Presiden
Jokowi dan Pendidikan yang Memerdekakan Mawar Kusuma Wulan ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 3 Mei 2021
Menyambut hari pendidikan nasional,
Presiden Joko Widodo terlibat dalam perbincangan seru bersama Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim. Berdua, mereka
saling melemparkan pertanyaan dan jawaban terkait perkembangan dunia
pendidikan. Presiden Jokowi pun punya kesempatan berkisah tentang masa kecilnya
ketika masih berstatus pelajar yang tak pernah mau kalah. Perbincangan ringan dalam wujud podcast
atau siniar yang terasa ringan, tapi berisi ini, bisa diakses oleh siapapun
di kanal Youtube Sekretariat Presiden pada Minggu (2/5/2021) petang.
Sama-sama memakai kemeja batik lengan panjang dan celana panjang warna hitam,
obrolan mengalir santai. Awalnya, Pak Presiden dan Mas Menteri
-demikian mereka saling melempar sapaan- sama-sama memakai masker. Namun,
karena sudah saling menjaga jarak dan telah menjalani tes PCR, mereka lantas
sama-sama membuka penutup masker. “Semangat Ki Hadjar Dewantara bahwa
pendidikan haruslah memerdekakan manusia. Kemerdekaanlah yang jadi tujuan.
Dengan berbekal pendidikan, semua orang boleh jadi apa saja. Tetapi selain
itu harus menghormati kemerdekaan orang lain,” ujar Presiden Jokowi ketika
menjawab pertanyaan tentang apa makna Hari Pendidikan Nasional. Tak ingin hanya duduk sebagai narasumber
yang pasif, Presiden Jokowi segera balik melontarkan pertanyaan: “Coba saya
ingin bertanya pada Mas Menteri. Apa filosofi Ki Hajar Dewantara yang
terkenal di dunia pendidikan?“ Presiden Jokowi lantas tersenyum sebagai
tanda setuju dengan paparan yang segera dilontarkan oleh Nadiem terkait
pendidikan yang memerdekakan. “Tentunya filosofi merdeka belajar itu yang
Pak Presiden baru jelaskan. Tapi satu lagi: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani... Esensi dari ini adalah jiwa kepemimpinan
dari pendidik itu luar biasa pentingnya. Konsep gotong royong yang sudah kita
buahkan dalam profil Pelajar Pancasila itu sebenarnya arah merdeka belajar
Pak Presiden,” jawab Nadiem. Untuk mewujudkan pendidikan yang
memerdekakan, Presiden Jokowi menyebut perlu ada cara-cara baru. Seiring
dengan pandemi Covid-19, dunia pendidikan harus mudah beradaptasi.
“Tantangannya bagaimana pembelajaran tersampaikan dengan baik terutama
pendidikan dasar. Guru dituntut lebih kreatif dan inovatif,” ujar Presiden
Jokowi. Percepatan
digitalisasi Namun, kondisi pandemi sekaligus menjadi
momentum untuk mengevaluasi pendidikan yang telah diterapkan. Pandemi jangan
menjadi penghalang untuk melahirkan Sumber Daya Manusia yang unggul.
Pendidikan berkualitas yang kompetitif harus inklusif dan bisa dirasakan
untuk seluruh rakyat. Terkait evaluasi sistem pendidikan di masa
pandemi, Nadiem segera membenarkan bahwa semua kelemahan segera tampak karena
pandemi. Beberapa kelemahan tersebut antara lain adalah kesenjangan digital
yang masih terus terjadi dan penganggaran yang selama ini ternyata tidak
memprioritaskan daerah 3T, yaitu daerah tertinggal, terdepan, dan terluar di
Indonesia. Untuk mengimbangi semangat para guru yang
luar biasa di masa pandemi, Presiden Jokowi menegaskan bahwa vaksinasi
terhadap pendidik dan tenaga kependidikan akan terus menjadi prioritas.
Presiden Jokowi menargetkan seluruh pendidik sudah divaksinasi pada akhir
Juni. “Kita punya target. Ada target pendidikan
yang perlu dari offline ke hybrid. Kita ingin segara mengembalikan anak-anak
ke sekolah, tapi dengan catatan harus aman Covid. Kita bisa segera mengejar
ketertinggalan karena pandemi,” kata Presiden Jokowi Nadiem menimpali bahwa kalau semua guru
sudah divaksin, sekolah wajib membuka opsi tatap muka. Tetapi, orangtua tidak
wajib mengirimkan anaknya ke sekolah jika orangtuanya tidak merasa nyaman. “Pertama, tatap muka terbatas. Bukan kayak
sekolah normal. Nggak ada ekskul, kapasitasnya cuma 50 persen. Harus rotasi.
Dan yang kedua, haknya ujung-ujungnya itu ada di orangtua,” tambah Nadiem. Meskipun terjadi percepatan digitalisasi
akibat pandemi, Nadiem menyebut masih banyak kendala terkait koneksi internet
hingga kepemilikan ponsel. Kualitas dari pembelajaran diakui memang mengalami
penurunan, tapi guru dan anak didik telah belajar mengenal platform digital.
Nantinya, ketika anak-anak sudah kembali belajar di sekolah, beragam platform
teknologi digital ini akan tetap dimanfaatkan. Semangat
kompetitif Selain digitalisasi sekolah, Nadiem
menyebut beberapa terobosan dalam program pembelajaran. Ujian nasional,
misalnya, telah diubah menjadi asesmen nasional. “Bukan mengukur informasi,
tapi kita mengukur numerasi dan literasi kemampuan bernalar sesuai standar
internasional,” kata Nadiem. Untuk pertama kalinya, pemerintah juga akan
menambahkan survei karakter di sekolah. Nilai-nilai pancasila akan bisa
diukur dan dikuantifikasi per sekolah. Isu-isu seperti intoleransi, kekerasan
seksual, dan perundungan pun nantinya bisa terukur per sekolah. “Nanti ada peta-petanya. Ini salah satu
program big data pertama kita Pak. Pak Presiden selalu menagih saya mengenai
melakukan digital goverment ini step pertama kita,” tambah Nadiem. Nadiem kemudian juga memaparkan tentang
program Guru Penggerak hingga transformasi keuangan dalam penyaluran dana BOS
(Bantuan Operasional Sekolah). Dana BOS tak lagi terlambat karena langsung
ditransfer ke rekening sekolah, tanpa harus melalui pemerintah daerah. Kepala
sekolah juga punya fleksibilitas dalam penggunaan dana BOS. Mereka bisa menggunakannya untuk kebutuhan
pembelian buku hingga kebutuhan perahu untuk menyeberangkan anak-anak dari
pulau sebelah. “Iya, ini kan negara besar. Kebutuhan di tiap sekolah di
setiap daerah di setiap provinsi itu pasti beragam berbeda-beda,” imbuh
Presiden Jokowi. Nadiem lantas mengulang nasihat Presiden
Jokowi yang sempat diucapkan kepadanya bahwa 'keseragaman itu belum tentu
keadilan'. Transformasi dana BOS Majemuk juga memungkinkan pemberian dana per
anak yang berbeda antardaerah berdasarkan pertimbangan indeks kemahalan. Saat
ini, dana BOS untuk anak-anak di Maluku dan Papua telah naik 40 persen sampai
100 persen. “Itu yang namanya keadilan,” kata Presiden Jokowi. Menjawab pertanyaan Presiden Jokowi terkait
kondisi infrastruktur dan teknologi untuk sekolah, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah bekerja sama dengan Kementerian
Komunikasi dan Informasi untuk memastikan prioritas koneksi internet bagi
sekolah. Pihaknya juga sedang mempersiapkan program distribusi laptop skala
besar ke puluhan ribu sekolah dalam 1-2 tahun mendatang. Setelah serangkaian tanya jawab, Nadiem
kemudian menutup perbincangan dengan pertanyaan tentang masa lalu Presiden
Jokowi. “Tipe pelajar apa sih Pak Presiden ketika masih sekolah dan waktu
kuliah dulu?” kata Nadiem. Presiden lantas bercerita bahwa ia
tergolong pelajar yang tidak pernah mau kalah. “Kalau saya melihat teman saya
malamnya belajarnya satu jam. Saya belajarnya dua jam. Habis Subuh, teman
saya belajar 30 menit, saya satu jam. Tidak mau kalah disitu maksudnya.
Karena dengan belajar kita bisa mewujudkan cita-cita,” ujarnya. Tak hanya di bangku sekolah, Presiden
Jokowi mengaku selalu belajar dimana saja. Sebagai pecinta alam, ia pun bisa
belajar dari alam. “Pendidikan di luar ruang kelas sama pentingnya dengan
yang di dalam kelas. Saya selalu belajar dari kesalahan dan kemudian tidak
pernah putus asa. Saya senang yang namanya kompetisi,” tambahnya. Jiwa kompetitif pula yang membuatnya berani
berwirausaha mulai dari nol, sebelum menjadi pejabat pubik. “Kalau tidak
berani berbuat sesuatu yang kita tahu akan baik untuk perkembangan diri dan
baik untuk sesama, saya pikir kita tidak akan bisa maju. Dari dulu, saya itu
suka ingin tahu. Ingin tahunya secara detail. Lihat betul. Pengennya gitu,”
kata Presiden Jokowi. Sebelum menutup perbincangan, Presiden
Jokowi berpesan untuk terus belajar secara mandiri dan menjadi pembelajar
sejati. Ilmu dari sekolah atau kampus, menurutnya, bisa saja menjadi usang. Namun, pembelajaran sepanjang zaman ini
akan terus bisa relevan. Artinya, kita memang harus terus belajar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar