Membaca
Pertemuan Kim dan Moon
Nur Rachmat Yuliantoro ; Ketua Departemen Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS,
02 Mei
2018
Jumat, 27 April 2018, telah
dicatat sebagai babak sejarah yang baru di Semenanjung Korea. Pada hari itu,
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in
bertemu secara langsung di zona demiliterisasi Panmunjom.
Mereka menyepakati Deklarasi
Panmunjom yang secara efektif akan mengakhiri Perang Korea (kedua negara
sesungguhnya berada dalam situasi gencatan senjata sejak 1953). Sebuah bagian
utama dari deklarasi tersebut menunjukkan komitmen pada ”denuklirisasi (Korea
Utara) secara penuh”.
Kejutan
diplomatik
Pertemuan dengan Moon merupakan
rangkaian dari ”kejutan diplomatik” yang dilancarkan Kim. Dikenal sebagai
pemimpin yang tak kenal kompromi, Kim menjalankan politik luar negeri yang
lebih ”bijaksana” dalam beberapa bulan terakhir.
Dimulai dari mengirimkan adiknya,
Kim Yo Jong, ke upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Korea Selatan,
menerima kunjungan beberapa petinggi pertahanan Korea Selatan, mengunjungi
Beijing atas undangan Presiden Xi Jinping, menerima kunjungan Direktur CIA
Mike Pompeo, hingga berjabatan tangan dengan Moon dan menginjakkan kaki di
wilayah Korea Selatan. Puncaknya, sebagaimana diberitakan media, adalah
rencana pertemuan Kim dengan Presiden AS Donald Trump pada akhir Mei 2018.
Kemampuan Korea Utara dalam
mengembangkan senjata nuklir telah membuat takut dan khawatir banyak negara.
Stabilitas keamanan kawasan telah lama ”disandera” oleh Korea Utara, yang
ditunjukkan antara lain dengan beberapa kali uji coba nuklir dan keengganan
Kim kembali bergabung dalam Pembicaraan Enam Pihak, sebuah mekanisme
multilateral yang mencoba untuk menyelesaikan krisis nuklir di kawasan.
Saling ancam antara Korea Utara
dan AS, kekhawatiran Seoul dan Tokyo akan berpotensi serangan senjata nuklir
dari Pyongyang, dan kebimbangan China untuk memainkan peran yang lebih
substansial membuat dinamika keamanan di Asia Timur mendapatkan perhatian
luas dari masyarakat internasional.
Tidak jelas apa yang membuat Kim
mengubah sikapnya, dari keras dan tak mau tunduk pada tekanan (khususnya AS)
menjadi akomodatif dan bersedia untuk berunding. Sebuah analisis kepribadian
yang mendalam mungkin bisa memberikan jawaban atas perubahan tersebut.
Pergolakan politik internal dan
gejolak yang menyertainya di tengah-tengah masyarakat Korea Utara bisa juga
jadi alasan, meski tak mudah untuk mengonfirmasi hal ini, mengingat sistem
politik negeri itu yang tertutup. Dalam konteks sistem internasional, Kim
mungkin juga merasa bahwa China sudah meninggalkan dia, tidak lagi memberikan
bantuan dan dukungan yang diharapkan seperti sebelumnya.
Sebelumnya, ayah Kim, yaitu Kim
Jong Il, pernah bertemu dengan dua presiden Korsel, Kim Dae-jung (2000) dan
Roh Moo-hyun (2007), tetapi tak ada hasil yang berarti berkenaan dengan
penyelesaian konflik kedua negara. Dalam hal reunifikasi, perbedaan posisi
kedua negara jelas jadi hambatan mendasar yang sangat sulit dibereskan:
Selatan menghendaki, tetapi Utara menolak. Oleh karena itu, pertemuan Kim dan
Moon dapat dibaca sebagai kemajuan penting dalam proses reunifikasi.
Ada upaya untuk menyamakan pendapat,
dan itu langkah yang baik untuk menyelesaikan konflik. Meski demikian,
terlalu dini untuk mengatakan Korea Utara akan segera sepenuhnya setuju
dengan reunifikasi, terlebih jika dalam proses itu Korea Selatan menekankan
syarat-syarat tertentu yang lebih mengedepankan kepentingannya. Korea Utara
pasti juga menghendaki tujuan-tujuannya dapat dipenuhi, khususnya dalam
konteks ekonomi dan keamanan.
Perlu
dikritisi
Pertemuan bersejarah di Panmunjom
itu harus dilihat dengan lebih kritis. Betul bahwa ia merupakan salah satu
episode penting dalam politik internasional kontemporer, tetapi mungkin tak
tepat apabila kita berargumen bahwa perdamaian akan segera muncul di
Semenanjung Korea. Silang kepentingan antar-aktor di kawasan tetap berpotensi
menjadikan Semenanjung Korea salah satu ”titik panas” keamanan internasional.
Korea Selatan bisa jadi akan
memikul ”ongkos ekonomi” yang sangat besar untuk reunifikasi, sementara Korea
Utara tentu tak menginginkan kemampuan senjata nuklirnya menjadi sia-sia. AS
akan tetap mendesakkan kepentingan dan pengaruhnya di wilayah ini, bersaing
dengan China yang semakin menunjukkan kemampuannya sebagai salah satu
kekuatan utama dunia. Rusia, yang juga berkepentingan dengan situasi di
Semenanjung Korea, tentu juga tidak akan tinggal diam dalam merespons
perkembangan mutakhir ini.
Di samping para aktor utama di
atas, negara-negara lain juga tentu memperhatikan dengan saksama
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi menyusul pertemuan Kim dan Moon.
Negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia, secara tidak langsung juga
bisa terkena dampak dari lanjutan pertemuan tersebut. Dalam hal ini,
Indonesia harus selalu merespons perkembangan di Semenanjung Korea dengan
hati-hati dan bijaksana. Dengan tetap mengedepankan pendekatan diplomasi dan
kerja sama, Indonesia harus siap jika diminta berkontribusi lebih banyak bagi
upaya penciptaan perdamaian di kawasan.
Realisme politik internasional
mengajarkan kepada satu negara untuk tidak memercayai negara yang lain demi
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Dalam konteks ini, pertemuan Kim
dan Moon tidak secara otomatis mengarah pada peredaan ketegangan, apatah lagi
perdamaian di Semenanjung.
Pesimisme jadi kata kunci di sini.
Meski demikian, di sisi lain pertemuan tersebut (dan kelak pertemuan Kim dan
Trump) menunjukkan bahwa kesamaan kepentingan bisa mendorong para pemimpin
negara untuk bekerja sama dan menghindari konflik yang tereskalasi. Inilah
pandangan kaum liberal dalam politik internasional, yang senantiasa
optimistis terhadap dunia yang (bisa) aman dan damai.
Pertemuan Kim dan Moon akan
membuat dinamika keamanan kawasan semakin menarik untuk didiskusikan. Situasi
konflik di Semenanjung Korea tampaknya masih harus menapaki jalan panjang
untuk bisa diselesaikan melalui cara yang memuaskan kepentingan banyak aktor.
Dunia masih menanti dengan cemas apa yang kemudian akan dilakukan Kim dengan
senjata nuklirnya.
Terlepas dari itu, pertemuan kedua
pemimpin diharapkan dapat menunda kemungkinan terjadinya konflik terbuka,
setidaknya dalam jangka pendek. Satu hal yang kita inginkan: pertemuan itu
sudah sepantasnya ditujukan untuk kepentingan bersama rakyat Korea sebagai
sebuah bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar