Timbangan
Idul Fitri Dipo Alam ; Pemerhati
Ekonomi-Politik |
KOMPAS, 11 Mei 2021
Dalam tradisi Islam di
Indonesia, Idul Fitri bukan hanya ritus keagamaan, melainkan telah menjadi
ritus sosial dan kebudayaan yang berakar dalam. Secara ekonomi, Idul Fitri
juga mesin pendorong ekonomi yang signifikan. Dari sisi keagamaan, Idul
Fitri biasanya dimaknai dalam dua pengertian, sesuai makna yang melekat pada
kata fitri. Pertama, kata fitri diartikan ’berbuka puasa’, sesuai akar kata
ifthar (sighat mashdar dari aftharo-yufthiru). Dengan demikian, Idul Fitri
berarti ’Hari Berbuka Puasa’. Itu sebabnya, sebelum
melaksanakan shalat Id, kaum Muslim disunahkan untuk makan dan minum terlebih
dahulu meskipun hanya sedikit. Selain itu, karena merupakan hari berbuka,
pada hari itu umat Islam juga diharamkan untuk berpuasa. Kedua, kata fitri bisa
juga diartikan sebagai ”suci”, di mana Idul Fitri dimaknai sebagai kembalinya
seseorang kepada keadaan suci, bebas dari segala dosa dan keburukan, seturut
akar kata fathoro-yafthiru. Baik sebagai hari berbuka
puasa maupun sebagai hari kembali pada kesucian, kedua pengertian itu
sama-sama berarti kebahagiaan bagi umat Islam, sehingga selalu dirayakan
dengan penuh kegembiraan dan rasa kemenangan. Ritus
kebudayaan Selain ritus keagamaan, di
Indonesia perayaan Idul Fitri juga telah menjadi ritus kebudayaan. Sejak
sebelum datangnya hari raya, hingga setelah hari raya lewat, kita memiliki
sejumlah ritus turunan yang telah berkembang menjadi tradisi. Mulai dari
mudik Lebaran, ziarah ke makam leluhur dan handai taulan, halalbihalal dengan
kerabat dan kolega, saling berbagi hantaran makanan, hingga tradisi membuat
ketupat, adalah beberapa di antaranya. Secara sosiologis, tradisi
mudik merupakan cermin dari kuatnya ikatan kekeluargaan di tengah masyarakat
kita. Pertalian keluarga, khususnya di tengah masyarakat Jawa, menurut
Hildred Geertz (1985), memang kuat sekali ikatannya. Keluarga memainkan peranan
penting di berbagai ranah, bukan hanya dalam sistem kekerabatan, melainkan
juga dalam pertukaran sumber daya, hingga ke soal politik. Bahkan, saking
kuatnya peran tradisional keluarga, di masa Orde Baru, keluarga pernah
menjadi subyek penting dalam proses pembentukan negara. Sejak proses kelahiran,
pendidikan, pernikahan, hingga kematian, keluarga selalu memainkan peranan
yang menonjol. Itu sebabnya, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, mudik
ke kampung halaman belum bisa digantikan oleh kemajuan teknologi. Kompleksitas
sosial yang ada dalam tradisi mudik tak bisa disederhanakan hanya sebatas
hubungan silaturahmi atau komunikasi belaka. Dimensi
ekonomi Di sisi lain, mudik juga
punya dimensi ekonomi yang menonjol. Triwulan yang bertepatan dengan mudik
Idul Fitri biasanya berkontribusi sekitar 25 persen, atau bahkan lebih,
terhadap total produk domestik bruto (PDB) tahun berjalan. Sudah lazim diketahui
bahwa sepanjang bulan Ramadhan hingga Idul Fitri, konsumsi masyarakat
biasanya memang meningkat. Pada momen tersebut, penjualan sektor ritel
rata-rata meningkat 30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan
lain. Sebagai catatan, konsumsi
domestik merupakan penyumbang PDB terbesar. Porsinya berkisar 54-56 persen
PDB, jauh lebih besar dari sumbangan investasi (32 persen), belanja negara
(9-10 persen), dan juga ekspor. Tak heran, setiap menjelang Idul Fitri, Bank
Indonesia biasanya selalu menyiapkan uang tunai ekstra untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Tahun ini, misalnya,
meskipun masih berada di tengah pandemi Covid-19 dan ada kebijakan larangan
mudik, BI menyiapkan uang tunai Rp 152,14 triliun. Jumlah ini naik 39,33
persen dibandingkan dengan tahun 2020. Melalui tradisi mudik,
perputaran uang yang semula hanya terkonsentrasi di kota-kota besar di Jawa,
khususnya Jakarta, juga jadi terdistribusi ke berbagai pelosok Tanah Air.
Dengan demikian, dari momen ritual mudik, kita bisa menggerakkan semua sektor
ekonomi hingga ke pelosok daerah. Menariknya, sebagai hari
raya, Idul Fitri juga memiliki dimensi sosial yang melekat. Sebab, sebelum
hari itu tiba dan dirayakan, umat Islam diwajibkan untuk mengeluarkan zakat,
baik berupa beras, makanan, maupun uang, kepada mereka yang membutuhkan. Kewajiban untuk membayar
zakat ini bisa menjadi instrumen sosial penting, apalagi secara kumulatif
bisa menghimpun dana masyarakat dalam jumlah besar. Menurut data Badan Amil
Zakat Nasional (Baznas), pada periode Ramadhan tahun ini penerimaan zakat
diperkirakan Rp 6 triliun. Angka ini 30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan
penerimaan zakat nasional pada Ramadhan tahun lalu, yang mencapai Rp 4,2
triliun. Angka Rp 6 triliun ini
setara dengan 50 persen anggaran Bantuan Sosial Tunai (BST) tahun 2021, yang
oleh negara dianggarkan sebesar Rp 12 triliun dan menyasar 10 juta keluarga. Dengan kata lain, melalui
ibadah Ramadhan dan perayaan Idul Fitri, umat Islam tidak hanya telah
berkontribusi menggerakkan perekonomian, tetapi juga berkontribusi dalam
mendistribusikan kemakmuran lewat instrumen zakat. Timbangan
yang rusak Sayangnya, meski punya
kontribusi besar, umat Islam kadang dicurigai dan menjadi obyek stigmatisasi.
Di sini saya jadi teringat kembali Surat Al-Isra Ayat 35: ”Dan sempurnakanlah
takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah
yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Ada banyak hal yang kini
berlangsung di sekitar kita tidak lagi ditakar dengan cara yang benar, atau
tidak ditakar dengan alat yang benar. Buntutnya, banyak nilai dan tatanan
jadi jungkir balik tak karuan. Misalnya, seorang tokoh
yang sebenarnya tidak kompeten, tetapi hanya karena populer, hari ini bisa
tiba-tiba dijadikan pemimpin. Orang yang tidak mengerti Pancasila, bahkan
pernah menghina Pancasila, tiba-tiba bisa dijadikan sebagai duta Pancasila. Atau, orang yang tidak
pernah melakukan riset, atau menulis publikasi ilmiah, tiba-tiba bisa
dijadikan penguasa atas badan riset nasional. Semua itu menunjukkan kacaunya
timbangan yang kita gunakan. Di hari raya Idul Fitri ini, saat emak-emak
biasanya sibuk memeriksa timbangan berat badan mereka, kita berharap agar
timbangan nilai-nilai yang kita yakini bisa kembali normal. Selamat Idul
Fitri 1442 H. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar