Generasi
Muda Korea Mewujudkan Reunifikasi
I Basis Susilo ; Dosen Hubungan Internasional FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya
|
KOMPAS,
30 April
2018
Jumat (27/4/2018), Presiden Korea
Utara Kim Jong Un dijadwalkan bertemu Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di
Gedung Perdamaian, Panmunjeon, Korea Selatan. Pertemuan tingkat tinggi dua
pemimpin dari dua negara satu bangsa itu menumbuhkan lagi harapan terwujudnya
reunifikasi Korea.
Setiap kali ada pembicaraan
antardua pemerintah di Korea itu selalu muncul dua pertanyaan. Apakah akan
ada reunifikasi? Kalau ada, kapan reunifikasi itu terjadi? Reunifikasi pasti
terjadi. Tiga alasan berikut mendasari jawaban optimistis itu. Pertama, usaha
membahas reunifikasi sudah sering dilakukan, bahkan sering disebut
reunifikasi sebagai a secret and universally-desired goal. Bahkan pula, ada
kementerian khusus dibentuk untuk urusan itu.
Kedua, Korea adalah bangsa yang
relatif homogen secara etnis dan budaya sehingga punya landasan kuat untuk
bersatu kembali. Ketiga, ada perhitungan bahwa jika sudah bersatu, Korea akan
lebih kuat dan menghadapi tantangan zaman di milenium ketiga. Karena itu,
pertanyaan bukan apakah (if), tapi kapankah (when) reunifikasi terwujud.
Usaha reunifikasi sudah muncul
saat AS ”mendekati” China awal 1970-an. Pernyataan bersama ditandatangani
1972. Setelah Jerman bersatu, Kim Il Sung dan Roh Tae-woo menyatakan harapan
bersama penyatuan Korea segera terwujud pada 1992. Pada Juni 2000, ada lagi
pernyataan bersama menuju reunifikasi damai di Korea.
Semangat kepersatuan ditunjukkan
dengan olahraga. Pada Kejuaraan Dunia Tenis Meja di Jepang pada 1991, kedua
negara menjadi satu tim. Pada upacara pembukaan Olimpiade 2000, 2004, dan 2008, mereka
sudah berbaris bareng kendati bertanding dengan bendera masing-masing. Pada
Olimpiade Musim Dingin 2018 keduanya menampilkan tim hoki es putri.
Jawaban atas pertanyaan kedua,
soal kapannya, adalah menunggu terpenuhi syarat dan kondisi untuk reunifikasi.
Artinya, hingga kini selain komitmen, kondisi dan syarat lain belum cukup.
Pertama, adanya kesepakatan tentang bentuk negara dari Korea bersatu. Kedua,
adanya kemauan dan kemampuan menanggung ongkos untuk reunifikasi, yang
didasari perhitungan bahwa ongkos itu bisa dikompensasi dengan keuntungan
jika bangsa Korea bersatu.
Soal komitmen, reunifikasi memang
selalu dianggap penting bagi rakyat Korsel. Namun, muncul gejala penurunan
tingkat pentingnya reunifikasi itu di Korsel. Survei Lembaga Unifikasi
Nasional, pada 1990-an, 80 persen rakyat masih menganggap reunifikasi sebagai
esensial. Pada 2011, angka itu turun menjadi 56 persen. Pada 2017, sekitar
72,1 persen generasi mudanya percaya reunifikasi tidak perlu karena mereka
lebih tertarik isu-isu ekonomi, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan hidup.
Di Korut, rakyat punya keinginan
reunifikasi lebih kuat. Soal sistem, 14 persen ingin tetap dengan sistem
sosialisme, 26 persen kompromi antardua sistem, 34 persen lebih memilih
sistem Selatan, dan 24 persen lain tak peduli sistem sosialisme atau
kapitalisme. Soal bagaimana reunifikasi terjadi, hanya 8 persen berharap
Korut yang mengontrol prosesnya, 7 persen bilang akan terjadi ketika Korut
hancur, 22 persen berharap Korsel mengabsorbsi Korut. Lainnya, 63 persen,
berharap melalui negosiasi setara di antara dua Korea.
Soal kemampuan membayar ongkos
reunifikasi, sudah ditunjukkan bagaimana rakyat Korsel, terutama generasi
mudanya, mulai bersungut-sungut dan enggan menanggungnya. Hal itu karena
jurang pendapatan amat lebar. Jika bersatu, ongkos amat banyak sehingga
mengurangi kesejahteraan rakyat Korsel.
Ketika reunifikasi Jerman,
GNP/kapita Jerman Barat (25.000 dollar AS) tiga kali lipat Jerman Timur
(8.500 dollar AS), sementara kini Korsel (36.700 dollar AS) atau 20 kali
lipat Korut (1.800 dollar AS). Padahal, penduduk Jerman Timur (17 juta) sepertiga dari Jerman Barat (60
juta), dan penduduk Korut (25 juta) separuh dari Korsel (51 juta). Intinya,
ongkos reunifikasi Korea jauh lebih mahal daripada reunifikasi Jerman.
Namun, ke depan, apabila bersatu,
Korea akan lebih mampu bersaing dengan bangsa lain, khususnya Jepang yang
pernah menjajahnya pada 1910-1945. Menurut Goldman Sachs (2009), potensi
kekuatan ekonomi Korea yang bersatu akan melampaui semua negara G-7 kecuali
AS dalam 30-40 tahun, dengan perkiraan PDB 6 triliun dollar AS lebih pada
2050.
Buruh yang terampil dan muda dan
sumber daya alam dari Utara dikombinasikan dengan teknologi canggih,
infrastruktur dan modal besar di Selatan, akan menciptakan ekonomi yang lebih
besar daripada negara G-7. Menurut beberapa pendapat, bahkan Korea yang
bersatu bisa terjadi sebelum 2050.
Ketika melihat keinginan jelas,
tetapi terkendala syarat dan kondisi yang berat untuk mewujudkan, biasanya
muncul massa kritis yang memelopori sikap dan tindakan baru. Biasanya, massa
kritis itu kalangan muda karena di mana-mana generasi muda pelopor dinamika
kehidupan, ketika bangsanya dalam kesulitan.
Pertama, mereka selalu melihat ke
depan. Ibaratnya, generasi muda bisa ”melihat fajar ketika matahari akan
terbenam”. Jika berpikir strategis, prediksi Goldman Sach tentu mendorong
generasi muda Korea mewujudkan reunifikasi.
Kedua, mereka yang selalu bersedia
berisiko dan berkorban demi jayanya bangsanya di masa depan. Memang keinginan
generasi muda zaman now cenderung kekinian dan berpikir praktis jangka
pendek. Namun, mesti diingat, generasi muda selalu punya sifat alamiah untuk
berpikir strategis ke depan, bersedia berjuang dan berkorban untuk masa depan
bangsanya.
Atas dasar itu, generasi muda
diharapkan punya cara mewujudkan reunifikasi bangsanya, dengan mengadakan
kompromi produktif bagi kemajuan bangsanya. Mereka tentu akan lebih nyaman
jika kemajuan bangsanya bersifat endogen daripada sekadar eksogen. Yang dari
Utara tentu tak ingin terus-menerus membiarkan elitenya menarik keuntungan
mereka sendiri dengan melakukan teror senjata nuklir dan mengabaikan tuntutan
dan kepentingan kesejahteraan rakyat. Yang dari Selatan tentu juga tak ingin
terus menggadaikan kedaulatan dan keamanan militernya pada kekuatan luar demi
membeli kesejahteraan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar