Resiliensi
Ekonomi Perempuan Mukhaer Pakkanna ; Rektor Institut
Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, Jakarta |
KOMPAS, 4 Mei 2021
Lebih dari setahun, pandemi Covid-19
membersamai kita. Hampir semua lini kehidupan terdisrupsi. Pelaku usaha yang
paling berdampak adalah yang berjuang di aras bawah piramida ekonomi: usaha
ultramikro, mikro, dan kecil. Hasil survei LIPI (2020) mengonfirmasi
94,69 persen pelaku usaha ultramikro dan UMKM mengalami penggerusan penjualan
sejak pandemi. Bahkan, 49,01 persen pelaku usaha ultramikro mengalami
penurunan penjualan lebih dari 75 persen. Demi bertahan hidup, mereka rela
bekerja dengan jam kerja panjang, jauh di atas jam kerja normal. Belum ada data pasti berapa jumlah
perempuan yang bergulat dalam usaha ultramikro. Rapuhnya data jumlah usaha
ultramikro lebih dipicu karena mereka tak teregistrasi dan legalitasnya
diragukan. Mereka distigmakan sebagai bagian dari
underground economy, hidden economy, shadow economy, dan lainnya sebagai
aktivitas nonpasar. Mereka tak tercatat dalam perhitungan BPS dan produk
domestik bruto (PDB). Jumlah perempuan sebagai pelaku usaha ini lebih banyak
daripada laki-laki, terutama di masa pandemi. Masa pandemi, perempuan riskan mengalami
pelbagai masalah, mulai dari tripple burden of women (Sadli, 2008;
Asmorowati, 2005): kehilangan mata pencarian, terpaksa jadi tulang punggung
keluarga, hingga kekerasan berbasis jender. Di sisi lain, pandemi juga
membuka akses bagi perempuan berkontribusi perangi Covid-19 dan mendukung
perekonomian, dimulai dari tingkat keluarga. Survei Women Count dari UN Women dan The
United Nations (UN) Covid-19: ”Menilai Dampak Covid-19 terhadap Gender dan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”, melaporkan
bagaimana Covid-19 mengekspos kerentanan perempuan terhadap turbulensi
ekonomi dan memperdalam ketidaksetaraan yang sudah ada di Indonesia sejak
sebelum pandemi. Beberapa temuan menarik laporan ini,
pertama, perempuan di Indonesia banyak bergantung usaha keluarga, tetapi 82
persen mengalami penurunan dalam sumber pendapatan. Kendati 80 persen
laki-laki juga mengalami penurunan serupa, fakta membuktikan, laki-laki
mendapatkan keuntungan dari sumber pendapatan yang lebih luas. Kedua, sejak pandemi, 36 persen perempuan,
dibandingkan 30 persen laki-laki pekerja informal, harus mengurangi waktu
kerja berbayar mereka. Ketiga, pembatasan sosial membuat pekerjaan
rumah tangga tak berbayar menjadi layanan dasar penting, tapi perempuan
memikul beban terberat: 69 persen perempuan dan 61 persen laki-laki
menghabiskan lebih banyak waktu mengerjakan pekerjaan rumah tangga tak
berbayar. Demikian pula, 61 persen menghabiskan lebih banyak waktu untuk
kerja pengasuhan tak berbayar, dibanding 48 persen laki-laki. Resiliensi
perempuan Topik utama resiliensi perempuan sejatinya
adalah aksesibilitas. Seperti diutarakan Amartya Sen (1981), kemiskinan
terjadi akibat capability deprivation (kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam
hidup seseorang). Ketidakbebasan masyarakat yang substantif
itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi. Dengan demikian, kemiskinan
diakibatkan keterbatasan akses. Jika manusia mempunyai keterbatasan pilihan
untuk mengembangkan hidupnya, akibatnya manusia hanya menjalankan apa yang
terpaksa dapat dilakukan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan. Dalam banyak studi juga diuraikan adanya
relasi antara program resiliensi ekonomi perempuan dan upaya menekan angka
kemiskinan. Jika program resiliensi ini optimal, diasumsikan lebih dari
separuh program pengentasan rakyat miskin dianggap sukses. Laporan riset World Bank Group in Women,
Business and the Law 2016 mencatat, pada era 1990-an, hanya sedikit negara
yang punya aturan hukum melindungi perempuan dari kekerasan. Namun, pada
2016, jumlahnya mencapai 127 negara, yang dipicu meningkatnya kesadaran
terhadap biaya ekonomi dan manusiawi yang harus ditanggung akibat salah
memperlakukan perempuan. Tatkala perempuan diizinkan bekerja pada
profesi yang mereka inginkan, ketika mereka memiliki akses terhadap jasa
keuangan dan dilindungi oleh hukum dari kekerasan rumah tangga, maka kaum
perempuan bukan saja lebih berdaya dan mandiri secara ekonomi, melainkan juga
berumur panjang. Semakin banyak perempuan punya kendali atas
pendapatan rumah tangga semakin besar partisipasi dalam aktivitas ekonomi,
semakin banyak perempuan masuk sekolah menengah semakin besar pula keuntungan
bagi anak-anak mereka, masyarakat, dan negara. Inklusi
keuangan Dengan demikian, resiliensi perempuan terkait
erat dengan dampak kemandirian. Kemandirian perempuan miskin terkait akses
dan kontrol perempuan di rumah tangga dan di luar rumah tangga. Yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana
mengaitkan dengan program financial inclusion (inklusi keuangan), yakni
berikan porsi pembiayaan lebih besar kepada nasabah perempuan dalam proses
resiliensi. Model inklusi keuangan seperti ini akan mampu memacu pembangunan
ekonomi di aras bawah piramida melalui peningkatan kebiasaan menabung,
menciptakan kesempatan kerja, dan meningkatkan tingkat monetisasi. Inklusi keuangan tentu berbasis ekonomi
digital. Digitalisasi dapat menjadi sebuah solusi. Merujuk studi
Lestariningsih et al (2017), peningkatan 10 persen akses internet terhadap
perempuan meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB) 0,51 persen.
Peningkatan ini lebih besar daripada pria, yaitu 0,43 persen. Jika digerakkan secara efektif, usaha
mendigitalisasi pelaku usaha ultramikro dan mikro perempuan juga dapat
berkontribusi dalam meningkatkan angkatan kerja perempuan dan selanjutnya
memperkecil indeks ketimpangan jender. Mengonfirmasi studi UNDP (2020),
partisipasi perempuan dan laki-laki pada angkatan kerja Indonesia masih
timpang, 82 persen laki-laki dan 53 persen perempuan di atas usia 15 tahun
pada 2019. Digitalisasi atau penggunaan internet dalam
transaksi jual beli menjadi salah satu cara efektif agar pelaku usaha
ultramikro dan mikro tetap dapat menjalankan usahanya. Menurut survei BPS
pada 2020, empat dari lima pengusaha yang memasarkan produknya secara daring
mengalami peningkatan penjualan. Bukti ini diperkuat laporan Google,
Temasek, dan Bain & Company (2020) yang menyatakan terdapat peningkatan
konsumen digital 37 persen akibat pandemi. Karena itu, sejatinya baik
pemerintah maupun sektor privat, ormas, dan LSM perlu melaksanakan program
resiliensi ini untuk memudahkan transformasi digital usaha ultramikro dan
mikro secara masif dan terukur. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar