Sistem
Informasi Pertanahan
Iwan Nurdin ; Ketua DN-Konsorsium Pembaruan Agraria;
Board Direktur Yayasan Lokataru
|
KOMPAS,
28 April
2018
Proses pembahasan akhir dari RUU
Pertanahan yang sedang berlangsung memperlihatkan bahwa pemerintah dan DPR
berniat segera mengesahkan RUU Pertanahan.
Salah satu titik pembahasan utama
dalam RUU Pertanahan adalah pendaftaran tanah. Hal ini sangat terkait dengan
pembahasan bab lainnya, yaitu reforma agraria, penyelesaian konflik
pertanahan, dan desain kelembagaan pertanahan cum agraria kelak. Beberapa
pokok pikiran tentang pendaftaran tanah sistematis belum sepenuhnya diatur
oleh perumus RUU Pertanahan.
Pertama, tujuan utama dari
pendaftaran tanah bukanlah penerbitan sertifikat hak atas tanah. Pendaftaran
tanah haruslah dilakukan secara sistematis dari desa ke desa secara
partisipatif sehingga seluruh wilayah Indonesia punya peta bidang tanah.
Dengan demikian, pendaftaran tanah sistematis dan lengkap sebenarnya
ditujukan untuk mendapatkan informasi bidang tanah hingga potret ketimpangan
di satu wilayah. Ini adalah informasi penting dalam mendesain kebijakan
pembangunan ekonomi wilayah, pajak pertanahan, dan aneka kebutuhan lainnya.
Dalam reforma agraria, pendaftaran tanah menyediakan data pertanahan yang
akurat tentang obyek dan subyek reforma agraria.
Karena tujuan yang demikian, maka
wilayah berlaku pendaftaran tanah di Indonesia haruslah pada seluruh tanah di
Indonesia. Pemisahan rezim tanah antara Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) haruslah dihentikan oleh RUU ini kelak. Seluruh tanah di
Indonesia yang dibedakan secara fungsi ke dalam kawasan hutan dan non-hutan
tidak menghilangkan kewajiban bahwa semua tanah wajib didaftar, dicatat,
jelas lokasinya dalam peta, jelas hubungan hukumnya terhadap tanah oleh
sebuah instansi pertanahan tunggal yang bersih.
Kedua, RUU Pertanahan harus
mengatur secara jelas kewajiban institusi pertanahan menjalankan proses
pendaftaran tanah secara partisipatif dan transparan. Keterbukaan sistem
pendaftaran tanah, proses pemberian hak dan penerbitan sertifikat hingga
akses publik terhadap dokumen-dokumen itu mesti diatur dengan baik dan
terang. Karena itu, perancang RUU wajib mengaitkannya dengan UU Keterbukaan
Informasi Publik yang telah berlaku.
Pandangan dalam Kementerian
ATR/BPN yang menganggap warkah tanah dikecualikan dari informasi publik tidak
dapat diteruskan, apalagi dibenarkan. Pemerintah punya kewajiban bahwa semua
proses pemberian hak pada dasarnya adalah pelayanan publik yang terbuka.
Tahun lalu, Mahkamah Agung juga telah memutuskan dokumen HGU adalah dokumen
publik. Sebagai catatan, putusan ini belum dijalankan oleh Kementerian
ATR/BPN.
Berangkat dari pendaftaran tanah,
RUU Pertanahan penting memberikan mandat kepada pemerintah untuk membangun
Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SITN) yang dapat diakses publik. Sistem
ini adalah ciri pokok dari negara modern terkait pertanahan yang hingga kini
belum direalisasikan secara nasional. Dalam mewujudkan hal ini, selain
koordinasi lintas kelembagaan, akan mendorong pemerintah mengedepankan
penggunaan teknologi informasi secara menyeluruh terkait dengan tanah.
Apalagi, dalam sistem informasi pertanahan akan dapat memperlihatkan kesatuan
data antara nomor kependudukan, perpajakan yang berpadu, dan pertanahan.
Perlu keterbukaan
Karena keterbukaan tersebut,
sistem informasi pertanahan yang terbuka selalu dapat banyak tentangan.
Selama ini, ketertutupan informasi pertanahan telah menyembunyikan data
tentang ketimpangan dan celah menghindari kewajiban menjalankan reforma
agraria. Ketertupan juga berelasi dengan percaloan, spekulasi tanah, menutupi
kekayaan pribadi yang diperoleh dengan cara buruk, hingga penghindaran pajak.
Selain itu, dalam RUU Pertanahan
DPR hendak mengatur batasan luas tanah kepada korporasi. Sekali lagi,
pendaftaran tanah dan sistem informasi pertanahan merupakan dasar penting
mengatur pembatasan luas.
Dengan informasi pertanahan yang
baik, data daerah terkait kepadatan penduduk dan ketimpangan tanah akan
terpampang. Inilah dasar utama pembatasan luas. Para perumus RUU Pertanahan
harus mendorong pemerintah menggunakan cara pandang ini dalam mengatur
pembatasan luas, yakni ketimpangan dan kepadatan penduduk. Selama ini angka
luasan, semisal 10.000 hektar, tidaklah mencegah pengusaha memonopoli tanah
luas. Hanya dengan membentuk badan hukum usaha baru, atau anak usaha,
perusahaan dapat kembali memperoleh tanah.
Hal tersebut diperburuk karena
pemberian hak atas tanah tak memperhatikan prioritas hak atas tanah pada
lapangan usaha agraria sebagai mana diatur dalam UUPA Pasal 12 dan 13. Pasal
ini mengingatkan kepada pemerintah bahwa pemberian HGU kepada perusahaan
bukanlah prioritas, dibandingkan dengan pemberian HGU kepada koperasi yang
dimiliki masyarakat sebagai usaha menciptakan pertanian modern yang dimiliki
rakyat.
Mengacu pada pembahasan-pembahasan di atas, kita membutuhkan desain baru kelembagaan pertanahan yang
kredibel dan dipercaya rakyat. Dalam RUU Pertanahan mestilah diatur tentang
proses penataan kelembagaan ATR/BPN.
Ke depan, mestilah dirancang agar
BPN bersatu dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Dirjen Planologi
Kehutanan. Dengan begitu, aneka kemelut pertanahan akibat desain kelembagaan
yang tidak tuntas semakin mudah diselesaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar