Ritual
Politik atau Pendidikan Politik?
Fuad Fachruddin ; Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Mei 2018
TAHUN 2018 dan 2019
merupakan tahun hajatan politik bagi bangsa Indonesia. Pada 2018 beberapa
provinsi dan kabupaten serta kota akan melangsungkan pilkada (gubernur,
bupati, wali kota dan para wakilnya). Partai-partai politik unjuk diri dengan
memasang umbul-umbul, baliho, spanduk, foto kandidat, ungkapan retorik
kampanye (kampanye damai, jujur, dll), sampai debat antartokoh parpol di
televisi.
Partai-partai peserta
pemilu juga telah mulai memperkenalkan gambar capres atau cawapres yang
digadang-gadang sembari menyiapkan jurus-jurus untuk memenangkan pemilu.
Usaha masing-masing partai peserta pilkada dan pemilu menyebabkan suhu
politik mulai memanas.
Di tengah euforia di atas,
berbagai kasus mega korupsi masih dalam proses penanganan pihak berwenang.
Kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh partai dan pejabat daerah mewarnai
pesta demokrasi. Beberapa kasus itu menjadi bahan refleksi tentang 'gawe-gawe
politik', moral atau etika (akhlak) berpolitik, serta pendidikan politik.
Banyak pertanyaan kita
dapat ajukan sebagai refleksi, antara lain, apakah pilkada, pileg dan pilpres
merupakan ritual kenegaraan lima tahunan semata atau proses edukasi agar
seluruh warga bangsa semakin dewasa bermasyarakat, bernegara, dan memiliki
komitmen untuk mewujudkan tujuan konstitutional berbangsa dan bernegara RI
yang telah diletakkan oleh founding fathers?
Secara khusus, selama ini,
apakah penerapan pendidikan politik sudah sampai pada tataran substantif
dalam perhelatan politik? Siapa yang berkewajiban melaksanakan pendidikan
politik?
Pendidikan
politik
Pendidikan politik sering
juga disebut pembelajaran atau sosialisasi politik yang secara umum
didefinisikan sebagai proses pembentukan, pengembangan sikap dan perilaku
politik. Pengertian pendidikan politik sangat tergantung perspektif yang
digunakan seseorang.
Dalam perspektif
'formalis', pendidikan politik diwujudkan, antara lain, dengan keterlibatan
publik atau warga bangsa yang memiliki hak pilih dalam sebuah sistem
elektorat. Implikasi perspektif ini terdapat dua kelompok warga bangsa, yaitu
kelompok yang mempunyai kekuasaan dan kelompok subordinat. Kelompok pertama
yang jumlahnya sedikit menentukan tata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini berbeda dengan
pandangan para "substantivis". Bagi substantivis, pendidikan
politik tidak dibatasi pengertian formal politik seperti keterlibatan dalam
kampanye parpol dan memberikan suara dalam pemilu/pilkada (Adelabu dan
Akinsolu: 2009; Orit: 2004).
Pendidikan politik tidak
hanya memberi seseorang kemampuan memberi pengaruh terhadap orang tentang
persoalan-persoalan politik dan keterlibatan dalam diskusi politik. Akan
tetapi, juga memberikan seseorang pengetahuan dan keterampilan memahami
persoalan politik dalam pengertian yang luas, termasuk pengakuan dan
penghargaan terhadap keragaman nilai-nilai sosial, budaya, dan politik yang
dianut seseorang, kelompok atau komunitas. Pendidikan politik menumbuhkan
keterlibatan seseorang melakukan deliberasi tentang persoalan-persoalan
kehidupan dan dalam melakukan aksi untuk mencari jalan keluar terhadap
masalah yang muncul. (Adelabu dan Akinsolu: 2009; Clarke: 2007; Davies:
2005).
Karena itu, misi
pendidikan politik tidak hanya mendorong seseorang terlibat dalam kegiatan
formal politik atau proses elektorat. Akan tetapi, juga dalam menghadapi
persoalan kehidupan, karena politik ialah "... how you live in your
life, not whom you vote for. All aspects of human experience have a political
dimension." (Ginsburg, 1996).
Misi
substantif pendidikan politik
Terdapat tiga misi atau
fungsi utama pendidikan politik. Pertama, pendidikan politik sebagai
pendidikan emosi politik. Emosi dalam konteks ini bukan dalam pengertian
private domain, yaitu perasaan pribadi atau kelompok yang didasarkan pada
konsepsi diri/syahwat berkuasa/emosi dalam pengertian kebanyakan orang, yaitu
marah.
Emosi dimaknai sebagai
dorongan berupa simpati dan kasih sayang berkaitan dengan alturisme dan
solidatitas sosial. Serta keputusan tentang kehidupan (Hogget; Thompson:
2012; Lewis: 2008).
Pendidikan politik adalah
membangun komitmen mewujudkan keadilan, rasa solidaritas terhadap kelompok
masyarakat yang tidak berdaya dan meningkatkan kemampuan serta sikap tidak
toleran terhadap segala tindakan kekerasan dan ketidakadilan (Lewis: 2008;
Nussbaum: 2013)
Kedua, pendidikan politik
adalah revitalisasi pemahaman tentang politik dan being political. Pendidikan
politik bukan mengajarkan peserta didik tentang berapa kursi di DPR, MPR atau
DPD, atau apa DPR, MPR dan DPD (tata kelola dan fungsi). Akan tetapi,
memberikan pemahaman atau kesadaran bahwa fungsi-fungsi kekuasaan itu sebagai
a constitutive force. Bagaimana pembagian atau pertarungan kekuasaan,
bagaimana kekuasaan dimanfaatkan oleh wakil rakyat dan untuk apa dan siapa?
Pendidikan politik
mengandung kesadaran kritis tentang politik (Ruitenberg, n.a; Dumas dan
Dumas: 1996; Davies: 2005). Being political diwujudkan dalam kesediaan
mengambil peran dalam kehidupan sosial, seperti menghadapi ketidakadilan yang
muncul dalam kehidupan di mana seseorang berada (Wringe: 2012).
Ketiga, pendidikan politik
adalah upaya membangun kesadaran politik atau melek politik. Melek politik
mempunyai hubungan dengan keterampilan, isu dan aksi penerapan politik yang
demokratis, pendidikan global yang dicirikan dengan pembelajaran yang efektif
dan pendekatan holistik tentang isu-isu dunia, pendidikan kewargabangsaan
yang dikaitkan dengan kesukarelaan untuk berbuat sesuatu dalam masyarakat
(Davies: 2005).
Melek politik ditunjukkan
melalui kemampuan seseorang membaca landscape politik dalam konfigurasi masa
kini maupun masa lalu. Dalam pembelajaran politik, peserta didik didorong
memahami atau membaca tatanan sosial dan politik
melalui--misalnya--deliberasi tentang kebebasan, persamaan dan relasi sosial
yang hegemonik.
Melek politik adalah
kemampuan memahami konflik kepentingan dan cita-cita dari masing-masing
kelompok. Melek politik dimanifestasikan dalam sikap-sikap menghargai
kebebasan, persamaan, toleransi, menghargai keyakinan dan pemikiran orang
lain (Clarke: 2007)
Akhirnya, semoga para
pelaku politik tidak terhenti pada pemahaman dan praktik formal politik
lantaran kepentingan sesaat sehingga tiga misi (fungsi) pendidikan politik
dalam pengertian luas seperti di atas diabaikan. Pendidikan politik
selayaknya tidak hanya digarap menjelang pemilu atau pilkada dalam bentuk
kampanye atau "jual beli suara" (politik uang) (Fachruddin: 2006).
Karena itu, perlu
dilakukan usaha-usaha lebih yang lebih baik untuk mewujudkan misi pendidikan
politik. Serta selalu mengkaji ulang perhelatan politik dengan parameter dan
indikator yang mencerminkan misi pendidikan politik.
Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar