Beradaptasi
Agar Tetap Relevan
Rekson Silaban ; Analis Indonesia Labor Institute
|
KOMPAS,
03 Mei
2018
We
cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them.
(Albert Einstein).
Perjuangan memperbaiki nasib buruh
tak efektif bila selalu menggunakan pola lama. Perkembangan industri dan
teknologi saat ini mengubah secara fundamental struktur pasar kerja, yang
mengarah pada semakin dominannya sektor jasa, hubungan kerja semakin abstrak
dengan munculnya relasi bisnis tanpa majikan versus karyawan.
Ia mengharuskan perlunya merevisi
teori gerakan buruh awal, karena sebagian tidak lagi relevan digunakan untuk
memperjuangkan kebutuhan buruh saat ini. Serikat buruh (SB) yang merayakan
Hari Buruh Internasional pada 1 Mei, seyogianya mengangkat isu revitalisasi
SB sebagai tema pokok yang disuarakan. Mengganti isu pengupahan yang
bertahun-tahun mewarnai perayaan hari buruh.
Sembari melakukan pesta buruh dan
manifestasi, ada baiknya juga melakukan perenungan, untuk berefleksi terhadap
capain dan tantangan perjuangan buruh. Tanpa bermaksud menebarkan pesimisme
kepada pemimpin buruh yang sudah banyak berjuang, penulis sangat
mengkhawatirkan strategi dan skenario perjuangan mayoritas SB saat ini, yang
kelihatannya mengambil rute yang menuju kebangkrutan gerakan.
Tekanan ganda
Serikat buruh saat ini mengalami
tekanan ganda (internal dan eksternal). Penulis mulai dengan melemahnya SB
akibat tergerusnya keanggotaan SB dari 3,5 juta orang (verifikasi Depnaker
tahun 2000) menjadi 2,7 juta (2015). Ini adalah bukti sangat akurat untuk
melihat adanya masalah besar SB dalam strategi perekrutan dan mempertahankan
loyalitas keanggotaan.
Frekuensi demo buruh secara
nasional tidak menurun, jumlah SB baru terus tambah, jumlah angkatan kerja
terus meningkat, tetapi terjadi penurunan anggota? Ketergerusan tidak juga
akibat `union busting` karena tindakan pemberangusan SB. Kalaupun terjadi,
hanya sporadis, tak dalam sebuah kebijakan resmi pemerintah. Juga bukan
akibat de-industrialisasi, karena data menunjukkan pertumbuhan industri masih
terus meningkat.
Pemicu utama justru dari aktor
gerakan buruh itu sendiri. Di mana akibat perselisihan aktor pemimpin buruh,
organisasi mengalami perpecahan. SB yang pecah ini selanjutnya membentuk SB
baru. yang ujungnya mengerdilkan mereka sendiri, baik dari keanggotaan maupun
kemampuan finansial. Ironisnya jumlah SB baru terus bertumbuh, dengan anggota
terus menurun.
Ide pembentukan SB di masa lalu
dilakukan karena ada kepentingan ideologis yang hendak diperjuangkan dan ada
nilai-nilai yang akan diperjuangkan.. SB tak bisa dibentuk karena emosi
sesaat, untuk mencari jabatan dan uang (economic motive). Motif seperti itu
akan membuat SB rapuh, loyalitas anggota rendah, sehingga anggota gampang
berpindah ke SB lain.
Dari sisi eksternal, ditemukan
kecenderungan terus tergerusnya jumlah pekerja di sektor industri manufaktur
sebagai basis utama penyumbang keanggotaan SB. Pada 10 tahun terakhir terjadi
pergeseran besar sektor lapangan kerja industri: dari industri manufaktur ke
industri jasa. Distrupsi teknologi juga akan mengubah relasi kerja
konvensional secara bipartit (vertical relation), ke relasi kerja horizontal
berbentuk bagi hasil. Data Biro Pusat Statistik tahun 2017 menyebutkan,
jumlah pekerja sektor manufaktur berjumlah 20,49%. Dengan mengikuti
kecenderungan normal, maka 15 tahun ke depan (tahun 2033) diperkirakan
pekerja di sektor manufaktur hanya tinggal 7-10%. Pembesaran terus terjadi di
sektor inudstri jasa.
Dari buku The Future of Work (2016) terbitan World Economic Forum, menyebutkan ada dua pengubah utama (drivers
of change) yang akan mengubah masa depan pekerjaan, yakni: (1) faktor
demografi, sosial-ekonomi; dan (2) faktor teknologi.
Berubah dan beradaptasi
Dengan tekanan ganda di atas, SB
harus melakukan adaptasi supaya tetap relevan. Mulai dari perubahan paradigma
gerakan, strategi perjuangan, metode perekrutan, ketahanan finansial,
strategi komunikasi dan sebagainya. Situasinya tidak akan pernah sama lagi,
pilihannya adalah berubah atau mati!
Bila SB tidak melakukan perubahan
strategi gerakan, sementara jumlah pekerja semakin sedikit, terus
bertumbuhnya SB baru akibat fragmentasi, maka dipastikan SB akan tidak
relevan dan hilang dari sejarah. Kementerian Ketenagakerjaan sebagai
penanggung jawab atas pembinaan hubungan industrial, tidak bisa tinggal diam
menyaksikan situasi di atas terus memburuk. Karena dalam konsep International
Labor Organization (ILO) tentang `dialog-sosial`, hubungan industrial (bipartit
dan tripartit) tidak mungkin berjalan bagus bila salah satu pilarnya (SB)
terlalu lemah.
Perbedaan SB Indonesia dan negara
maju sangat jauh dalam banyak hal, jadi tidak selalu relevan meniru gerakan
buruh di sana. Ada faktor khas yang membuat SB di negara maju lebih mungkin
bertahan ketimbang SB di negara berkembang, seperti kasus Indonesia. Yaitu,
SB di negara maju, khususnya Eropa, Amerika, Jepang dan beberapa negara
Amerika Latin, memperbolehkan keanggotaan SB ke seluruh pekerja, baik pegawai
negeri, bahkan untuk polisi, militer dan pensiunan. Dari sektor pekerja
publik ini saja SB tersebut bisa mendapatkan jutaan anggota dengan kontribusi
iuran bulanan besar dan reguler. Misalnya di SB Inggris ada federasi bernama
UNISON dengan 1,3 juta anggota; Kanada (PSAC, 180.000 anggota; Amerika
Serikat (SEIU 2,1 juta); Jepang (JICHIRO, 820.000).
Sektor pekerja publik ini jadi
pemasok utama keanggotaan SB di negara maju. Sementara kondisi ini tidak
dimiliki oleh negara berkembang. Di negara di atas juga diatur bahwa klaim
jaminan sosial dan manfaat tunjangan pengangguran hanya bisa dicairkan
melalui SB, sehingga ada ‘keharusan’ buruh bergabung ke SB supaya gampang
mengakses pelayanan jaminan sosial. Dalam kerangka sistem inilah SB di negara
maju akan selamanya eksis karena memiliki pasokan anggota permanen.
Hal yang prioritas dilakukan untuk
mencegah SB terus mengecil adalah mendorong ditetapkannya `threshold`, ambang
batas, untuk menetapkan SB yang kredibel dan representatif. Sekaligus
mengikuti praktik ILO terhadap prinsip “the most reprentative”. Kebebasan
berserikat tetap dijamin, tetapi mitra utama pemerintah adalah SB yang
memiliki anggota di atas `ambang batas` nasional. Agar SB tertarik mengikuti
ide ini, sebaiknya pemerintah membantu anggaran biaya pendidikan SB yang
lolos `threshold` setiap tahunnya melalui anggaran APBN. SB yang mendapat
fasilitas pemerintah ini pasti akan berupaya mencegah supaya jangan pecah,
supaya tetap berada di ambang `threshold`. SB lain yang belum cukup anggota
untuk `threshold` pasti akan terdorong bergaung agar lebih kuat dan mendapat
fasilitas `threshold` tadi.
Praktik ini tidak sulit dilakukan
karena sudah berhasil dilakukan untuk partai politik Indonesia. Ada
`threshold` dan mendapat bantuan pendanaan lewat APBN. Selamat Hari Buruh! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar