Berkomunikasi
secara Tulus Tajuk Kompas ; Dewan Redaksi Kompas |
KOMPAS, 11 Mei 2021
Dalam buku Pers Indonesia:
Berkomunikasi dalam Masyarakat yang Tidak Tulus (2004), Jakob Oetama menuliskan,
komunikasi itu diwarnai beragam perbedaan. Pendiri Kompas itu
menyebutkan, melalui komunikasi yang serba berbeda, berbeda latar belakang,
berbeda pengalaman, berbeda pemahaman, berbeda sudut pandang dan kepentingan,
justru seoptimal mungkin akan dibuat kesepemahaman bersama. Diusahakan
tercapainya pengertian bersama atau sekurang-kurangnya saling pengertian.
Komunikasi merupakan pembawaan makhluk sosial dan masyarakat manusia. Tidak
tulus bisa diartikan sebagai tak menyampaikan apa yang hidup dalam hati dan
pikirannya. Sekadar basa-basi. Pesan dalam buku terbitan
Penerbit Buku Kompas itu kini terasa tepat untuk dimunculkan kembali saat
masyarakat kita, terutama melalui media sosial, gaduh menyikapi pidato
Presiden Joko Widodo dalam rangka Hari Bangga Buatan Indonesia yang
diresmikan pada Rabu (5/5/2021), satu pekan menjelang Lebaran. Presiden
mengingatkan lagi keputusan pemerintah melarang mudik Lebaran karena ingin
menjaga keselamatan masyarakat. Masyarakat yang merindukan kuliner khas
daerah bisa memesan secara daring, seperti gudeg dari Yogyakarta, bandeng
Semarang, siomai Bandung, empek-empek Palembang, dan bipang Ambawang dari
Kalimantan. Penyebutan bipang Ambawang
menimbulkan kegaduhan. Presiden dianggap tidak peka karena menjelang Lebaran,
mudik sudah dilarang, tetapi justru menyebut bipang atau babi panggang,
makanan haram bagi Muslim. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menjelaskan,
pernyataan Presiden tentang bipang Ambawang harus dilihat dalam konteks
keseluruhan, yakni mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai dan membeli
produk lokal (Kompas.id, 8-10/5/2021). Dalam masyarakat Jawa,
untuk berkomunikasi dibutuhkan formulasi bener, yang diartikan benar, dan
pener, yang berarti lebih tepat pada sasaran dan suasana. Informasi dan data
harus benar, tetapi tidak semua hal yang benar bisa diterima orang lain
dengan baik kalau dianggap kurang pener. Bagi sebagian orang,
pidato Presiden bisa saja dinilai belum pener, tidak sesuai konteks menyambut
Idul Fitri, apalagi warga dilarang mudik. Namun, kalau masyarakat
berkomunikasi secara tulus, kekurangan dari pesan Presiden bisa saja diterima
dan tak perlu menimbulkan kegaduhan di khalayak. Bahkan, ada pula yang
menuntut pejabat yang menyiapkan pidato Presiden itu perlu dijatuhi sanksi,
diberhentikan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) mengartikan mudik, antara lain, sebagai pulang ke kampung
halaman. Mudik menjadi tradisi warga Indonesia, baik saat Lebaran maupun
terkait dengan peristiwa keagamaan lain dan peristiwa budaya. Seperti tradisi
bersih desa di masyarakat Jawa, juga diikuti dengan mudik bagi warga desa itu
dari perantauan. Tradisi mudik sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Dalam masyarakat yang tulus, kekurangan
dalam berkomunikasi oleh pemimpin tentu bisa dilengkapi oleh rakyat dan siapa
pun dalam kebersamaan. Saling asih, asuh, dan asah, serta ngemong rasa
(saling menjaga) demi pengertian bersama. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar