Toleransi
dan Masa Depan Amerika T Satrio Nugroho ; Diplomat, Pernah
Bertugas di KBRI Washington DC (2017-2021) |
KOMPAS, 8 Mei 2021
Intoleransi merebak di sejumlah tempat. Di
Amerika Serikat, dalam beberapa bulan terakhir terjadi peningkatan tindakan
intoleran, seperti kasus Black Lives Matter dan kekerasan terhadap warga
keturunan Asia. Berbagai penelitian menggunakan argumentasi
kekuatan nyata, seperti kekuatan militer, ekonomi, serta kepemimpinan untuk
menganalisis bangun dan jatuhnya negara. Profesor dari Yale Law School, Amy
Chua, dalam bukunya, Day of Empire: How Hyperpowers Rise to Global
Dominance-and Why They Fall (Double Day, 2007), membuktikan—meminjam Josep
Nye: hard power dan soft power—bahwa hard power ditopang oleh sokoguru
toleransi (soft power) merupakan faktor terpenting bertumbuh dan runtuhnya
negara adidaya (hyperpower). Toleransi
dari masa ke masa Para penguasa adidaya menguasai wilayah
luas dengan penduduk beragam. Untuk meraih dan mempertahankan dominasi global
dibutuhkan manajemen toleransi yang mumpuni. Penggunaan kekerasan dan paksaan
untuk penyeragaman terlalu mahal dan tidak produktif. Toleransi—merujuk Profesor Chua—merupakan
instrumen penguasa adidaya mempertahankan hegemoninya dengan cara memberikan
kebebasan berbagai masyarakat yang berbeda (suku, agama, ras, atau latar
belakang lainnya) untuk hidup bersama, berpartisipasi, dan tumbuh dalam
masyarakat adidaya. Penguasa Kekaisaran Romawi (31 SM-1453)
memperbolehkan berbagai bangsa jajahan (seperti Afrika, Spanyol,
Gaul-sekarang disebut Perancis) menduduki jabatan tinggi di birokrasi ataupun
militer. Dengan cara tersebut, penduduk jajahan mendapatkan saluran untuk
menyampaikan aspirasi mereka kepada penguasa. Lebih penting, secara simbolis
mereka merasa menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi. Selain untuk mempertahankan hegemoni,
kebijakan toleransi juga dapat mendorong tumbuhnya negara adidaya. Republik
Belanda (1588-1795) menjadi negara adidaya melalui kebijakan membuka para
imigran asing yang mengalami persekusi agama di Eropa. Akibat kebijakan
tersebut, Belanda menjadi pusat perdagangan, industri, dan keuangan dunia.
Belanda menempuh jalan ekonomi/perdagangan bukan pendudukan untuk menjadi
negara adidaya. Pesaing
hegemoni Amerika Dalam sejarah hegemoni adidaya, kemunculan
adidaya diikuti kemunculan pesaing baru. Setelah Perang Dunia (PD) II, Amerika
secara bersama menerapkan strategi untuk menjaga dan memperluas hegemoninya,
yaitu strategi ekonomi dan strategi militer. Pembangunan kembali
negara-negara di Eropa Barat (Marshall Plan) dan pembentukan landasan dan
wadah ekonomi-perdagangan-keuangan (Bretton Woods System, IMF, World Bank,
dan WTO). Meskipun demikian, kekuatan militer tetap diperkokoh sebagai
respons menguatnya militer Uni Soviet. Persaingan antara kedua belah pihak
juga dilakukan dalam penyebaran ideologi untuk mendapat dukungan dari wilayah
hegemoni. Sekitar satu dekade sebelum runtuhnya Uni
Soviet, pemimpin China menempuh ”jalan Belanda” model kapitalisme. Deng
Xiaoping memulai proyek ambisius untuk membangun kembali kejayaan adidaya
China (masa Dinasti Tang). Menurut Bank Dunia pertumbuhan ekonomi China
tertinggi sepanjang sejarah ekonomi dunia (rata-rata 9,5 persen). Setelah kemenangan dalam PD II, Amerika
memperkokoh hegemoni dunia. Berbagai persoalan di tingkat kawasan atau pun
dunia dapat diselesaikan dengan resep dan cara Amerika. Kulminasinya berupa
runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an; menjadikan Amerika sebagai
hegemoni global tanpa pesaing. Kondisi tersebut mendorong tumbuhnya rasa
percaya yang berlebihan dalam diri Amerika. Perhatian terhadap calon pesaing
baru, China, terus terabaikan karena pasca-penyerangan gedung WTC, Amerika
memfokuskan pada persoalan Timur Tengah (intervensi di Afghanistan, Irak, dan
Suriah). Konstelasi hegemoni tunggal berubah dengan
tejadinya krisis ekonomi subprime mortgage yang dimulai di Amerika dan
menyebar menjadi resesi global 2008 – 2009. Salah satu faktor penyebab krisis
adalah tingginya defisit neraca perdagangan Amerika terhadap Tiongkok yang
meningkat 3 kali lipat (83,8 miliar dollar AS pada tahun 2000 menjadi 258,5
miliar dollar AS pada tahun 2007). Seiring dengan ekonomi yang terus bertumbuh
pesat, China memperluas pengaruhnya. Kerja sama intensif dengan 44 negara di
Afrika. Proyek OBOR (One Belt One Road) pembangunan infrastruktur
konektivitas dengan 70 negara di Asia, Afrika, dan Eropa dicanangkan oleh
China pada tahun 2013. Pengaruh China di Amerika Latin melalui perdagangan
(antara tahun 2000 hingga 2009 perdagangan China-Amerika Latin meningkat
1.200 persen). Dominasi
global Amerika digeser China? Sebagai tanggapan atas kemunculan China,
Presiden Obama meluncurkan kebijakan ”Pivot to Asia” (tahun 2012) yang
memindahkan (rebalancing) fokus Amerika dari Timur Tengah dan Eropa ke Asia
Timur dan Pasifik. “Pivot to Asia” merupakan strategi untuk ”membendung”
pengaruh China melalui penguatan dan perluasan kerja sama militer dan ekonomi
di wilayah Asia dan Pasifik. Politik luar negeri Amerika berubah masa
Presiden Trump. Mendasarkan pada suara kelas menengah bawah yang kecewa atas
kondisi ekonomi Amerika, Presiden Trump menerapkan apa yang dikenal dengan
America First. Pendekatan America First mengutamakan kepentingan domestik,
berjangka pendek, diplomasi transaksional, serta mengesampingkan
multilateralisme dan regionalisme. Tujuan America First adalah memperkuat
postur ekonomi dalam negeri Amerika. Dengan kebijakan baru tersebut, Amerika
lebih mengutamakan dukungan konstituen dalam negeri ketimbang pendukung dari
luar negeri. Narasi besar seperti demokrasi, lingkungan hidup, good
governance, mekanisme pasar bebas untuk kesejahteraan diganti dengan narasi
defisit neraca perdagangan, investasi dalam negeri. Beberapa analisis hubungan
internasional menilai adanya korelasi antara populisme dengan peningkatan
potensi konfrontasi di arena internasional. Pada masa Presiden Trump, hubungan
Amerika-China memanas dalam berbagai isu baik soal ekonomi-perdagangan
(perang tarif, penyebutan China sebagai currency manipulator), saling tuduh
penyebar virus Covid-19. Hubungan kedua negara mencapai titik nadir ketika
Menteri Luar Negeri Pompeo menyatakan berakhirnya engagement dengan
Pemerintahan Partai Komunis China, dengan tuduhan China melakukan praktik
perdagangan unfair, pencurian hak cipta/intelektual, pelanggaran HAM di
Xinjian dan HongKong, serta tindakan agresif di Laut China Selatan. Kebijakan America First juga berdampak pada
toleransi masyarakat AS. Sebagai bangsa yang merupakan melting pot dari
berbagai imigran, Amerika—seperti masa Republik Belanda—memiliki keuntungan
dengan masuknya orang-orang terbaik (the best and the brightest). Di sisi
lain, masyarakat melting pot membutuhkan manajemen toleransi yang kompleks.
Ketika populisme mengeraskan isu perbedaan, mudah terjadi tindakan intoleran. Di masa mendatang, militer Amerika masih
mengungguli China, tetapi postur ekonomi China lebih baik dibanding Amerika.
Peran GDP China terhadap dunia (basis PPP tahun 2050) sebesar 22 persen dibanding
Amerika yang sebesar 14 persen. Satu aspek yang memberikan keunggulan besar
kepada Amerika—seperti yang dikatakan oleh kolumnis New York Times, Thomas
Friedman—pengetahuan dan inovasi ke depan dibangun berdasarkan jaringan
sosial yang mensyaratkan keterbukaan, pertukaran ide secara bebas, dan
pembentukan hubungan yang produktif. Ini hanya dapat terjadi dalam masyarakat
yang demokratis. Dalam rumusan lain, pentingnya toleransi untuk mendorong
inovasi dan produktivitas. Lepas dari persaingan antara adidaya, bagi
masyarakat dunia yang didambakan adalah perlombaan negara adidaya untuk
secara bersama mengatasi persoalan dunia, meliputi masalah kesehatan,
lingkungan hidup, kemiskinan, dan keamanan. Sebagai sesama negara yang
menjunjung tinggi perbedaan dalam bingkai kesatuan (Bhinneka Tunggal Ika-E
Pluribus Unum), Amerika dapat menimba kearifan lokal dari trilogi
kepemimpinan Taman Siswa. Pertama, ing ngarsa sung tuladha (di depan
memberi contoh). Sikap dan tindakan Amerika akan mendapat dukungan dengan
memberi contoh, tidak double standard, dan mengutamakan dialog ketimbang
tekanan. Kedua, ing madya mangun karsa (di tengah memberikan dorongan).
Amerika memberikan dorongan kepada organisasi multilateral dan regional untuk
penyelesaian masalah-masalah dunia dan regional. Keterlibatan Amerika dalam
permasalahan dunia akan mendapat dukungan internasional penuh apabila
mendapat legitimasi dari PBB. Ketiga, tut wuri handayani (di belakang selalu
menyemangati). Mengutamakan penyelesaian masalah di tingkat regional, Amerika
mendengar dan memperhatikan kearifan lokal dan mendorong penyelesaian oleh
para tokoh setempat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar