereduksi kompleksitas profesi kepolisian. Herman Goldstein (1977) dalam Policing a Free Society telah mengingatkan betapa tidak mudahnya mendefinisikan peranan polisi.

Hal ini juga diamini oleh David H Bayley (1994) melalui Police for the Future yang menyatakan bahwa penilaian terhadap peran polisi sering diwarnai oleh mitos dan stereotip. Tingginya tingkat persentuhan polisi dengan masyarakat, dibanding dengan derajat persentuhan profesi penegak hukum lainnya, membuat rentan terjadi friksi. Selain itu, polisi juga tak bisa menghindar dari pandangan sinis masyarakat.

Konsekuensinya, prestasi polisi akan dianggap sebagai sebuah kewajaran, sedangkan kegagalan akan melahirkan deraan yang datang bertubi-tubi. Itulah sebabnya lahir pameo yang menyebut polisi sebagai profesi yang jasa-jasanya tak terhimpun dan dosa-dosanya yang tak berampun. Sebagai bhayangkara negara dengan pengabdian yang tak mengenal batas, deraan ini diterima sebagai kritik yang dilandasi kecintaan masyarakat terhadap polisi.

Karena itu, jika polisi mampu menyikapi deraan ini sebagai kritik yang membangun melalui profesionalismenya, seperti kata Reeve di atas, polisi mampu memenuhi harapan masyarakat. Tantangan terbesar bagi segenap jajaran Polri di usia yang telah memasuki 69 tahun ini adalah menjadikan Polri semakin profesional sesuai harapan masyarakat. Polri memiliki kekuatan untuk meraih semua itu. Kekuatan yang berasal dari berbagai deraan yang telah menempa Polri selama ini. Seperti kata George Kirkham, polisi adalah manusia biasa yang luar biasa.

Dengan berperan sebagai penegak hukum dan keadilan, dapat dipastikan friksi dengan masyarakat akan dapat diminimalisasi dan Polri akan dicintai masyarakat. Fungsi ”ultima ” dari hukum yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan dapat terpenuhi.

Hal ini tentu dapat menjadi kado istimewa bagi masyarakat di usia Polri yang ke- 69, sesuai dengan tema yang diusung, ”Melalui Revolusi Mental, Polri Siap Memantapkan Soliditas dan Profesionalisme Guna Mendukung Pembangunan Nasional.” Dirgahayu Polri!!!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar