Senin, 11 Mei 2015

Upaya Mengurangi Konsumsi Beras

Upaya Mengurangi Konsumsi Beras

Posman Sibuea ;  Guru Besar Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan; Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
MEDIA INDONESIA, 09 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HARGA beras yang tetap bertahan tinggi di tengah panen raya kali ini menjadi anomali ketah anan pangan. Perum Bulog tidak mampu membeli beras petani dengan harga di atas HPP yang sudah ditentukan. Dari perspektif produksi beras nasional sebenarnya saat ini dalam kondisi aman. Produksi padi nasional 2014 mencapai 71 juta ton gabah kering giling. Jika jumlah itu dikonversi ke beras sudah mencapai 45 juta ton.

Kebutuhan beras nasional versi Kementerian Pertanian dengan asumsi jumlah penduduk 250 juta orang, konsumsi per kapita per tahun 139 kilogram (kg) per kapita per tahun hanya sekitar mencapai 35 juta ton.Jika data produksi padi 2014 bisa dipercaya, Indonesia sesungguhnya sudah surplus beras sekitar minimal 10 juta ton. Lantas, pertanyaannya mengapa harga kebutuhan pokok ini semakin mahal?

Indonesia berpotensi masuk ruang krisis pangan yang lebih berat jika penyediaan pangan pokok dan pola konsumsinya hanya mengandalkan beras dan bergantung pada negara lain, pula karena tiap negara akan mendahulukan kepentingan negaranya. Produksi pangan harus bisa dilakukan secara mandiri agar Indonesia yang dikenal sebagai bangsa agraris bisa berdaulat atas pangan. Sistem usaha tani harus disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal.

Tidak berpihak pada petani

Harga beras dan gabah yang kian mahal ternyata tak berpihak pada petani. Sebagian petani ternyata sudah menjual gabah sebelum panen terakhir berlangsung akhir April lalu. Saat ini beras sudah ada di tangan pedagang--bahkan dikendalikan segelintir pemain bermodal besar pengusaha gilingan padi--yang siap meraup untung besar.

Lonjakan harga yang sangat signifikan itu ditengarai karena ulah pedagang besar yang bisa mengendalikan secara lihai sistem distribusi dan harga. Mereka memanfaatkan secara s baik kegaduhan politik KPK vs Polri yang y ternyata belum berakhir meski sudah Kapolri baru ditetapkan. Energi pemerintah habis terkuras untuk persoalan itu sehingga lalai menata politik kedaulatan pangan.

Harga beras yang tetap tinggi di tengah kelimpahan panen diduga hanya rekayasa para pemburu rente bermodal gede. Tujuannya agar pemerintah menutup kelangkaan dengan membuka keran impor beras. Permainan ala mafioso itu makin sempurna.Kenaikan harga di tingkat grosir secara otomatis diikuti pedagang eceran. Sambil melakukan penimbunan, efek domino kenaikan harga menjadi kekuatan mereka untuk bermain lebih leluasa di ruang ketersediaan dan distribusi beras.

Stabilitas harga beras secara berkesinambungan harus terus dilakukan pemerintah dengan melakukan perbaikan dan pengawasan distribusi. Operasi beras secara langsung kepada konsumen merupakan pilihan terbaik. Selain itu, pemerintah sudah sepatutnya memperbaiki sistem produksi beras nasional sejak dari hulu. Merujuk pada hasil pemeriksaan BPK pada 2010-2012, target produksi beras nasional tidak efektif dan anggaran boros karena lemahnya pengawasan. ketidakefektifan penggunaan anggaran juga terjadi pada program perluasan lahan pertanian.

Pengelolaan politik pangan nasional seakan berjalan dengan sendirinya tanpa kehadiran kinerja dari pemerintah. Negara mengalami autopilot karena pemerintah telah gagal membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pencapaian peningkatan produksi beras nasional yang kerap `dinyanyikan' pemerintah pusat sebagai kinerjanya di tengah harga pangan global yang makin mahal, lebih pada gerakan masyarakat petani lokal yang berjalan dengan sendirinya tanpa dikelola secara baik oleh otoritas pemerintah.

Sebagian besar masyarakat merasakan ketidakkehadiran pemerintah ketika harga berbagai kebutuhan pokok terkatrol oleh permainan mafioso. Pemerintah terus membiarkan pola konsumsi pangan masyarakat tetap mengkristal pada beras sehingga menjadi ruang inkubasi para mafia beras untuk mendulang rupiah. Meskipun sudah digulirkan sejak enam tahun silam Perpres No 22 Tahun 2009 tentang percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, upaya mencari solusi terhadap tingginya konsumsi beras sangat lamban dan kurang menyentuh akar permasalahan.

Belum serius

Menyangkut upaya pengurangan konsumsi beras sekitar 1,5% per tahun, tertuang dalam Perpres No 22 Tahun 2009, pemerintah dalam memformat model pengembangan pangan pokok lokal (MP3L) untuk menyubstitusi beras nyaris jalan di tempat untuk tidak mengatakan gagal. Pemerintah belum serius mengembangkan tanaman umbi-umbian yang relatif lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim ketimbang tanaman padi. Dengan semakin mahalnya harga beras, pemerintah seharusnya tidak perlu panik dengan membuka keran impor beras yang efek jangka panjangnya sangat merugikan petani lokal. Yang patut dilakukan ialah mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal.

Untuk memerangi praktik mafia beras, upaya yang bisa dilakukan ialah mempercepat diversifikasi konsumsi pangan seraya mengurangi volume penyaluran raskin setiap ta hun.Pengurangan konsumsi beras (termasuk raskin) secara bertahap harus didukung dengan program MP3L secara berkelanjutan. Program ini merupakan langkah strategis untuk dilakukan pemerintah sebagai mesin percepatan diversifikasi pangan.

Paling tidak tiga cara berikut patut dipertimbangkan dilakukan untuk pengembangan produk pangan pokok lokal yang mendukung penguatan kedaulatan pangan. Ya itu, 1) Masyarakat didorong untuk meningkatkan proporsi konsumsi pangan sumber karbohidrat lokal nonberas, 2) Menumbuhkan kelem bagaan UKM industri pangan nonberas berbasis sumber daya lokal, 3) Pengembangan teknologi tepat guna untuk pengolahan pangan pokok lokal yang mudah diakses masyarakat.

Ketiga langkah itu menjadi mesin pendorong penganekaragaman konsumsi pangan yang patut terus dihidupkan supaya program yang sudah jalan seperti one day no rice terkawal secara baik di tengah masyarakat. Kampanye program seperti ini harus lebih konkret lagi di lapangan dengan mengajak dan menyapa publik bahwa makan pagi, siang, atau malam tak selalu harus dengan nasi, mi, atau roti dari terigu. Gerakan ini harus dirancang lebih persuasif sehingga ma syarakat mau diajak terlibat untuk mengurangi konsumsi beras dan terigu.

Penguasaan teknologi dan inovasi pengolahan pangan lokal nonberas seperti umbiumbian, sagu, dan pisang sebagai bagian dari program MP3L harus terus dikumandangkan tidak hanya pada saat merayakan Hari Pangan Sedunia atau Hari Kemerdekaan. Berbagai produk MP3L harus terus digulirkan sehingga bisa bersanding dengan produk pangan berbasis beras dan terigu.

Diversifikasi konsumsi pangan akan berhasil jika pemerintah mampu mengatrol kasta pangan lokal. Produknya harus diperkaya dengan protein, lemak, mineral, dan vitamin yang tepat. Dengan promosi yang gencar lewat iklan dan kampanye di media massa, produk ini akan kian dikenal masyarakat perkotaan. Selain itu, pemerintah diharapkan membuat regulasi agar perusahaan penerbangan komersial seperti Garuda Indonesia dan yang lainnya menyajikan makanan kepada penumpangnya dari produk olahan berbasis ubi-ubian, jagung, sagu, dan pisang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar