Jumat, 03 Juli 2015

PMA dan Tenaga Kerja Terampil

PMA dan Tenaga Kerja Terampil

   Elfindri   ;   Profesor Ekonomi SDM
dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Unand
KORAN SINDO, 02 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Indonesia memang memerlukan penanaman modal asing (PMA), sebagai salah satu sumber faktor produksi, selain dari peranan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Keduanya masuk komponen investasi dalam penentuan pendapatan nasional.

Tambahan investasi akan meningkatkan ketersediaan modal (stock of capital) dan penambahan investasi dengan sendirinya akan memerlukan tambahan tenaga kerja. Jika investasi padat teknologi, tenaga kerja profesional yang lebih banyak diperlukan. Bila padat tenaga kerja, selain tenaga kerja murahan, mereka yang terampil (skills) juga akan banyak diperlukan.

PMA akan semakin mudah apalagi saat di mana Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah terbentuk. Sekalipun sudah diputuskan jenis-jenis lapangan pekerjaan yang boleh mobile antarnegara ASEAN, tidak tertutup dalam naskah kerja sama PMA desainnya dibuat secara captive, alias investasi besertaan penyediaan tenaga kerja. Ini ancaman baru.

PMA Gaya Baru

Pemain PMA yang relatif besar ke depan diperkirakan akan berasal dari negara-negara Asia Timur Baru seperti China, Korea, Jepang, Singapura, Taiwan. Kemudian diikuti oleh Thailand dan Malaysia. Dari sekian negara Asia Timur, China memang memiliki potensi paling besar.

Ini memungkinkan terjadi mengingat saat ini China masih bisa bertahan pertumbuhan ekonominya sekitar 7%, menyusut memang pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan sepuluh tahun terakhir. China sanggup tumbuh ekonominya pada kisaran 8-11%, yang membuat negara ini melalui pendapatan menengah pada kisaran lima tahun saja.

Kelebihan modal tampaknya tidak bisa serta-merta digunakan untuk perluasan investasi dalam negeri China. Perekonomian yang mulai membuih dalam bubble economy di China telah membuat arah investasi ditujukan ke Indonesia dan Vietnam.

Sekalipun demikian, PMA memang akan berdampak kepada salah satu sumber pembiayaan investasi domestik. Ancaman yang ada di balik itu adalah bagaimana desain investasi itu disepakati. Proyek-proyek infrastruktur dan proyek pembangkit tenaga listrik misalnya memerlukan tenaga terampil (skills).

China lebih cenderung memilih proyek PMA satu paket dengan penyediaan tenaga kerja ”turnkey project ”. Selain kemudahan, bahasa mereka juga memiliki tenaga kerja terampil. Besaran investasi disertai dengan penyediaan tenaga kerja dari pemodal. Ini memang telah menjadi tren, ketika China membuat jalan Lintas Timur Afrika, dan pembangunan jalan kereta api di Arab Saudi.

Berbagai pemenangan tender proyek listrik ”power plant ” di Indonesia memerlukan sedikitnya 50.000 tenaga kerja. Pada 2012 salah satu contoh nyata adalah penggunaan tenaga kerja keteknikan untuk kategori skills dan profesional untuk pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap, di Teluk Siri, Padang. Sama dengan memakan manisnya tebu dengan akar-akarnya.

Kelebihan supply tenaga kerja engineering di China yang terampil tidak disertai dengan ketersediaan tenaga kerja yang sama di dalam negeri. Alumni ITB yang menamatkan pendidikan teknik mesin misalnya hanya mengetahui sedikit bidang keteknikan. Namun, tidak memiliki sertifikasi untuk bidang-bidang tertentu. Sebaliknya, engineering China selain memiliki keterampilan (skills) tertentu kemudian menguasai bahasa China, mereka memang tidak mengetahui masalah secara umum.

Proyek Infrastruktur

Ground breaking infrastruktur MP3EI untuk wilayah koridor Sumatera oleh Presiden Jokowi sudah dilakukan pada Mei 2015. Proyek pembangunan infrastruktur dari Bandar Lampung sampai ke Aceh mesti memerlukan tenaga kerja berketerampilan (skills). Ini akan diikuti oleh pembangunan infrastruktur Jawa, Trans Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Selain dari itu implementasi di balik UU Desa No 6 Tahun 2014, juga semakin memperbesar keperluan tenaga kerja berketerampilan, baik untuk pengawas, pelaksana proyek- proyek fisik yang disepakati bersama di desa-desa.

Apalagi, prioritas Nawacita untuk mengalokasikan anggaran infrastruktur sekitar 30% dari APBN. Prioritas pembangunan sanitasi, perumahan, pasar tradisional, sekolah-sekolah, dan fasilitas publik lainnya. Berbagai perkiraan menunjukkan bahwa hingga 2019 diperlukan tenaga kerja terampil sebanyak 200.000 orang untuk mendukung program in-frastruktur nasional.

Gerak Cepat

MARA Institute di Malaysia sudah bertugas untuk melahirkan tenaga kerja berkeahlian (skills). Plumber, ahli memasang keramik, pasang bata, pengawas proyek bangunan, dan jenis keterampilan lainnya dihasilkan selama lebih kurang satu tahun. Ini sudah aktif sejak 1990-an dalam mendukung program infrastruktur semasa Presiden Mahatir.

Di Indonesia hanya alumni pendidikan vokasi yang dapat memainkan peranan untuk itu. Sayangnya, data yang ada menunjukkan angka pengangguran tamatan vokasi pada Februari 2015. Diploma 1/II/III dan SMK masing-masing 7,49% dan 9,05%. Pengangguran SMA dan PT adalah 8.17% dan 5,34%.

Fenomena kekurangan tenaga kerja terampil sangat mudah dimengerti. Pendidikan vokasi kita menghasilkan tamatan berijazah, tapi hanya sekitar 10% yang memiliki sertifikasi. Pendidikan S-1 lebih cenderung tahu sedikit-sedikit dan sulit masuk sebagai tenaga profesional, khususnya pada proyek-proyek infrastruktur. Karena itu, benang merahnya adalah bagaimana menghasilkan tenaga berketerampilan menengah (skills) lebih cepat dan strategis.

Anehnya, selama tiga tahun terakhir, banyak juga pendidikan vokasi swasta dan keteknikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak jalan alias ditutup. Dengan begitu, Kopertis sebagai badan perpanjangan Kemenristek- Dikti terkesan sulit memberikan pembinaan. Dikti, sejak lima tahun terakhir, telah mengajukan sebuah alternatif model pendidikan komunitas ”community college”.

Sayangnya, pendidikan komunitas yang dimaksud tidak berjalan ataupun, kalau jalan, sangat lamban. Ini dihasilkan karena petunjuk pelaksanaan yang sangat kaku. Misalnya, pemerintah daerah diharapkan akan mampu mengelola pendidikan komunitas (model pemerintah). Dalam kenyataannya jumlah pembukaan pendidikan komunitas oleh pemerintah hanya dihitung dengan jari.

Sementara pendidikan vokasi kepoliteknikan dan pendidikan keteknikan S-1 swasta juga hidup Senin-Kamis (model swasta). Memiliki mahasiswa yang terbatas, dosen terbatas, dan laboratorium yang terbatas. Bayangkan, untuk menghasilkan sarjana teknik selama empat tahun diperlukan biaya tidak kurang dari Rp145 juta per orang. Itu belum besertifikat.

Model yang memadukan (model kuasi) antara pemerintah dan masyarakat diharapkan akan lebih mudah untuk mewujudkan pendidikan komunitas ini.
Yayasan mendirikan akademi komunitas, dan mengelolanya, sementara fasilitas pendidikan tersedia pemerintah, termasuk instruktur (idle), dapat dicarikan dari umum. Pendidikan D-1 sangat memungkinkan jika pemerintah memberikan mandat bagi mereka yang ingin mengelola model pendidikan komunitas ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar