Upaya
Mencegah Permusuhan
Sidik Nugroho ; Guru dan Pengarang; Tinggal di
Pontianak;
Alumnus Jurusan Sejarah Universitas
Negeri Malang
|
KOMPAS,
02 Mei
2018
Bruno, anak berbangsa Jerman dalam
film The Boy in the Striped Pajamas (Mark Herman, 2008), suatu ketika harus
pindah rumah karena ayahnya dipindahtugaskan bekerja. Rumah baru mereka jauh
dari keramaian. Bruno tak punya teman, sekolah juga tak ada di dekat
rumahnya.
Seorang guru tua bersepeda engkol
datang ke rumahnya, suka mengajarinya sejarah. Sejarah kehebatan bangsa
Jerman, juga sejarah bangsa Yahudi yang menjadi musuh bebuyutan. Tak jauh
dari rumah Bruno ada kamp konsentrasi untuk orang Yahudi.
Suatu ketika, Bruno nekat melanggar
perintah orangtuanya agar tak melewati batas-batas tertentu di rumah mereka.
Ia bertemu Shmuel, anak Yahudi berkepala botak, mengenakan piama
bergaris-garis, dan bergigi ompong. Shmuel suka makan. Ia tiap hari harus
bekerja keras bersama para tawanan di kamp konsentrasi. Bruno mengunjungi
sahabat barunya itu sambil membawakan berbagai makanan.
Tali persahabatan pun terjalin di
antara mereka walaupun dibatasi terali kawat yang tinggi. Mereka tak bisa
berangkulan atau berkejar-kejaran. Kamp konsentrasi tempat Shmuel tinggal
dijaga ketat. Ada anak yang kedapatan bermain, nyawa mereka di ujung tanduk.
Mereka berdua pun hanya bisa bermain catur.
Kisah Bruno dan Shmuel mengajak
penonton merenung, bahwa anak-anak tak semestinya diajari membenci. Saat perang
berkecamuk, dan kondisi dunia tampak serba muram, ada anak-anak yang ingin
tersenyum dan mencari sahabat.
Perang sebagai akibat dari
perebutan kekuasaan dan tindakan balas dendam ternyata tak melulu melahirkan
kisah-kisah bermuatan kebencian, tetapi juga sarat dengan pesan kasih dan
perdamaian. Anak-anak terlahir untuk menikmati hidup dan kehadiran orang
lain, bukan disuapi kebencian oleh orangtua, guru, atau teman-teman mereka.
Karena perbedaan pandangan dalam
berpolitik, atau sosok pemimpin yang dianggap paling ideal, tak jarang kita
menyaksikan perdebatan sengit. Di media-media sosial hingga acara
bincang-bincang di televisi, publik dan para pengamat tampaknya tak pernah
bosan beradu pendapat dan pandangan. Di rumah, saat bersama anak-anak, orangtua
pun dapat memengaruhi anak-anak yang ikut menyaksikan tayangan politis yang
menyulut kebencian atau mengumbar permusuhan.
Memang, pada satu sisi minat
publik terhadap situasi politik dapat jadi indikasi adanya kepedulian dan
keinginan untuk mendapatkan pemimpin paling ideal. Namun, di sisi lain,
ketika suhu perdebatan terlalu tinggi dan tak terkendali, dan karena itu
malah melahirkan fitnah serta caci maki, keutuhan berbangsa dan bernegara
malah bisa menjadi taruhannya. Di titik inilah kita perlu mengingat pesan
Bung Karno, bahwa tugas generasi kita dalam berjuang akan lebih sulit karena
melawan bangsa sendiri.
Dididik
untuk berdamai
Dalam situasi seperti ini, para
guru perlu tampil sebagai sosok mediator. Guru dalam film The Boy in the
Striped Pajamas tak berhasil menanamkan rasa permusuhan pada diri Bruno.
Kerinduan Bruno mendapatkan teman bermain dan persahabatan menguasai jiwanya
terpenuhi dengan kehadiran Shmuel.
Namun, bagaimana dengan anak-anak
lain pada umumnya yang kita temui masa kini—yang tak kesepian, yang memiliki
teman berlimpah-limpah dalam kesehariannya? Tentu akan lain ceritanya.
Kebencian dan permusuhan dapat menguasai jiwa anak-anak ketika guru dan
orangtua menularkan semangat yang sama.
Dalam film tentang Bruno dan
Shmuel, pada suatu adegan, ada asap mengepul dari sebuah gedung tinggi di
kamp konsentrasi di dekat rumah Bruno. Ia melihat asap itu, benaknya terusik
berhari-hari. Bau asap itu menyesakkan Bruno, juga menyisakan memori yang
kelam dan penuh tanda tanya: ke mana sahabatnya pergi?
Elie Wiesel, seorang
penyintas—survivor holocaust—dan peraih Hadiah Nobel, dalam wawancara dengan
Bill Moyers pada 1991 menyampaikan kesedihannya: ”Orang yang pada mulanya
adalah seorang manusia menjadi tawanan, dan tawanan itu menjadi nomor, dan nomor
itu menjadi abu.”
Begitulah, perang membuat manusia
tega menjadikan manusia lain sebagai abu dan asap. Belas kasih dan
kemanusiaan sirna, yang tersisa hanyalah hasrat untuk meraih kejayaan dan
kekuasaan.
Untuk mencegah kebencian—yang
kemudian dapat berbuntut menjadi perang—guru dan orangtua berperan besar.
Ketika situasi bangsa memanas, guru perlu tampil menyejukkan, memberikan
pengajaran yang tidak mewakili kepentingan politik, tetapi kemanusiaan.
Apabila guru berfokus pada tugas
kemanusiaan yang diembannya, kecerdasan siswa akan jadi perhatian utamanya,
termasuk kecerdasan siswa dalam menjalin relasi sosial dengan teman-temannya
dari berbagai latar belakang. Di rumah, dalam obrolan dan pergaulan sehari-
hari, orangtua pun perlu menanamkan pemikiran bahwa perbedaan adalah rahmat
dari Tuhan, bukan biang permusuhan.
Mendidik siswa untuk menghindari
permusuhan dan kebencian barangkali adalah tugas terpenting guru dan orangtua
di masa kini, selain mengajarkan pengetahuan dan keterampilan sesuai bidang
yang dikuasainya. Ini pun bukan hanya tugas yang berhubungan dengan situasi
politik semata, melainkan berbagai peristiwa yang terjadi dalam dunia
pendidikan.
Mungkin kita masih ingat, beberapa
tahun belakangan, kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan tak sedikit.
Ada siswa yang membunuh teman seasramanya, berduel sampai tewas, bahkan siswa
yang membunuh gurunya. Dengan demikian, guru dan orangtua pun sudah waktunya
mengajarkan semangat perdamaian dan kesetiakawanan. ●
|
Artikel yang cukup bermanfaat dan menambah Ilmu, Kunjungi juga ya www.biologi.uma.ac.id dan www.uma.ac.id
BalasHapus