Rabu, 12 Mei 2021

 

Lebaran, Refleksi Keagamaan dan Kebangsaan

Widodo Muktiyo ;  Guru Besar Ilmu Komunikasi UNS, Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa

KOMPAS, 11 Mei 2021

 

 

                                                           

Lebaran kali ini, kita masih dalam situasi pandemi Covid-19 dan diliputi keprihatinan nasional. Kedatangannya tidak selayaknya kita sambut dengan cara-cara konsumtif secara berlebihan dan hura-hura. Apalagi dengan membuat kerumunan dan mengabaikan protokol kesehatan yang berpotensi menimbulkan kluster penularan baru.

 

Esensi kemenangan Ramadhan

 

Dalam suasana seperti ini, mari kita mengambil esensi, bukan yang artifisial dari kemenangan Ramadhan tersebut. Kemenangan Ramadhan sendiri mesti dilalui dengan berbagai tempaan dan laku. Pertama, laku kedisiplinan terhadap godaan tentang batas awal dan akhir yang harus dipatuhi.

 

Kedua, konsisten dan tingkatkan daya tahan terhadap godaan sepanjang hari. Terakhir, kepekaan dan kepedulian kepada sesama. Ketiga laku itulah yang dijalani selama Ramadhan sehingga kemenangan diraih.

 

Modalitas itu, yakni kedisiplinan, daya tahan, dan kepedulian terhadap sesama, tampaknya telah lama terpinggirkan. Barangkali selama ini kita telah terperosok terlalu dalam pada sikap dan cara materialistis yang semuanya diukur berdasarkan pertimbangan rasional dan ekonomi deterministik.

 

Bahkan, hubungan persahabatan pun telah menjadi instrumentasi untuk mencari keuntungan. Tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan.

 

Karena takarannya untung rugi dan mendapat bagian apa, pada gilirannya kita kehilangan sisi-sisi kemanusiaan yang paling krusial. Tentu saja, rasionalitas dan intelektualitas manusia penting. Kedudukannya tak lagi perlu diperdebatkan.

 

Ia telah memberikan sumbangsih sangat berharga bagi kehidupan yang lebih baik. Namun, kalau segala sesuatunya ditakar dengan nalar untung rugi, sikap materialisme ini akan melahirkan keserakahan dan ambisi kebablasan.

 

Tragisnya, selain memperburuk hubungan sosial, kondisi ini diperparah dengan sikap-sikap yang menekankan oposisi biner. Saya bukan Anda, dan Anda kawan atau lawan. Corak sosial kita menjadi dikotomis secara bipolar. Hidup jadi begitu kaku dan mudah pecah. Di sana-sini diwarnai kecurigaan, persaingan keras, dan kecurangan.

 

Dalam suasana semacam itu, motivasi terbesar yang ditunjukkan adalah kepenguasaan dan bukan kepedulian kepada sesama. Seolah-olah citraan semacam ini yang dibenarkan.

 

Padahal, kita sebagai manusia bukanlah makhluk satu dimensi yang segala harus dinalar dan harus rasional. Jelas tak memadai, apalagi dimensi jangka panjang. Kenalaran itu harus disandingkan dengan estetika, etika, dan agama. Ada rasa yang perlu diolah. Kepekaan dan kepedulian sesama yang harus terus ditumbuhkembangkan serta ada warna-warni hidup yang harus disyukuri.

 

Kemampuan rasionalitas manusia, meski penting, tetap tak memadai bagi kehidupan kita sebagai hamba yang paripurna. Dalam banyak keadaan, rasionalitas memiliki keterbatasan dan tak mampu menjangkau semuanya. Apa yang dekat saja tak mampu ditembus semuanya, sedangkan apa yang tak diketahui bukan berarti tak ada. Itulah sebabnya, manusia tidak hanya rational animal, tetapi juga makhluk sosial, makhluk bermoral, dan makhluk Tuhan.

 

Tentu saja, saya bukan Anda. Tak mungkin saya identik dengan Anda. Namun, tujuan pembedaan itu bukan untuk maksud penguasaan, yang menempatkan perbedaan sebagai oposisi, apalagi musuh. Tujuannya, untuk mendekatkan pada kemanusiaan yang lebih bermakna. Bahwa perbedaan itu sunatullah yang mesti disyukuri dan saling mengenal itu kewajiban kemanusiaan yang mesti dijalankan.

 

Jadi, kesadaran dan kepekaan terhadap sesama pada akhirnya berada dan ditentukan oleh orang lain pula. Hidup tidak bisa dirasakan apabila kita hanya sendiri di ruang hampa.

 

Di sana ada empati, makna, dan kepedulian yang termanifestasikan dalam hubungan-hubungan sosial, interaksi, dan komunikasi. Kita terus dilatih dalam berpuasa yang penuh kekhusyukan, semata untuk mencari rida-Nya (komunikasi transendental).

 

Momen-momen keagamaan bulan Ramadhan telah mengajarkan relasi dan dimensi kemanusiaan itu sekaligus. Bagaimana agama telah berbicara secara gamblang tentang empati dan kemanusiaan. Jika ada yang berbahagia, kita turut bahagia. Sebaliknya, jika ada yang sedang kesusahan, kita turut sedih. Pun apabila kita berlebih, kita berbagi.

 

Secara universal, agama berbicara tentang kedamaian, kebahagiaan, dan persaudaraan. Amaliah dalam wadah zakat, infak, dan sedekah menjadi sinar yang membahagiakan.

 

Merasuknya orientasi materialistis dan faktor ekonomi deterministik yang ditopang watak ingin untung dan kuasa dirasakan telah begitu mengkhawatirkan. Meski demikian, kehadiran media sosial dan era virtual menambah beban keprihatinan dan penyikapan tersendiri.

 

Introspeksi dan mawas diri

 

Hiruk-pikuk dan keriuhan komunikasi membutuhkan kecerdasan baru dalam bentuk kecerdasan digital. Di media sosial, ajaran dan ujaran bercampur menjadi satu yang sering kali sulit dibedakan antara ajaran atau kepahaman dan berbagai konsekuensinya.

 

Entah disadari atau tidak, situasi semacam ini menerabas kepantasan dan gagal menentukan batas ruang privat, ruang sosial, atau ruang publik.

 

Semua campur aduk menjadi satu, yang kemungkinan dapat membuat satu dengan yang lain tersinggung atau bahkan marah. Akibatnya, jarak sosial semakin jauh, yang membuat kita semakin asing satu terhadap yang lain, padahal kita dekat.

 

Semestinya perbedaan-perbedaan yang ada, hadir untuk kita jaga dan hormati, justru mencuat menjadi kontradiksi-kontradiksi dalam realitas virtual dan menjelma dalam realitas sosial. Terkadang terlalu banyak segi kesamaan kemanusiaan yang kemudian dilupakan. Kita sebagai bangsa religius dapat mengambil bulan keagamaan kali ini dengan introspeksi dan mawas diri yang menyeluruh.

 

Di tengah krisis pandemi Covid-19, sikap materialisme ekonomi deterministik ataupun perilaku tercela lainnya perlu jadi wahana becermin diri.

 

Kemenangan Ramadhan kali ini tampaknya masih kita rayakan dengan keheningan, ketenangan, dan kematangan hati, tak ada cerita tentang kemacetan orang mudik, atau lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok, dan hiruk-pikuk lain.

 

Rasa takzim dan hormat kepada orangtua kita lakukan dengan panggilan video ataupun bentuk komunikasi virtual/impersonal lainnya. Kita lepaskan impitan-impitan materialisme dengan membuka hati dan pintu maaf. Kita istighfar-i semua atas segala dosa dan kesalahan.

 

Bersamaan dengan itu, kemenangan Ramadhan kita isi dengan keikhlasan untuk merefleksikan semua bentuk keprihatinan yang terjadi.

 

Apa dan bagaimana kontribusi kita untuk menopang kemajuan bangsa sebagai bagian pilar kemanusiaan? Corak kepentingan apa yang semestinya dipertontonkan sebagai suri teladan agar musibah pandemi segera sirna? Apakah sejauh ini kita telah menjelma sedemikian rupa sebagai homo homini lupus? Indonesia menjadi wahana baldatun thoyibatun warrobun ghofur (negeri damai dan mendapat berkah Tuhan) yang mesti dilakukan, kita syukuri bersama.

 

Di tengah keheningan, keprihatinan, dan keikhlasan hati, mari di sepanjang malam jelang Lebaran, kita mendengarkan kumandang kebesaran Tuhan yang Maha Besar, Tuhan yang Maha Esa, yang kepada-Nya kita semua kembali dan pasti kembali. Meluruhkan kesombongan duniawi dan menanti antrean surgawi. Selamat hari raya Idul Fitri 1442 H. Mohon maaf lahir batin. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar