Keberlanjutan
Objek Vital Nasional
Bahruddin ; Mahasiswa S3 University of
Melbourne;
Staf Pengajar Jurusan Pembangunan
Sosial dan Kesejahteraan Fisipol, UGM
|
KOMPAS,
02 Mei
2018
Ekosistem abiotik dan biotik di
Teluk Balikpapan, tengah berjuang menghadapi pencemaran minyak mentah
Pertamina Refinery V Balikpapan, objek vital nasional yang berproduksi untuk
kepentingan nasional.
Proses hukum kasus pencemaran
seluas 12.987 hektar di sekitar Teluk Balikpapan, berlangsung sejak Kamis
(26/4/2018). Polda Kaltim telah menetapkan ZD, nahkoda kapal MV Ever Judger,
sebagai tersangka atas kelalaiannya yang memicu kebocoran.
Pencemaran lingkungan di objek
vital nasional migas karena kelalaian atau kesengajaan pihak ketiga bukanlah
hal baru. Dalam skala kecil, kegiatan illegal tapping atau penggesekan pipa
minyak oleh masyarakat atau kelompok bisnis tertentu, merupakan contoh
gangguan faktor eksternal dalam menjaga keberlanjutan objek vital nasional.
Sudahkah pemerintah mengadopsi
paradigma “safety and sustainability” dalam regulasi tata kelola objek vital
nasional? Salah satu prinsip utamanya adalah kejelasan peran dan partisipasi
berbagai aktor baik dalam tahap pencegahan, tanggap darurat, dan pemulihan.
Kaji ulang regulasi
Sambil menunggu proses hukum, kita juga dapat melihat peristiwa ini sebagai
sebuah bentuk krisis regulasi (regulatory crisis).
Krisis regulasi adalah suatu
kejadian yang menunjukkan urgensi pembaharuan regulasi, karena regulasi yang
ada tidak mampu atau tidak relevan untuk mencapai tujuan regulasi (Hutter dan
Bostock, 2017).
Dalam konteks relasi politik
regulator dan publik, krisis regulasi dapat mengancam kredibilitas dan
kepercayaan publik terhadap regulator. Publik melihat regulator tidak mampu
menjalankan fungsi utama untuk mengantisipasi dan mengelola risiko objek
vital nasional.
Saat ini, regulasi pengamanan
objek vital nasional merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 63 Tahun
2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional. Keppres ini memberi amanah
kepada Polri sebagai partner pengelola objek vital nasional untuk pengamanan.
Dalam kondisi tertentu, Polri
dapat meminta bantuan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk pengamanan
bersama. Mekanisme dan prosedur pengamanan objek vital nasional oleh Polri
tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13
tahun 2017 tentang pemberian bantuan pengamanan pada objek vital nasional
tertentu.
Keamanan keselamatan
Regulasi pengamanan objek vital nasional
masih melihat keamanan dan keselamatan (safety) sebagai domain pengelola dan
aparatur keamanan. Realitas menunjukkan, keamanan dan keselamatan objek vital
nasional merupakan areal persinggungan antara internal pengelola dan kondisi
eksternal seperti sosial ekonomi masyarakat, situasi politik dan aktivitas
pelaku bisnis. Standar internal keamanan perlu kondisi eksternal yang
mendukung (enabling factor) untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan objek
vital nasional.
Keberlanjutan adalah konsep
penting dalam tata kelola keamanan fasilitas berisiko tinggi terhadap
lingkungan. Sejak 2006, DNV.GL, lembaga sertifikasi keselamatan (safety),
menggeser paradigma dari “safety and security” menjadi “safety and
sustainabiliy” (www.dnvgl.com).
Pada standar Internasional
Sustainability Rating System (ISRS) edisi kedelapan yang diperkenalkan tahun
2009, DNV.GL membangun sistem tata kelola khusus untuk keberlanjutan
instalasi yang memiliki risiko tinggi adanya kebakaran, meledak, dan
penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), seperti Refinery V Balikpapan.
Memastikan keberlanjutan objek
vital nasional berisiko tinggi tidak lagi menjadi domain internal pengelola,
melainkan juga partisipasi publik. Kekosongan partisipasi publik inilah yang
perlu ditekankan dalam pembaruan regulasi objek vital nasional.
Publik dan juga pelaku bisnis di
lingkungan objek vital nasional diwajibkan mengetahui risiko dan tata
perilaku saat berada di kawasan objek vital nasional. Misalnya, awak
kapal-kapal yang melintasi kawasan objek vital nasional berisiko tinggi perlu
mendapatkan safety induction dan menandatangani surat kesediaan (consent
form) untuk mematuhi seluruh petunjuk keselamatan dan keberlanjutan objek
vital.
Siapa pihak yang bertanggungjawab
mengedukasi dan memastikan aktivitas publik mematuhi (comply) prosedur tata
kelola objek vital nasional? Jawabannya adalah berbagi peran antara regulator
dan pengelola objek vital nasional. Pengelola wajib mengedukasi publik dan
membangun petunjuk perilaku keselamatan.
Sedangkan regulator (pemerintah
daerah atau otoritas tertentu) berkewajiban memastikan publik patuh terhadap
prosedur keselamatan yang ada. Pemerintah pusat memiliki otoritas untuk
memonitor apakah pengelola dan pemerintah daerah telah melaksanakan
kewajibannya.
Momentum bersama
Rehabilitasi lingkungan dan sosial
menjadi agenda penting pasca pencemaran. Dalam perspektif positif, bencana
ini dapat menjadi momentum berbagai pihak untuk berkomitmen terhadap
keberlanjutan ekosistem biotik dan abiotik di lingkungan objek vital
nasional. Pertamina Refinery V Balikpapan dapat belajar dari saudara
kandungnya Pertamina Refinery VI Balongan yang mengalami hal sama 2008.
Seperti halnya Teluk Balikpapan,
pecahnya pipa laut Pertamina Refinery VI Balongan juga memicu pencemaran laut
di kawasan Indramayu dan sekitarnya. Wilayah Pantai Karangsong merupakan
salah satu daerah paling terdampak. Pencemaran ini menghancurkan ekosistem
pantai dan memutus rantai ekonomi masyarakat.
Saat ini, jejak pencemaran dan
kesengsaraan masyarakat di Pantai Karangsong tidak tampak lagi. Pantai
berganti jadi hutan mangrove yang hijau dan menyejahterakan masyarakat.
Menurut data Proper Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2016,
pengembangan wisata hutan Mangrove oleh Pertamina Refinery VI Balongan
berdampak baik pada lingkungan dan masyarakat.
Hutan mangrove ini mampu menyerap
CO2 sebesar 68,67 ton per hektar dan menjadi rumah 37 spesies burung, salah
satunya termasuk kategori kritis. Dari sisi masyarakat, pengembangan wisata
mangrove ini mampu meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat pengelola
hingga Rp1,1 miliar tahun 2016.
Pengembangan wisata hutan mangrove
merupakan salah satu program Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina
Refinery VI Balongan.
Keberhasilan Pertamina Refinery VI
Balongan ini tidak terlepas dari dukungan KLHK melalui Program Penilaian
Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper). Proper adalah salah satu kebijakan
voluntary lingkungan yang diakui dunia (Asfah, 1996; Blackman et al.,2004;
Garcia et al.,2007) dan menjadi pendekatan efektif untuk memantau komitmen
perusahaan terhadap lingkungan dan sosial.
Berbagi peran dan kerja sama antar
pihak ini urgen untuk memperbarui regulasi objek vital nasional. Tanpa
kejelasan peran dan kerja sama antar-pihak, proses rehabilitasi lingkungan
dan sosial sulit diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar