Ashabiyah
Irvan Sihombing ; Wartawan Media Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 30 April 2018
PRESIDEN Soekarno punya mimpi
besar untuk bangsa yang baru saja ia bawa keluar dari lembah penjajahan. Di
benak Putra Sang Fajar, Indonesia harus menjadi bangsa yang kuat dan tidak
pernah bisa luluh lantak sekalipun tergilas kerasnya roda persaingan dunia.
'Kita ingin menjadi satu bangsa
yang setiap hari digembleng oleh keadaan. Digembleng, hampir hancur lebur
bangun kembali. Digembleng, hampir hancur lebur bangun kembali. Hanya dengan
jalan itu demikianlah kita bisa menjadi satu bangsa yang benar-benar bangsa
otot kawat balung wesi.'
Soekarno paham betul bahwa tidak
akan mudah bagi bangsa yang begitu lama mengalami exploitation de I'homme par
I'homme (penghisapan manusia atas manusia) untuk berdiri di atas kaki
sendiri, bahkan duduk sejajar dengan mereka yang pernah menjajah.
Itu karena rakyat terus-menerus
dicekoki kebohongan bahwa “inlander seperti kerbau”, “inlander goblok”,
“inlander bodoh", dan tidak akan pernah bisa hidup tanpa kaum penjajah.
Mental bangsa ini rapuh, hilang keperwiraan.
'Kami menjadilah rakyat yang
mengira, ya, percaya bahwa kami memang adalah rakyat yang inferieur. Kini di
mana-mana terdengarlah kesah. Yah, kami memang bodoh, kalau tidak ada bangsa
Eropa bagaimana kami bisa hidup.'
Itulah gambaran mentalitas bangsa
terjajah. Profesor Universitas Columbia, Gayatri Chakravorty Spivak,
mengungkapkan kolonialisme memang tidak hanya melakukan penaklukan fisik,
tetapi juga penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya.
Mentalitas yang demikian sulit
hilang, bahkan meninggalkan residu. Jika sebelumnya khawatir tidak bisa
berjalan tanpa uluran tangan bangsa Eropa, sekarang ini hinggap kekhawatiran
lajak perihal serbuan tenaga kerja asing khususnya dari Tiongkok.
Ini bukan barang baru karena
pernah muncul sebelumnya propaganda 10 juta tenaga kerja asal 'Negeri Tirai
Bambu' mendarat di Indonesia. Angka tersebut sebenarnya terlalu fantastis
mengingat jumlah penduduk DKI Jakarta pada 2017 mencapai 10,37 juta jiwa.
Propaganda tentang serbuan puluhan
juta tenaga kerja asing itu menghangat pada tahun 2016 menjelang pilkada
Jakarta, namun kemudian menghilang. Isu itu kembali hidup begitu Joko Widodo
menandatangani Perpres No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Bangsa ini, setidaknya yang
terpotret dari perbincangan di media sosial, berwalang hati tenaga kerja dari
Tiongkok bakal berbondong-bondong membanjiri Indonesia. Banjir itu kemudian
dibayangkan bakal memporak-porandakan bahkan menyapu bersih bangsa ini.
Khawatir tentu sah-sah saja,
karena angka pengangguran di Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik
sampai Agustus 2017 mencapai 7,04 juta jiwa dari 128,06 juta orang angkatan
kerja. Tetapi, sibuk berkubang dalam kekhawatiran tidak akan pernah
menyelesaikan masalah.
Bila benar kita bangsa otot kawat
balung wesi seperti yang dibayangkan Soekarno, perpres itu justru menjadi
sarana meningkatkan daya saing. Mungkin kita akan keteteran bila harus
bersaing dengan tenaga kerja asing, tapi kita tidak akan pernah hancur malah
menjadi digdaya.
Sudah saatnya kita kikis
mentalitas bangsa terjajah dengan berani menghadapi persaingan. Kedua, yang
tidak kalah penting, perkuat ashabiyah (solidaritas sosial) seperti yang
disampaikan Abd al-Rahman Abu Zaid Waliudin alias Ibnu Khaldun (1332-1406).
Ia mengatakan negara dengan
ashabiyah yang kuat akan menghadirkan dominasi karena ada semangat bekerja
sama, mengesampingkan kepentingan pribadi, dan memenuhi kewajiban bagi
sesama. Sebaliknya, negara dengan ashabiyah rendah akan berada di ambang
kehancuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar