Guru
Semiprofesional
Khoiruddin Bashori ; Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 April 2018
SUNGGUH tepat sebutan pahlawan
tanpa tanda jasa untuk para guru. Meski kontribusinya luar biasa bagi
perkembangan peserta didik, guru masih juga merelakan diri menjadi kambing
hitam bagi setiap problematik pendidikan.
Manakala prestasi belajar siswa
kurang memuaskan atau moralitas mereka yang dipandang tidak sesuai harapan,
tak pelak guru yang pertama menjadi sasaran kritik.
Mutu pendidikan seolah diletakkan
sepenuhnya pada pundak guru.
Mereka kerap menjadi tersangka
tanpa melalui proses verbal; tidak linear, kurang kreatif, dan tidak
profesional.
Guru profesional adalah mereka
yang memiliki kompetensi keterampilan profesional. Memang belum
semua guru, utamanya di remote area, mencapai standar keunggulan sesuai
harapan, baik bersifat pribadi, sosial, maupun profesional.
Meskipun dalam perbincangan guru
di lapangan, profesionalisme ini sering kali kemudian dibatasi hanya pada
tiga persoalan utama, yaitu kompetensi, sertifikasi, dan tunjangan profesi.
Antara
profesionalisme dan semi
Konsep profesionalisme guru, dalam
kajian pendidikan, dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda,
utamanya dalam kaitannya dengan bagaimana profesi guru dianalisis.
Dalam literatur, konsep profesionalisme
guru umumnya didiskusikan dalam konteks sosiologis, pedagogis, dan ideologis
(Demirkasimoglu: 2010).
Tidak dapat dihindari, di era
keterbukaan dengan tingkat kompetisi sedemikian tinggi seperti sekarang ini,
kebutuhan untuk mencapai dan mengembangkan standar, kriteria, atau tolok ukur
keberhasilan bagi semua profesi telah meningkat pesat, termasuk standar
profesionalisme guru.
Standar menciptakan 'praktik baik'
di lingkungan profesional sehingga memungkinkan organisasi membuat sistem,
kebijakan, dan prosedur terbaik. Dengan sistem yang baik, institusi
pendidikan diharapkan dapat memberikan jaminan kualitas operasional yang
tinggi.
Oleh karenanya, kini perhatian
para pemangku kepentingan pendidikan kepada profesionalisme semakin besar.
Fenomena ini sejalan dengan
semakin meningkatnya tuntutan standar dan kualifikasi guru untuk dapat
memenuhi tuntutan perkembangan kontemporer dunia kerja, seperti yang juga
terjadi pada kelompok profesi lain.
Pada titik ini, konsep mengenai
profesionalisme guru menjadi semakin penting, dan dianggap sebagai salah satu
elemen kunci efektivitas dalam pengembangan mutu pendidikan.
Menurut UU RI Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan untuk anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah. Pilihan UU jelas memosisikan guru sebagai
profesional.
Ini berarti guru sejajar dengan
profesi-profesi lain, seperti apoteker, dokter, insinyur, hakim, jaksa,
akuntan, atau arsitek.
Malah sementara kalangan menyebut
guru sebagai 'ibu' dari semua profesi karena gurulah yang 'melahirkan'
profesi lainnya.
Sebenarnya, ketika kita membahas
profesionalisme guru, masih tersisa satu persoalan dasar yang terus menjadi
perdebatan para teoritisi di bidang ini, yaitu menyangkut pertanyaan apakah
guru itu 'profesi' atau 'semiprofesi'.
Apakah tepat seluruh karakteristik
pekerjaan 'profesional' yang terkesan transaksional dan kaku diterapkan
sepenuhnya pada guru?
Pemaksaan profesionalisme dalam
makna ini dapat menjerumuskan guru menjadi 'robot' pendidikan yang kehilangan
otonomi dan ruh pengabdian. Guru hanya menjadi pekerja biasa, atau mungkin
semacam 'buruh pabrik' pendidikan yang kehilangan daya sentuh pada
siswa-siswinya.
Penulis cederung tertarik dengan
argumen David (2000), yang memasukkan guru sebagai 'semi' atau 'kuasi'
profesional.
Mereka ini tidak semestinya
dipaksa untuk memenuhi kriteria profesionalisme seutuhnya, seperti yang
sering disebut dalam literatur.
Dengan dimasukkan sebagai
semiprofesional, guru wajib mengikuti pakem sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku, serta menaati 'panduan akademik' dari
asosiasi profesi.
Namun, sebagai 'manusia setengah
dewa', guru tetap harus menjadi pribadi autentik, yang otonom dan memiliki
keikhlasan yang tinggi dalam mendampingi siswa-siswinya menuju masa depan
yang lebih cerah.
Dengan demikian, jika tarik
menarik antara tuntutan pemenuhan standar kompetensi profesi yang tinggi dan
kemandirian mengembangkan diri sebagai pribadi yang unik dapat dikelola
sedemikian rupa, guru dapat tumbuh menjadi pekerja profesional di bidangnya,
tanpa harus kehilangan jati diri sebagai individu.
Keunikan setiap guru perlu
dipelihara, bukan saja penting bagi yang bersangkutan untuk menjadi diri
sendiri sebagai basis perasaan bahagia.
Namun, yang lebih penting
sebenarnya ialah upaya memberikan model yang lebih banyak dan beragam bagi
siswa, sebagi media identifikasi diri.
Pengembangan profesionalisme guru
yang dilakukan secara seragam dan top down kini dipandang sudah kehilangan
signifikansinya.
Pola lama ini cenderung
mengabaikan potensi beragam yang dimiliki setiap guru, baik bidang keahlian
maupun minat utamanya.
Alih-alih meningkatkan
kualifikasi, yang lebih sering terjadi di lapangan justru semakin
meningkatkan tekanan batin karena terpaksa menjadi orang lain.
Di sisi lain, siswa menjadi tidak
cukup memiliki model identifikasi yang memadai.
Keragaman model sangat diperlukan
agar siswa memiliki lebih banyak pilihan model identifikasi.
Pengembangan
berkelanjutan
Pengembangan profesionalisme
semestinya menjadi kegiatan berkelanjutan, yang dikembangkan atas dasar
profil kinerja guru, sebagai hasil perwujudan hasil penilaian kinerja guru,
dan didukung hasil evaluasi diri yang jujur.
Pelaksanaan program pengembangan
profesionalisme berkelanjutan ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi
pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian untuk memenuhi kebutuhan dan
tuntutan masa depan yang berkenaan dengan profesinya sebagai guru
berkualitas.
Diperlukan pengembangan,
pelaksanaan, pengukuran, dan institusionalisasi standar profesionalisme.
Dari berbagai riset diketahui,
jika guru tidak mengetahui standar kualitas tinggi yang harus diraih,
terdapat kecenderungan mereka menjadi mediocre, berlaku sedang-sedang saja,
dan dalam beberapa kasus kecenderungan demikian kemudian menular kepada
teman-teman guru lainnya. Untuk itu, benchmarking menjadi penting.
Guru perlu sering diajak studi
banding ke sekokah-sekolah dengan standar kualitas profesionalisme guru yang
jauh lebih tinggi.
Kolaborasi antarguru perlu terus
diperkuat karena dengan kolaborasi terbuka lebih banyak kesempatan bagi guru
untuk saling belajar dan berkembang bersama.
Tak dapat dimungkiri, hasil riset
menunjukan (Kraft dan Papay, 2014), kerja sama dengan sesama guru dapat
menumbuhkan budaya saling percaya (culture of trust) dan berbagi ilmu
(knowledge sharing), yang pada gilirannya mampu meningkatkan efektivitas
pembelajaran, menaikkan prestasi belajar siswa, dan menyebabkan guru memiliki
keinginan yang lebih kuat untuk menerima berbagai inovasi baru. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapusJadwal Prediksi Sepakbola terupdate dari hasilbola.vip
BalasHapusAkan memberikan beberapa Prediksi Bola Terbaru.
Tapi sebelumnya terima kasih sudah mengizinkan saya berkomentar.
Prediksi Bola Lazio vs Napoli 12 Januari 2020
https://hasilbola.vip/prediksi-sepakbola/baca/3308/lazio-vs-napoli-12-januari-2020/
Prediksi Bola Inter vs Atalanta 12 Januari 2020
https://hasilbola.vip/prediksi-sepakbola/baca/3309/inter-vs-atalanta-12-januari-2020/