Muslim
dan Demokrasi
Mh Samsul Hadi ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
28 Mei
2018
Di pengujung senja menjelang buka
puasa di pekan pertama Ramadhan, di kantor redaksi harian Kompas (gedung
Menara Kompas) berlangsung diskusi hangat dan terbuka. Diskusi itu membahas
buku Turki, Revolusi Tak Pernah Henti karya wartawan senior Kompas, Trias
Kuncahyono.
Berlangsung ”hangat dan terbuka”
karena peserta diskusi di sesi tanya jawab juga mengangkat isu-isu lain,
seperti hubungan agama dan negara, demokrasi, dan refleksi bagi Indonesia.
Topik diskusi ini ”seksi”, bukan hanya karena faktor Turki, negeri yang dulu
imperium Muslim, kekhalifahan terakhir di dunia Islam sebelum runtuh tahun
1924.
Negeri yang saat ini pemimpinnya,
Recep Tayyip Erdogan, begitu dipuja dan jadi idola sebagian warga di Tanah
Air. Sedemikian besar magnet Erdogan, kunjungan dan pose pejabat Indonesia
dengannya kerap menjadi bahan perdebatan seru di Tanah Air.
Masalah Islam dan politik, isu
agama dan negara dalam Islam merupakan isu-isu yang tak pernah habis
dibicarakan dan diperdebatkan dari dulu hingga kini. Di kalangan pemikir
Muslim, isu-isu itu telah dikupas oleh, misalnya, Abu al-Hasan al-Mawardi,
Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Al-Farabi melalui karya-karya yang masih terus
disebut hingga kini.
Sebagian pemikir mengejawantahkan
buah pikirannya melalui gerakan, seperti Jamaluddin al-Aghani dengan
Pan-Islamisme atau Muhammad bin Abdul Wahab yang beraliansi dengan Ibn Saud
mendirikan Kerajaan Arab Saudi. Namun, tidak ada pemikiran tunggal
sebagaimana tak ada format baku dan disepakati tentang bentuk negara di dunia
Muslim.
Maka, bisa disaksikan kini bentuk
negara dan pemerintah di dunia Muslim pun bervariasi, dari monarki, yaitu
Arab Saudi, Jordania, Bahrain, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, Maroko,
dan Brunei Darussalam.
Lalu ada republik Islam, seperti
Afghanistan, Pakistan, dan Mauritania. Selain itu, ada pula republik Islam
bersistem teokrasi, seperti Iran, hingga republik sekuler, seperti Turki,
Kazakhstan, Azerbaijan, dan Uzbekistan.
Di negara yang menahbiskan diri
sekuler, seperti Turki, identitas keislaman warganya bersanding dengan
sekularisme yang dianut pemerintahnya. I am Turk, therefore I am a Muslim, demikian
formula orang-orang Turki yang dikutip Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Komaruddin Hidayat, pembahas diskusi buku sore itu.
Turki, kata Komaruddin yang lima
tahun kuliah di Turki, merupakan ”eksperimentasi historis bagaimana Islam
masuk dan berinteraksi secara intens dengan ide dan praktik demokrasi,
modernisasi, dan pluralisme”.
Di sebagian dunia Muslim,
demokrasi sekuler bukanlah hal tabu. Bahkan, kata Duta Besar Azerbaijan
Tamerlan Garayev, demokrasi sekuler justru menjadi kebanggaan Azerbaijan.
Didirikan 28 Mei 1918, Republik Demokratik Azerbaijan pada Senin ini tepat
berusia 100 tahun.
”Kami bangga menjadi republik
demokratik pertama di Timur dan menjadi republik pertama yang memberi hak
memilih bagi perempuan. Kami sudah memiliki perempuan anggota parlemen 100
tahun silam,” kata Garayev dalam acara Ramadhan Dialogue Series yang digelar
Moslem Youth Forum dan Kedubes Azerbaijan di Jakarta, Kamis (24/5/2018).
Dari pengalaman negaranya, Garayev
ingin menunjukkan, demokrasi sekuler dan pemenuhan hak-hak perempuan bukanlah
monopoli dunia Barat. Di kalangan Muslim pun, demokrasi bisa tumbuh dan
berkembang meski praktiknya tidak harus menjiplak mentah-mentah demokrasi di
Barat.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia disebut-sebut memiliki banyak kemiripan dengan Turki. Selain
posisinya periferal di dunia Muslim, keduanya negara Muslim yang tidak
terlalu ter-Arab-kan. Indonesia bukan negara Islam, tetapi juga bukan negara
sekuler.
Muncul harapan agar corak Islam
negeri ini—belakangan populer diistilahkan Islam wasathiyah (Islam
moderat)—lebih mewarnai dunia Muslim secara keseluruhan.
Seperti halnya Turki, Indonesia
juga menyajikan potret yang khas soal pergulatan Muslim dengan demokrasi.
Kini pertanyaannya, sudah siapkah
para tokoh Muslim bangsa ini tampil dan menjadi corong penyebar wajah Islam
moderat di panggung internasional? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar