Ekonomika
Jokowi
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
30 April
2018
Pemerintahan Presiden Joko Widodo
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kini telah berjalan 3,5 tahun, atau mencapai
70 persen dari periode kepresidenannya, 2014-2019.
Meski masih tersisa 30 persen,
mazhab perekonomian yang dianut Presiden Jokowi (Economics of Jokowi,
Jokowinomics, atau Ekonomika Jokowi) sudah tergambar dengan jelas.
Pembangunan infrastruktur besar-besaran menjadi paling menonjol. Hanya saja,
banyak orang yang kurang menyadari, pembangunan infrastruktur merupakan
investasi jangka panjang, yang tidak bisa segera dipetik hasilnya.
Di China, Deng Xiaoping memulai reformasi
perekonomian sejak 1979, yang meliputi pembangunan infrastruktur, menarik
investasi asing (termasuk dari diaspora China), dan membuka zona-zona ekonomi
bebas pajak, baru merasakan ”panen raya” sesudah 2000. Hasilnya, perekonomian
China baru merasakan pertumbuhan ekonomi dua digit pada periode 2001-2008.
Artinya, perlu 20 tahun hingga China memetik hasil optimal dari investasi
besar-besarannya di bidang infrastruktur. Sesudah 2008, pertumbuhan ekonomi
terus menurun hingga 6,8 persen (2017).
Apakah ini berarti Indonesia juga
baru akan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi di atas 10 persen sesudah 20
tahun membangun infrastruktur? Belum tentu. Bisa lebih cepat, bisa juga tak
akan pernah mencapainya, karena bahkan China sekalipun ternyata tak pernah lagi
bisa mencapai pertumbuhan setinggi itu. Banyak faktor lain yang ikut
menentukan. Misalnya, kehadiran revolusi industri 4.0 menjadi faktor yang
bisa menentukan. Bisa positif, karena proses produksi menjadi terbantu oleh
kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan otomasi. Namun juga bisa
sebaliknya, tatkala era industri 4.0 justru mengurangi daya serap tenaga
kerja sehingga memberi dampak melemahnya daya beli masyarakat. Akibatnya,
konsumsi rumah tangga melemah.
Inilah yang sedang ”dicurigai”
oleh para ekonom. Jangan-jangan pertumbuhan ekonomi 5,07 persen (2017)
penyebabnya justru karena datangnya era kecerdasan buatan dan otomasi yang
menggeser fungsi tenaga kerja. Para ekonom belum tuntas mendiskusikan tentang
hal ini, untuk menjawab pertanyaan krusial: mengapa pertumbuhan konsumsi
rumah tangga kita cuma 4,95 persen? Bisa jadi kecerdasan buatan mulai memakan
korban, berupa penurunan daya beli akibat tergantikannya tenaga kerja ke
otomasi.
Dilema fiskal
Antusiasme Presiden Jokowi untuk
membangun infrastruktur ditandai dengan ekspansi fiskal. Hal ini menemukan
momentum yang baik tatkala harga minyak berangsur turun dari level di atas
100 dollar AS per barrel (Juni 2014), menjadi di bawah 50 dollar AS per
barrel tahun-tahun berikutnya. Hilangnya subsidi BBM karena penurunan harga
minyak dunia menjadi semacam ”bonus” bagi pemerintah untuk dapat mendorong
belanja infrastruktur. Itulah sebabnya, anggaran infrastruktur bisa terus
dinaikkan hingga mencapai Rp 410 triliun pada tahun ini. Anggaran ini
melebihi angka tertinggi subsidi BBM dan listrik (PLN) pada 2014 yang
mencapai Rp 350 triliun.
Sayangnya, ini belum diimbangi
dengan penerimaan pajak, yang diharapkan menjadi tiang utama kemandirian
fiskal. Rasio antara penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) masih berkutat
di angka 10 persen, atau di bawah rasio di negara-negara tetangga yang
mencapai 13-15 persen. Indonesia berusaha mengejarnya melalui kebijakan
amnesti pajak, yang pada dasarnya merupakan upaya mengungkapkan kekayaan
warga negara yang masih ”tersembunyi di bawah bantal”. Ketika aset-aset itu
terungkap, basis pajak pun menjadi kian meluas, yang kemudian berpotensi
menaikkan setoran pajak.
Amnesti pajak juga berhasil
menarik dana WNI yang diparkir di luar negeri (repatriasi) sebesar Rp 147
triliun atau 12 miliar dollar AS. Inilah salah satu kontributor di balik
meningkatnya cadangan devisa dalam 1-2 tahun terakhir, yang pernah mencapai
132 miliar dollar AS (Februari 2018), sebelum akhir-akhir ini terkoreksi
cukup tajam karena arus modal keluar yang disebabkan faktor eksternal berupa
kenaikan suku bunga AS, kenaikan dan imbal hasil (yield) obligasi Pemerintah
AS, serta kenaikan harga minyak.
Apa kaitan harga minyak dengan
kurs rupiah? Ketika harga minyak dunia terus meningkat, akan berpengaruh
terhadap harga BBM domestik. Pemerintah harus memilih antara mempertahankan
harga BBM domestik dan risiko memberi subsidi besar, ataukah menaikkan harga
BBM agar APBN tidak menderita (fiscal distress). Keduanya sama-sama bukan
pilihan yang menyenangkan, dan sama-sama berisiko menggerus kredibilitas
fiskal. Ujung-ujungnya, hal ini akan berdampak negatif terhadap persepsi
terhadap perekonomian Indonesia, yang akan berujung pada pelemahan kurs
rupiah. Jadi, kenaikan harga minyak dunia berkontribusi terhadap depresiasi rupiah.
Bagaimana masa depan harga minyak
dunia? Masih belum jelas. Produsen minyak terbesar OPEC, Arab Saudi, ingin
harga mencapai 80 dollar AS per barrel sehingga mereka menurunkan
produksinya. Di sisi lain, produsen terbesar di luar OPEC adalah AS (produksi
10,7 juta barrel per hari), yang memiliki cadangan minyak nonkonvensional
(shale oil) terbesar di dunia, menghendaki harga lebih murah. Caranya,
menambah pasokan ke pasar Eropa. ”Perang produksi” di antara kedua produsen
terbesar ini (produsen terbesar lainnya adalah Rusia) belum ketahuan titik
temunya sehingga harga minyak dunia masih fluktuatif.
Seandainya harga minyak dunia
mencapai 80 dollar AS per barrel sebagaimana kemauan Saudi, saya perkirakan
APBN kita harus memberikan subsidi BBM dalam jumlah besar, hingga Rp 100
triliun. Artinya, sebagian belanja APBN terpaksa harus dialihkan dari
pengeluaran produktif menjadi tak produktif. Hal ini akan mengganggu
kredibilitas fiskal, yang akan menjadi tambahan tekanan pada rupiah.
Dalam situasi seperti ini, pilihannya
adalah memperlebar defisit APBN yang tahun ini ditargetkan 2,19 persen
terhadap PDB, yang berarti menambah utang pemerintah, ataukah memangkas
proyek-proyek infrastruktur. Keduanya merupakan pilihan sulit dan tidak
menyenangkan.
Namun, sebelum itu terjadi pun,
Presiden Jokowi sudah sigap berupaya mengerem akselerasi belanja APBN dengan
cara memangkas 14 proyek strategis senilai Rp 264 triliun. Proyek itu
meliputi: (1) jalan tol di Jawa Timur, Jawa Barat; (2) kereta api di Sumatera
Selatan, Jambi, Bengkulu, Riau, Kalimantan Timur; (3) transportasi massal
cepat (MRT) Jakarta koridor Barat-Timur; (4) Bandara Sebatik di Kalimantan
Utara; (5) sistem penyediaan air minum di Sumatera Utara; (6) bendungan di
Bali dan Sulawesi Tenggara; (7) kawasan ekonomi khusus Merauke, Papua.
Pemangkasan 14 proyek strategis
ini termasuk kecil, dari seluruh 222 proyek bernilai investasi Rp 4.100
triliun. Karena itu, di satu pihak saya setuju bahwa penajaman prioritas
pembangunan infrastruktur merupakan salah satu strategi yang perlu ditempuh
ketika menghadapi kenyataan bahwa kondisi fiskal kita yang tertekan memang
perlu direspons dengan sejumlah penyesuaian. Namun, di sisi lain saya yakin
proyek MRT Jakarta koridor Barat-Timur harus tetap diprioritaskan karena kita
sedang berkejaran dengan waktu menghadapi masalah kemacetan yang parah dan
mengganggu efisiensi.
Pembangunan MRT ini memang mahal
(Rp 84 triliun), tetapi itu belum seberapa dibandingkan membangun ibu kota
baru di Kalimantan, yang ongkosnya saya perkirakan minimal Rp 500 triliun.
Sebaiknya optimalkan dulu upaya membangun infrastruktur Jakarta untuk
mengatasi kemacetan daripada memunculkan gagasan yang ”melompat” berupa
pemindahan ibu kota yang pasti mahal biayanya.
Menjaga rupiah
Selain dilema fiskal, pemerintahan
Presiden Jokowi kini juga dihadapkan pada upaya untuk menjaga kurs rupiah
agar tetap mencerminkan fundamentalnya. Kini rupiah sedang tertekan dan
cenderung terlalu murah (undervalued). Pada dasarnya rupiah tak melemah
sendirian karena negara-negara lain juga menderitanya. Namun, selain penyebab
faktor eksternal, pelemahan rupiah hingga hampir Rp 14.000/dollar AS tersebut
acap kali menimbulkan pertanyaan, mengapa rupiah sering sensitif terhadap
dinamika global?
Padahal, fundamental ekonomi makro
kita baik, yakni pertumbuhan ekonomi 5 persen; inflasi rendah di bawah 4
persen; cadangan devisa mencapai rekor tertinggi; suku bunga acuan mencapai
titik terendah; serta Moody’s barusan menaikkan peringkat kita (membaik)
dalam hal kemampuan membayar utang.
Lalu, faktor apa lagi yang masih
mengganggu? Menurut saya, ada dua hal. Pertama, sebagaimana sudah disadari
Presiden Jokowi dan dinyatakan dalam berbagai kesempatan, Indonesia masih
lemah dalam hal ekspor. Surplus neraca perdagangan kita tahun 2017 termasuk tipis
untuk ukuran negara yang termasuk G-20, hanya 12 miliar dollar AS. Itu pun
dengan catatan, ekspor kita masih kurang terdiversifikasi. Peran ekspor
komoditas masih tinggi. Tatkala harga komoditas (commodity prices) naik,
surplus ikut naik. Sebaliknya ketika harga komoditas turun, Indonesia sering
menderita defisit.
Kedua, seiring dengan lemahnya
surplus perdagangan, kita banyak mengandalkan aliran modal masuk (sisi
capital account) untuk mengompensasinya. Dana milik asing inilah yang
kemudian mengisi pundi-pundi cadangan devisa. Karena itu, sekalipun cadangan
devisa terus meningkat, sebenarnya di baliknya terdapat kontribusi signifikan
para investor asing.
Kepemilikan surat berharga oleh
asing di pasar modal kita inilah yang sensitif terhadap dinamika global.
Ketika perekonomian AS tampak membaik dan imbal hasil obligasi pemerintahnya
naik, dana asing itu pun segera kabur ke New York. Inilah alasan di balik
volatilitas rupiah sekalipun data cadangan devisa tampak ”cukup mentereng”.
Bagaimana solusi jangka pendek
yang harus ditempuh? Bank Indonesia sebaiknya tidak cuma mengandalkan
intervensi saja, yang cepat atau lambat akan menguras cadangan devisa.
Instrumen lain harus diaktifkan, yakni menaikkan suku bunga. Memang akan
timbul kritik, menaikkan suku bunga sering diartikan sebagai ”tidak pro
growth”. Namun, apa artinya suku bunga tetap rendah (suku bunga acuan BI 4,25
persen), tetapi rupiah terdepresiasi secara tajam? Depresiasi rupiah yang
berkelanjutan akan memicu kenaikan inflasi dari sisi meningkatnya harga
barang-barang impor (imported inflation), yang akan berujung pada situasi
yang ”tidak pro growth” juga.
Kita sepenuhnya menyadari bahwa
ide menaikkan suku bunga pasti tak populer, apalagi jika dikaitkan dengan
konteks ”tahun politik” 2018-2019. Namun, itu semata-mata dilakukan hanya
sebagai taktik jangka pendek. Setelah kurs rupiah nantinya bisa dipulihkan,
strategi jangka panjang suku bunga rendah tetap menjadi prioritas, agar dapat
menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Tidak ada jalan lain, suku bunga
memang harus dinaikkan, untuk sementara ini. ●
( tagar
: infrastruktur, harga minyak dunia, dilema fiskal, nilai rupiah )
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar