Mengimitasi
Silicon Valley Ahmad Mustafid ; Mahasiswa Magister
Universitas Teknik Kaiserslautern, Jerman |
KOMPAS, 6 Mei 2021
Kita sering mendengar cerita kesuksesan di
bidang teknologi. Mulai dari Steve Jobs yang merintis Apple dari garasi
rumah, kemudian Bill Gates dengan Microsoft-nya, Mark Zuckerberg dengan
Facebook-nya, serta beberapa nama besar lain yang berada di California,
Amerika Serikat. Silicon Valley merupakan saksi lahirnya
orang-orang besar tersebut. Kata Valley berasal dari Santa Clara Valley,
suatu tempat di ujung selatan San Francisco Bay. Kemudian, kata Silicon
diambil dari banyaknya kluster perusahaan yang terlibat dalam industri
semikonduktor yang bahan utamanya berasal dari silikon. Menilik sejarahnya, tahun 1960, Silicon
Valley telah menarik perhatian dunia sebagai pusat teknologi. Pada masa itu,
tempat ini melahirkan industri elektronik berupa microwave. Microwave
merupakan teknologi komunikasi nirkabel yang menggunakan gelombang radio
dengan frekuensi tinggi. Teknologi tersebut banyak digunakan pada
teknologi-teknologi modern, misalnya jaringan nirkabel, radar, dan satelit. Kemitraan dan interaksi antara industri dan
akademisi telah terpola dengan baik di Silicon Valley. Salah satu yang paling
penting untuk diingat adalah peran bersejarah Universitas Stanford di Silicon
Valley. Stanford merupakan jantung dari Silicon Valley. Dia mempertahankan
kelangsungan hidup dan berkembangnya industri teknologi tinggi di wilayah di
sekitarnya. Valuasi Silicon Valley diperkirakan
mencapai 3 triliun dolar AS atau setara dengan Rp 42,32 kuadriliun. Besarnya
valuasi tersebut karena adanya perusahaan besar seperti Apple, Google, dan
Tesla. Dari besarnya nilai valuasi tersebut sangat mudah melihat mengapa
banyak negara ingin mencoba mendirikan Silicon Valley mereka sendiri. Tidak
dapat diduplikasi Banyak pihak dari seluruh dunia mencoba
meniru kesuksesan Silicon Valley. Mulai dari New York (Silicon Alley), London
(Silicon Roundabout), Hong Kong (Silicon Harbour), hingga Moskwa (Skolkovo).
Mereka semua berupaya untuk membangun versi Silicon Valley ala mereka
sendiri. Begitu pun Indonesia yang berencana membangun kawasan perusahaan
teknologi semacam Silicon Valley yang diberi nama Bukit Algoritma. Pembangunan akan berlangsung selama tiga
tahun ke depan dengan nilai total proyek diperkirakan akan menghabiskan 1
miliar euro atau lebih kurang setara dengan Rp 18 triliun. Pengembangan
rencana Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pengembangan Teknologi dan Industri 4.0
direncanakan dibangun di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Pada 1990, Profesor Harvard Business School
Michael Porter mengusulkan metode baru untuk menciptakan pusat inovasi
regional. Rumusnya sama, pilih industri yang populer, bangun pusat riset di
dekat universitas, kemudian beri insentif bagi industri yang dipilih, dan
kumpulkan para pemodal. Sayangnya, keajaiban dari ide tersebut
tidak pernah muncul. Kegagalan terjadi hampir di ratusan wilayah di seluruh
dunia. Banyak wilayah tersebut menghabiskan puluhan miliar dollar untuk
mencoba membangun Silicon Valley ala mereka sendiri. Namun, tak satu pun ada
yang berhasil. Porter menyadari bahwa ini bukan persoalan
di ranah akademis, industri, atau soal pendanaan. Tetapi, ini masalah manusia
dan relasi antarmanusia tersebut. Hubungan antara masyarakat, pemimpin
universitas, dan orang-orang yang ada di industri. Maka, terkait rencana pembangunan Bukit
Algoritma yang juga penting dipersiapkan adalah manusia Indonesia sendiri. Bagaimana
membangun manusia-manusia Indonesia naik level. Kemajuan suatu bangsa itu
bukan dari bangunan fisiknya, melainkan manusianya. Apalagi membangun pusat
teknologi yang jauh dari pusat ekonomi dan pusat pengetahuan. Gagasan Porter untuk membangun pusat
teknologi di dekat universitas saja mengalami kegagalan, lantas bagaimana
Silicon Valley Indonesia yang dibangun jauh dari pusat teknologi, ekonomi,
dan pengetahuan. Mengembangkan
keunikan daerah Setiap tempat memiliki karakter dan
keunikannya sendiri. Sebagaimana ketika mengunjungi Yogyakarta, kita dapat
melihat berbagai kegiatan seni budaya yang semarak karena dipenuhi dengan
manusia kreatifnya. Berkunjung ke Bali melihat pariwisatanya yang mendunia.
Begitu pula ketika kita berkunjung ke Jepara yang setiap sudut kotanya
dipenuhi seniman dan perajin ukir kayu yang khas. Seharusnya kita melihat nilai apa yang
berkembang di Silicon Valley. Terdapat sejarah panjang yang dibangun hingga
buahnya dapat dinikmati masyarakat dunia saat ini. Jika nilai tersebut kita
ambil dan menjadikan potensi kita sebagai obyeknya, bukan tidak mungkin
industri kita juga mendunia. Hal ini dapat dicapai karena terbangun sinergi
manusia, ekosistem, dan lainnya. Ada baiknya dalam membangun suatu kawasan
industri atau pusat teknologi mempertimbangkan faktor ciri khas daerah
tertentu yang sudah terbangun ekosistemnya. Contoh ketika melihat Industri
mebel di Jepara sekarang yang sedang mengalami krisis perajin. Kebanyakan perajin banyak yang pindah
pekerjaan dan tidak ada lagi yang mau menekuni kekhasan industri daerah
tersebut. Membantu dan menjaga ekosistem ini bisa menjadi hal yang lebih
penting untuk industri ukir yang sedang sekarat. Indonesia mempunyai berbagai macam potensi
industri, etnik, suku, dan bangsa. Mengelola dan menjaga diversitas ini
merupakan hal yang cukup berat. Namun, ketika kita bisa mengelola dengan
baik, hal ini bisa menjadi sebuah kekayaan tersembunyi kita. Sebaliknya,
ketika melihat Indonesia dengan kacamata miopi, kita akan susah dan bingung
sendiri. Mungkin diperlukan waktu yang cukup lama
untuk membangun ”The Real Silicon Valley” kita sendiri dengan kekhasan dan
keunikan kita. Sebagaimana California yang membutuhkan waktu hampir 50 tahun
untuk bisa memetik buahnya sekarang. Membangun Silicon Valley yang mana kita
belum punya karakter dan ekosistem penopang keberlangsungannya dikhawatirkan
akan berujung pada kerugian yang cukup besar. Mencoba mengembangkan kekuatan
dan keunikan tersendiri dari suatu daerah menjadi lebih masuk akal daripada
mencoba mengimitasi Silicon Valley. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar