Tionghoa
Menggugat Tragedi Mei 1998
Hendra Kurniawan ; Dosen
Pendidikan Sejarah
Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta
|
SUARA MERDEKA, 19 Mei 2015
SUDAH 17
tahun berselang, namun peristiwa Mei 1998 masih menyisakan persoalan.
Terutama kepedihan dan trauma bagi banyak korban, termasuk warga Tionghoa di
Indonesia. Mereka menjadi sasaran pengalihan amuk massa yang terjadi siang
malam tanggal 12-16 Mei 1998. Banyak toko dan rumah milik warga Tionghoa
dirusak. Selain kerugian ekonomi akibat penjarahan dan perusakan, kekerasan
fisik termasuk kekerasan seksual dan tekanan mental dirasakan warga Tionghoa
pada masa-masa itu.
Selain
Jakarta, beberapa kota di Indonesia menjadi saksi bisu pecahnya konflik SARA
yang menyasar warga Tionghoa, misalnya di Solo, Kebumen, Kudus, Pekalongan,
Situbondo, Rengasdengklok, Bagan Siapiapi, hingga Makassar. Banyak yang
menganalisis bahwa isu rasial yang terjadi pada kurun waktu itu lebih karena
provokasi belaka. Nyatanya banyak penduduk yang bukan Tionghoa memberi
bantuan dan melindungi orang Tionghoa yang merasa terancam. Sentimen
anti-Tionghoa memang tidak mudah dihapus begitu saja, namun sebenarnya rasa
kemanusiaan dan keharmonisan itu masih ada.
Faktanya
bagaimana pun sejarah telah berbicara bahwa tragedi Mei 1998 menjadi catatan
kelam sekaligus awal titik balik bagi warga Tionghoa untuk memiliki
kesempatan yang sama sebagai warga negara. Pemerintahan selanjutnya sejak
reformasi bergulir terus mencoba mengakomodasi Tionghoa dalam berbagai
bidang.
Selama
ini bertahun-tahun telah tercipta stereotip negatif terhadap warga Tionghoa
yang diidentikkan dengan perilaku tidak patriotik, eksklusif, bersifat
asosial dan apolitik. Warga Tionghoa diupayakan keluar dari lingkaran
mayoritas dan ditempatkan sebagai orang asing (outsider) di negeri yang sejak
lahir telah menjadi tanah airnya. Suburnya sentimen anti-Tionghoa layaknya
bom waktu yang siap meledak kapan saja. Puncaknya terjadi dalam kerusuhan
rasial pada Mei 1998.
Saat itu
tak hanya kerugian harta benda namun juga perlakuan keji dan tidak senonoh
(penyerangan dan perkosaan) harus diterima oleh masyarakat Tionghoa yang
menjadi korban. Tak heran apabila banyak yang kemudian berbondong-bondong
pergi ke negara lain dan enggan kembali ke Indonesia meskipun dalam hati kecilnya
muncul kerinduan.
Tragedi
Mei 1998 merupakan bukti bahwa konsep asimilasi yang diusung oleh Orde Baru
gagal dan bersifat memaksa. Sentimen anti-Tionghoa begitu mudahnya disulut.
Pembauran yang dianjurkan pemerintah Orde Baru tidak mengarah pada kerukunan
hidup bermasyarakat, namun justru memicu kerentanan sosial sekaligus
mematikan demokrasi.
Salah Satu Suku
Pembauran
semestinya dapat berjalan secara wajar dan alamiah sebagaimana pernah terjadi
pada masa kejayaan Nusantara dulu. Ini mengindikasi bahwa gagasan integrasi
jauh lebih tepat. Tionghoa harus diakui sebagai salah satu suku yang
kedudukannya sama seperti halnya Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, Dayak,
Bugis, dan suku-suku lainnya di Indonesia.
Pengakuan
terhadap identitas kultural merupakan hak yang perlu dimiliki oleh setiap
kelompok masyarakat, termasuk Tionghoa. Orang Tionghoa tidak dapat sepenuhnya
menanggalkan nilai-nilai budaya negeri asalnya yang telah mendarah daging.
Meskipun demikian, sebenarnya orang Tionghoa merasa melu handarbeni lan
hangrungkebi terhadap negara tempat mereka dilahirkan, mencari penghidupan,
dan menjalani hidup hingga ajal menjemput.
Salah
besar apabila ada yang mengatakan bahwa orang Tionghoa tidak memiliki rasa
nasionalisme dan tidak memiliki sumbangsih bagi negeri ini. Sejarah telah
mencatat sekian banyak tokoh Tionghoa yang berperan pada masa pergerakan
nasional, proklamasi, ikut serta dalam pemerintahan, hingga berjasa
mengharumkan nama bangsa ini melalui bidang-bidang yang ditekuninya. Sayang,
tidak banyak yang memahaminya dengan baik.
Menyadari
keprihatinan ini tidak hanya menggerakkan Tionghoa untuk bangkit, namun
kiranya juga mengetuk kesadaran sejarah seluruh elemen bangsa. Harapan bangsa
untuk hidup berdampingan secara harmonis sebagaimana dicita-citakan oleh
semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus diwujudkan. Kini bukan hanya tuntutan
keadilan bagi warga Tionghoa atas Peristiwa Mei 1998 yang perlu
diperjuangkan, namun juga momentum untuk bergandengan tangan dan saling
menopang antaranak bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar