Puasa
dalam Bingkai Kemanusiaan Idi Subandy Ibrahim ; Peneliti Budaya,
Agama, Media, dan Komunikasi |
KOMPAS, 8 Mei 2021
Berapa kali kita makan dalam sehari? Berapa
kali kita membeli pakaian baru dalam setahun? Berapa uang yang kita sisihkan
untuk orang lain yang menurut pikiran kita perlu dibantu? Sayangnya pertanyaan sederhana tersebut
tidak selalu mengetuk kesadaran kita. Betapa banyak orang yang tidak bisa
makan tiga kali sehari. Tidak bisa mengenakan pakaian baru bertahun-tahun.
Tidak bisa bergembira ketika banyak orang bersukacita. Dalam budaya masyarakat konsumsi, iklan
mengajarkan kita bahwa memiliki hal-hal serba baru, materi serba lebih, dan
makanan serba enak itu tanda bahagia. Sementara sebagian kalangan bawah hanya
bisa menyaksikan kendaraan nyaman, hunian asri, atau makanan lezat di
tayangan iklan televisi atau Youtube. Mereka tak bisa seleluasa kita memilih
jenis makanan yang disukai. Bahkan, makanan pun tak selalu tersedia di piring
yang ada. Puasa mendidik kita untuk merasakan
kesusahan orang lain yang tak seberuntung kita: kaum miskin. Dalam puasa,
kita merasakan betapa berat menjadi orang miskin. Psikolog menyebut kemampuan
merasakan itu sebagai empati. Empati tidak dilandasi melulu nalar, melainkan
akal budi. Puasa menajamkan akal budi dan hati kita akan penderitaan orang
lain. Ramadhan adalah bulan untuk menumbuhkan empati kemanusiaan kita yang
tergerus oleh pandangan dunia individualisme dan egoisme. Karena itu, bagi Muslim, Ramadhan adalah
bulan berbagi. Bukankah hanya dengan hati yang digenangi cinta, akan selalu
ada sesuatu untuk kita bagikan. Bukankah hanya dengan kalbu yang dipenuhi
empati, akan selalu ada kasih di dalam aksi. Dalam masyarakat komoditas penuh
persaingan, kata ’berbagi’ dimaknai berbeda oleh setiap orang. Bagi sebagian
orang, berbagi mungkin dianggap sebagai kehilangan sesuatu. Tetapi, bagi yang
lain sebagai kenikmatan batin. Puasa mengubah persepsi kita mengenai kerja
keras dan hasil. Dan, memperluas persepsi kita mengenai makna menjadi bahagia
di dunia. Bahwa hanya orang yang bahagialah yang bisa membahagiakan orang
lain. Bahwa apa yang dibagikan kepada orang yang membutuhkan dari hasil kerja
keras itulah sesungguhnya kekayaan sejati. Kini, di awal abad ke-21, rupanya pandangan
dunia rasionalisme yang menuhankan nalar dan keunggulan teknologi makin
mendominasi akal budi manusia. Di tengah pandemi, di tengah kerapuhan
manusia, bayang-bayang peperangan, kekerasan, konflik, terorisme, dan korupsi
tak juga reda, Bumi terus diperas oleh jiwa yang culas. Jiwa manusia
direduksi menjadi robot-robot dalam mesin algoritma di tengah kedigdayaan
peradaban digital. Wajah kemanusiaan terpuruk dalam
ketidakpastian yang membayang di tengah pandemi. Di ruang publik terjadi
perbenturan nilai, ’akal bulus’ dan ’akal budi’. Berbagai mesin hasrat
konsumtif terus beroperasi untuk mengubah kesadaran manusia dan
membelokkannya menjadi pemuja komoditas. Memunculkan kebutuhan artifisial
yang kian memperbesar dominasi naluri kebinatangan manusia dan selanjutnya
mengalienasinya lebih jauh dari fitrah spiritualnya. Sebulan berpuasa bisa menjadi momentum
reformasi budaya dan spiritual kita. Gemblengan lahir-batin dalam menumbuhkan
kembali sikap hidup yang penuh penghargaan untuk menyemarakkan nyala
antusiasme religiositas dalam bingkai kemanusiaan di tengah dunia yang murung
tersebut. Momentum keberhasilan reformasi budaya dan
spiritual itu layak dirayakan sebagai hari kemenangan yang dinanti-nanti,
baik oleh kalangan beruntung maupun yang kurang beruntung, yakni hari nan
fitri: Hari Raya Idul Fitri. Hari kebahagiaan, bagi orang-orang yang mampu
mengalahkan hawa nafsu, menaklukkan ego, dan hari kembali ke fitrah. Titik
awal untuk melakukan lompatan dalam roda kehidupan selanjutnya. Seperti dikatakan oleh Seyyed Hossein Nasr,
seorang intelektual Muslim, ”Puasa juga memberikan siraman wewangian bagi
jiwa manusia yang keharumannya dapat tercium lama setelah bulan puasa
berakhir. Puasa memberikan sumber energi yang dapat bermanfaat selama setahun
penuh. Karena itu, Bulan Suci ini disebut sebagai bulan penuh berkah,
’mubarak’. Bulan ketika berkah Allah mengalir kepada umat Islam dan
menyegarkan kembali sumber-sumber kehidupan dan perbuatan yang paling dalam.” Agama mengajarkan agar manusia menumbuhkan
sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Jadilah bayangan Tuhan agar kita mampu
mencintai-Nya adalah inti dari seruan agama kepada umat manusia. Sang guru
spiritual, Jalaluddin Rumi, memandang kehidupan manusia sebagai perjuangan
tak habis-habisnya untuk mencapai tingkat kerohanian tertinggi. Menjalani puasa di masa pandemi seperti
saat ini seyogianya kian menyadarkan kita bahwa pengabdian di dunia dalam
berbagai dimensi kemanusiaan adalah perwujudan dari pengabdian kepada Tuhan.
Jika Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, maka jadilah manusia yang pengasih
dan penyayang terhadap sesama. Ini mengingatkan kita akan apa yang sering
diungkapkan oleh tokoh agama seperti KH Abdurrahman Wahid yang menggambarkan
dengan bagus, ”Keimanan bukanlah sesuatu yang abstrak dan berdiri sendiri
lepas dari kehidupan, melainkan ia merupakan bagian utama dari kehidupan,
karena ia harus mengarahkan kehidupan itu kepada suatu keadaan yang
dikehendaki Tuhan. Karena Tuhan adalah Tuhan yang Baik, Pemaaf, Pemurah, dan Pengasih,
maka manusia tidak dapat lepas dari keharusan mewujudkan dalam dirinya
sifat-sifat tersebut. Upaya mewujudkan sifat-sifat Tuhan itu dalam diri
manusia tidak dapat berarti lain dari keharusan berbuat baik kepada sesama
manusia, bersikap murah hati kepada mereka, mudah memaafkan kesalahan mereka,
dan senantiasa berusaha mengasihi mereka. Sudah tentu tuntutan itu berujung
pada keharusan manusia untuk senantiasa memikirkan kesejahteraan bersama
seluruh umat manusia, bahkan kesejahteraan seluruh isi alam dan jagat raya
ini.” Jadi, puasa sebulan yang dijalani kaum
Muslim di seluruh pelosok dunia menyampaikan pesan kemanusiaan sangat tegas
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup bahagia di dunia. Tanggapan
atas pesan itu tidak selalu dalam bentuk sumbangan belas kasih, tetapi dalam
kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kaum kurang beruntung. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar