Lebaran,
Refleksi Keagamaan dan Kebangsaan Widodo Muktiyo ; Guru Besar Ilmu
Komunikasi UNS, Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa |
KOMPAS, 11 Mei 2021
Lebaran kali ini, kita
masih dalam situasi pandemi Covid-19 dan diliputi keprihatinan nasional.
Kedatangannya tidak selayaknya kita sambut dengan cara-cara konsumtif secara
berlebihan dan hura-hura. Apalagi dengan membuat kerumunan dan mengabaikan
protokol kesehatan yang berpotensi menimbulkan kluster penularan baru. Esensi
kemenangan Ramadhan Dalam suasana seperti ini,
mari kita mengambil esensi, bukan yang artifisial dari kemenangan Ramadhan
tersebut. Kemenangan Ramadhan sendiri mesti dilalui dengan berbagai tempaan
dan laku. Pertama, laku kedisiplinan terhadap godaan tentang batas awal dan
akhir yang harus dipatuhi. Kedua, konsisten dan
tingkatkan daya tahan terhadap godaan sepanjang hari. Terakhir, kepekaan dan
kepedulian kepada sesama. Ketiga laku itulah yang dijalani selama Ramadhan
sehingga kemenangan diraih. Modalitas itu, yakni
kedisiplinan, daya tahan, dan kepedulian terhadap sesama, tampaknya telah
lama terpinggirkan. Barangkali selama ini kita telah terperosok terlalu dalam
pada sikap dan cara materialistis yang semuanya diukur berdasarkan
pertimbangan rasional dan ekonomi deterministik. Bahkan, hubungan
persahabatan pun telah menjadi instrumentasi untuk mencari keuntungan. Tidak
ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan. Karena takarannya untung
rugi dan mendapat bagian apa, pada gilirannya kita kehilangan sisi-sisi
kemanusiaan yang paling krusial. Tentu saja, rasionalitas dan intelektualitas
manusia penting. Kedudukannya tak lagi perlu diperdebatkan. Ia telah memberikan
sumbangsih sangat berharga bagi kehidupan yang lebih baik. Namun, kalau
segala sesuatunya ditakar dengan nalar untung rugi, sikap materialisme ini
akan melahirkan keserakahan dan ambisi kebablasan. Tragisnya, selain
memperburuk hubungan sosial, kondisi ini diperparah dengan sikap-sikap yang
menekankan oposisi biner. Saya bukan Anda, dan Anda kawan atau lawan. Corak
sosial kita menjadi dikotomis secara bipolar. Hidup jadi begitu kaku dan
mudah pecah. Di sana-sini diwarnai kecurigaan, persaingan keras, dan
kecurangan. Dalam suasana semacam itu,
motivasi terbesar yang ditunjukkan adalah kepenguasaan dan bukan kepedulian
kepada sesama. Seolah-olah citraan semacam ini yang dibenarkan. Padahal, kita sebagai
manusia bukanlah makhluk satu dimensi yang segala harus dinalar dan harus
rasional. Jelas tak memadai, apalagi dimensi jangka panjang. Kenalaran itu
harus disandingkan dengan estetika, etika, dan agama. Ada rasa yang perlu
diolah. Kepekaan dan kepedulian sesama yang harus terus ditumbuhkembangkan
serta ada warna-warni hidup yang harus disyukuri. Kemampuan rasionalitas
manusia, meski penting, tetap tak memadai bagi kehidupan kita sebagai hamba
yang paripurna. Dalam banyak keadaan, rasionalitas memiliki keterbatasan dan
tak mampu menjangkau semuanya. Apa yang dekat saja tak mampu ditembus
semuanya, sedangkan apa yang tak diketahui bukan berarti tak ada. Itulah
sebabnya, manusia tidak hanya rational animal, tetapi juga makhluk sosial,
makhluk bermoral, dan makhluk Tuhan. Tentu saja, saya bukan
Anda. Tak mungkin saya identik dengan Anda. Namun, tujuan pembedaan itu bukan
untuk maksud penguasaan, yang menempatkan perbedaan sebagai oposisi, apalagi
musuh. Tujuannya, untuk mendekatkan pada kemanusiaan yang lebih bermakna.
Bahwa perbedaan itu sunatullah yang mesti disyukuri dan saling mengenal itu
kewajiban kemanusiaan yang mesti dijalankan. Jadi, kesadaran dan
kepekaan terhadap sesama pada akhirnya berada dan ditentukan oleh orang lain
pula. Hidup tidak bisa dirasakan apabila kita hanya sendiri di ruang hampa. Di sana ada empati, makna,
dan kepedulian yang termanifestasikan dalam hubungan-hubungan sosial,
interaksi, dan komunikasi. Kita terus dilatih dalam berpuasa yang penuh
kekhusyukan, semata untuk mencari rida-Nya (komunikasi transendental). Momen-momen keagamaan
bulan Ramadhan telah mengajarkan relasi dan dimensi kemanusiaan itu
sekaligus. Bagaimana agama telah berbicara secara gamblang tentang empati dan
kemanusiaan. Jika ada yang berbahagia, kita turut bahagia. Sebaliknya, jika
ada yang sedang kesusahan, kita turut sedih. Pun apabila kita berlebih, kita
berbagi. Secara universal, agama
berbicara tentang kedamaian, kebahagiaan, dan persaudaraan. Amaliah dalam
wadah zakat, infak, dan sedekah menjadi sinar yang membahagiakan. Merasuknya orientasi
materialistis dan faktor ekonomi deterministik yang ditopang watak ingin
untung dan kuasa dirasakan telah begitu mengkhawatirkan. Meski demikian,
kehadiran media sosial dan era virtual menambah beban keprihatinan dan
penyikapan tersendiri. Introspeksi
dan mawas diri Hiruk-pikuk dan keriuhan
komunikasi membutuhkan kecerdasan baru dalam bentuk kecerdasan digital. Di
media sosial, ajaran dan ujaran bercampur menjadi satu yang sering kali sulit
dibedakan antara ajaran atau kepahaman dan berbagai konsekuensinya. Entah disadari atau tidak,
situasi semacam ini menerabas kepantasan dan gagal menentukan batas ruang
privat, ruang sosial, atau ruang publik. Semua campur aduk menjadi
satu, yang kemungkinan dapat membuat satu dengan yang lain tersinggung atau
bahkan marah. Akibatnya, jarak sosial semakin jauh, yang membuat kita semakin
asing satu terhadap yang lain, padahal kita dekat. Semestinya
perbedaan-perbedaan yang ada, hadir untuk kita jaga dan hormati, justru
mencuat menjadi kontradiksi-kontradiksi dalam realitas virtual dan menjelma
dalam realitas sosial. Terkadang terlalu banyak segi kesamaan kemanusiaan
yang kemudian dilupakan. Kita sebagai bangsa religius dapat mengambil bulan
keagamaan kali ini dengan introspeksi dan mawas diri yang menyeluruh. Di tengah krisis pandemi
Covid-19, sikap materialisme ekonomi deterministik ataupun perilaku tercela
lainnya perlu jadi wahana becermin diri. Kemenangan Ramadhan kali
ini tampaknya masih kita rayakan dengan keheningan, ketenangan, dan
kematangan hati, tak ada cerita tentang kemacetan orang mudik, atau lonjakan
kenaikan harga kebutuhan pokok, dan hiruk-pikuk lain. Rasa takzim dan hormat
kepada orangtua kita lakukan dengan panggilan video ataupun bentuk komunikasi
virtual/impersonal lainnya. Kita lepaskan impitan-impitan materialisme dengan
membuka hati dan pintu maaf. Kita istighfar-i semua atas segala dosa dan
kesalahan. Bersamaan dengan itu,
kemenangan Ramadhan kita isi dengan keikhlasan untuk merefleksikan semua
bentuk keprihatinan yang terjadi. Apa dan bagaimana
kontribusi kita untuk menopang kemajuan bangsa sebagai bagian pilar
kemanusiaan? Corak kepentingan apa yang semestinya dipertontonkan sebagai
suri teladan agar musibah pandemi segera sirna? Apakah sejauh ini kita telah
menjelma sedemikian rupa sebagai homo homini lupus? Indonesia menjadi wahana
baldatun thoyibatun warrobun ghofur (negeri damai dan mendapat berkah Tuhan)
yang mesti dilakukan, kita syukuri bersama. Di tengah keheningan, keprihatinan, dan
keikhlasan hati, mari di sepanjang malam jelang Lebaran, kita mendengarkan
kumandang kebesaran Tuhan yang Maha Besar, Tuhan yang Maha Esa, yang
kepada-Nya kita semua kembali dan pasti kembali. Meluruhkan kesombongan
duniawi dan menanti antrean surgawi. Selamat hari raya Idul Fitri 1442 H.
Mohon maaf lahir batin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar