Tabiat Politik
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 28 April 2018
Politik itu refleksi tabiat manusia. Ketika naluri baik yang mendominasi, maka rupa politik akan tampak ceria dan bahagia. Optimisme akan tumbuh, memberi warna dan harapan yang tak berkesudahan. Namun, ketika naluri buruk yang dominan, maka wajah politik menjadi muram dan murung. Pesimisme merasuki seluruh aliran darah, menggersangkan kehidupan yang juga tanpa harapan. Denyut nadi politik bergantung denyut perasaan manusia, yang menurut David Apter rupanya beraneka ragam dan saling bertentangan meliputi rasa cinta, setia, bangga, rasa malu, benci, dan marah (Miriam Budiardjo, 1994).
Dalam konteks begitulah, kita dapat mengamati arena politik di negeri ini beberapa tahun belakangan ini yang selalu gonjang-ganjing, penuh dengan kekasaran, transaksional, akrobatik. Jauh dari praktik politik santun yang mencerminkan keadaban bangsa ini. Suasana politik yang gaduh dan panas itu rupanya menggambarkan suasana perasaan manusia-manusia politik sekarang yang diliputi perasaan waswas, tegang, iri, atau marah. Karena, suasana politik sekarang lebih didominasi ekspresi persaingan. Semua sudah mafhum bahwa tahun-tahun ini adalah tahun politik. Karena, Pilpres 2019 sudah di depan mata. Artinya, volume dan frekuensi kegaduhan politik akan makin eskalatif. Politikus dan partai politik sudah ambil ancang-ancang. Mereka tak ingin lengah atau terlibas oleh lawan-lawan masing-masing dalam merebut ”mahkota” di pilpres nanti.
Sayangnya, bukan janji politik yang membahagiakan yang sering didengar, melainkan hujatan politik yang menggusarkan. Nyaris tidak terdengar perang wacana, tawaran program kerja, pengenalan figur terbaik. Hampir tiada terlihat cara mengambil hati rakyat dengan menawarkan program terbaik partai. Misalnya partai X menawarkan berbagai program kerja yang dapat memberi solusi negeri ini untuk keluar dari belitan problem saat ini. Atau partai Y benar-benar mempromosikan seorang figur yang memiliki kehebatan dan keunggulan sebagai pemimpin yang dapat membawa cahaya terang bagi negeri ini. Bahkan mempersilakan publik untuk menguji figur tersebut.
Namun, yang justru terdengar nyaring sekarang adalah kampanye hitam menyudutkan figur lain yang dianggap pesaing. Banyak politikus justru mengoleksi daftar kekurangan figur yang dianggap pesaingnya. Melihat ada satu figur yang tingkat elektabilitasnya tinggi dalam suatu survei, elite politik kubu lain meresponsnya sebagai survei pesanan. Ada pertemuan antartokoh, politikus yang tidak sekubu bereaksi nyinyir. Di politik sekarang banyak yang kepoh. Urusan orang diurusi, urusannya sendiri malah ditelantarkan. Apakah perasaan iri menyerang para politikus kita? Biasanya orang iri itu tidak suka melihat orang lain bahagia. Publik banyak disuguhi tontonan saling membongkar aib pihak lain, yang berakhir pada gontok-gontokan, perang di media sosial, hingga pengaduan ke polisi. Sayang, energi politikus terkuras habis hanya untuk berkomentar nyinyir dan cuma mencampuri urusan pihak lain. Demi perebutan kekuasaan, politik bisa menjadi saling mematikan (zero sum game). Barangkali benar kata pendiri China Mao Zedong (1893-1976) bahwa ”politik itu perang tanpa pertumpahan darah, beda dengan perang yang merupakan politik dengan pertumpahan darah”.
Kegaduhan praktik berpolitik sekarang tampaknya tak memberi pencerahan pada publik. Publik tidak mendapatkan bekal preferensi yang cukup sebagai pegangan dalam pilpres nanti, kecuali hanya materi kampanye hitam. Bisa jadi publik dipaksa membeli ”kucing dalam karung”.
Bagi mereka yang punya ideologi atau pandangan politik tertentu, sudah pasti keukeuh memilih jagonya, tanpa perlu melihat keunggulan atau kekurangan figur. Ini menjadi titik kemunduran berdemokrasi. Ketika demokrasi semakin terbuka dan memberikan ruang partisipasi seluas-luasnya, justru tidak terjadi pendidikan politik yang mencerahkan. Diskusi publik yang dialogis dan konstruktif dikalahkan oleh sikap saling serang yang menjatuhkan. Memang, menurut Harold Lasswell, politik itu tentang ”siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana?”.
Tahun politik sekarang mungkin bisa disebut tahun-tahun vivere pericoloso, meminjam judul pidato Bung Karno pada peringatan hari ulang tahun RI 17 Agustus 1964. Maksudnya tahun-tahun yang menyerempet bahaya. Kalau tabiat manusia sekarang ini terus menguasai arena politik, yang paling bahaya adalah rusaknya karakter bangsa, karena selalu dicekoki dengan tontonan perdebatan dan praktik politik yang kasar, jauh dari kesantuan. Jangan-jangan politik negeri ini tengah bergerak secara sentrifugal menjauh dari titik sumbunya. Tatkala politik tumbuh pada zaman Yunani kuno sekitar abad ke-5 sebelum Masehi, spirit politik adalah kebaikan bersama.
Politik, bagi Plato, untuk kebaikan bersama seluruh komunitas politik, bukan untuk faksi-faksi tertentu. Moralitas dan kebijaksanaan mendapat perhatian utama. Menurut Aristoteles, politik mengatur apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak dilakukan. Politik merupakan ikhtiar untuk mencapai masyarakat terbaik. Sebuah pikiran yang mengangankan kehidupan manusia yang penuh kebahagiaan di mana manusia (masyarakat) mengembangkan potensinya, memiliki hubungan sosial yang akrab, dan kehidupan sosial dalam suasana moralitas yang tinggi, bukan untuk keuntungan eksklusif faksi-faksi tertentu. Namun, tabiat politik sekarang adalah pertarungan kasar penuh amarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar