Jumat, 03 Juli 2015

NU Bukan Alquran Tua

NU Bukan Alquran Tua

   Arif Afandi  ;   Ketua LP NU Jatim
JAWA POS, 03 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SAAT muktamar ke-33 yang berlangsung di Jombang, Jawa Timur, 1–5 Agustus 2015 mendatang, NU telah berusia 89 tahun. Itu merupakan usia yang cukup tua bagi sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan para ulama pada 1926 tersebut. Lebih tua dari usia republik. Mendahului umur negara Nusantara yang baru memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Sebagai ormas Islam yang berusia hampir seabad, tentu banyak hal telah dilalui. Kemampuan bertahan dalam setiap tahapan sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan NU punya ketahanan dalam menghadapi setiap perubahan dalam masyarakat. Perjalanan sejarah panjang NU selama ini telah membuktikan organisasi yang didirikan KH Hasyim Asy’ari tersebut tak lekang oleh zaman.

Akankah NU masih juga bisa mempertahankan kebesarannya di era perubahan yang makin cepat sekarang? Mungkinkah ia bisa berperan besar dalam mengawal warganya untuk menjaga nilai-nilai keagamaan dalam perubahan dahsyat dunia? Bagaimana ia harus menghadapi zaman global yang baru saat ini? Berbagai pertanyaan yang perlu jawaban.

Sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, kepemimpinan NU dalam hal keagamaan tentu akan terus menghadapi tantangan. Persoalan keagamaan tidak hanya berbicara tentang mempertahankan cara beribadah yang berporos pada ahlussunnah wal jamaah annahdliyah, tapi juga bagaimana nilainilai keagamaan kontekstual dengan perkembangan masyarakat.
Namun, bagaimana menambah isi tradisi keagamaan itu dengan tema kebutuhan sehari-hari?

Kebutuhan batiniah warga nahdliyin tetap perlu dipenuhi oleh tradisi-tradisi keagamaan NU. Namun, kebutuhan lahiriah warga juga harus terus ditingkatkan. Menambah materi instrumen keagamaan tersebut dengan materi ekonomi, misalnya.

Dalam hal ini, tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana ’’kejamaahan’’ di NU itu bermetamorfosis menjadi alat transformasi kekinian. Forum yasinan, dibaan, dan barzanji tidak hanya bermakna keagamaan, tapi juga media mengangkat jamaah dalam hal kesejahteraan. Ia bisa menjadi instrumen ekonomi yang dahsyat karena berbasis jamaah yang sudah saling percaya.

Kelompok-kelompok yasinan dan salawatan itu didorong juga menjadi kelompok kegiatan ekonomi. Mulai kegiatan simpan pinjam syariah sampai dengan kelompok kepemilikan saham terhadap unit bisnis. Kelompok yang berkembang di komunitas RT, RW, dan kampung itu akan menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang kelak bisa berjejaring satu sama lain.

Tentu, mendorong transformasi dari jamaah keagamaan menjadi jamaah keekonomian tersebut bukan pekerjaan gampang. Kegiatan ekonomi sangat berbeda dengan kegiatan sosial, apalagi gerakan politik.

Tapi, sekali lagi, ini bukan sesuatu yang musykil. Ada sejumlah contoh yang bisa jadi best practices. Yakni, sukses lembaga keuangan BMT (baitul mal wa tamwil) milik Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Lembaga keuangan tersebut berkembang pesat dengan aset yang sudah mencapai triliunan rupiah dengan menggunakan basis relasi kejamaahan. Pengurus MWC NU Kanigoro Blitar sukses menggunakan forum jamaah tahlil dan dibaan untuk sosialisasi kepemilikan saham toko ritel.

Persoalannya tinggal pada komitmen NU sebagai jamiyah untuk menjadikan modal besar jamaah ini untuk kepentingan ekonomi warganya. Komitmen itu berupa kesediaan untuk menyediakan dan menyiapkan sistem modern untuk menjaga kepercayaan jamaah dalam jagat ekonomi bisnis. Misalnya, sistem keuangannya yang standar, sistem pertanggungjawaban yang tepercaya, dan sistem jaringan bisnis yang bisa diandalkan.

Basis jamaah yang ditopang dengan sistem manajemen modern pasti akan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat. Manajemen bisnis modern telah mengakui kekuatan komunitas sebagai strategi andal dalam dunia pemasaran dan terobosan meningkatkan penjualan. NU adalah sebuah organisasi yang berbasis komunitas yang diikat oleh keyakinan keagamaan. Juga memiliki kelembagaan yang mapan untuk menjaga soliditas komunitasnya.

Haruskah kita merelakan kekuatan kejamaahan tersebut untuk orang lain? Sungguh akan sangat rugi jika itu terjadi. Hanya, untuk bisa memanfaatkan kekuatan tersebut untuk kesejahteraan jamaahnya sendiri, diperlukan pergeseran mindset atau cara berpikir para pengendali NU struktural. Apa itu? Kesabaran lebih untuk memetik hasil. Juga memberi kesempatan kepada para nahdliyin yang ingin berkhidmah di bidang ini.

Jika ini terwujud, bisa dibayangkan kekuatan ekonomi yang akan dihasilkan dari kekuatan nahdliyin ini. Jika selama ini NU telah menang dalam percaturan kepemimpinan keagamaan di negeri ini, pada saatnya, NU juga harus tampil di dalam kepemimpinan ekonomi bangsa. Jika ini terjadi, bukan mustahil juga akan lahir kepemimpinan politik yang lebih mandiri.

Saya jadi teringat kata-kata Mahbub Djunaidi dalam salah satu kolomnya. Tokoh NU yang juga penulis andalan tersebut mengatakan, ’’Jangan sampai NU menjadi semacam Alquran tua. Dibaca tidak bisa, dibuang berdosa.’’ Bayangkan, mushaf Alquran berguna sepanjang bisa dibaca. Tapi, karena kesuciannya, kita tidak boleh membuang sembarangan meski sudah rusak.

Tentu, kita semua juga tidak ingin NU bernasib seperti Alquran tua: hanya dijaga sebagai sebuah jimat karena didirikan para kiai yang kita hormati. Tapi tidak bisa memberikan manfaat bagi warga nahdiyin yang sudah sangat besar di negeri ini. Ayo kita buktikan bahwa NU bukan Alquran tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar