20
Tahun Hubungan Sipil-Militer
Al Araf ; Direktur Imparsial;
Mahasiswa Program Doktoral Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya
|
KOMPAS,
28 Mei
2018
Dinamika hubungan sipil dan militer di
negara demokrasi bukanlah sesuatu yang statis. Di beberapa negara, hubungan
sipil-militer kadang kala mengalami ketegangan dan kadang kala berada dalam
kendali yang demokratis.
Meski peran militer dalam politik tak
sekuat seperti pada masa Perang Dingin, kenyataannya ada negara yang hingga
kini masih kesulitan dalam menata hubungan sipil-militernya. Dalam beberapa
kasus, ketegangan hubungan sipil-militer berdampak pada kembalinya militer
dalam politik, sebagaimana terjadi di Thailand ketika militer mengudeta
Taksin.
Di Indonesia, sepanjang 20 tahun, dinamika
hubungan sipil- militer juga berjalan dinamis. Meski tidak terjadi kudeta
seperti di Thailand, dinamika hubungan sipil-militer di masa reformasi ini
terkadang juga mengalami ketegangan-ketegangan. Ketegangan antara elite sipil
dan elite militer pernah terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan
pada masa pemerintahan Jokowi.
Meski isu hubungan sipil-militer dinilai
isu lama, faktanya persoalan hubungan sipil-militer ini masih jadi masalah di
beberapa negara demokrasi hingga kini. Kegagalan menata hubungan sipil yang
demokratis pada akhirnya akan membawa ruang dan peluang militer kembali
berpolitik. Bagaimana membangun hubungan sipil-militer sehat di negara
demokrasi?
Kontrol sipil obyektif
Banyak literatur yang sudah menjelaskan
tentang bagaimana menata hubungan sipil-militer yang demokratis di
dalam sistem negara demokrasi. Samuel P Huntington (2003), misalnya,
mengategorikan dua jenis kontrol terhadap militer, yakni kontrol sipil subyektif
dan kontrol sipil obyektif.
Pengendalian sipil secara subyektif adalah
pengendalian sipil terhadap militer dengan cara meminimalkan kekuasaan
militer dan memaksimalkan kekuasaan sipil dalam hubungannya dengan militer.
Cara ini, menurut Huntington, dapat menimbulkan hubungan sipil-militer kurang
sehat karena merujuk pada upaya untuk mengontrol militer dengan memolitisasi
mereka dan membuat mereka lebih dekat ke sipil.
Pengendalian sipil obyektif adalah
pengendalian sipil terhadap militer dengan cara memperbesar profesionalisme
militer, sedangkan kekuasaannya diminimalkan. Namun, ia sama sekali tidak
melenyapkan kekuasaan militer, tetapi tetap menyediakan kekuasaan terbatas
tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan profesinya. Cara ini oleh
Huntington dianggap yang paling mungkin menghasilkan hubungan sipil-militer
yang sehat.
Inti dari pembangunan hubungan
sipil-militer yang sehat, menurut Huntington, adalah bagaimana mewujudkan
tentara yang profesional. Tentara yang profesional adalah tentara yang ahli
dalam bidangnya sebagai alat pertahanan negara, tunduk pada otoritas sipil,
tidak berpolitik, tak berbisnis, tunduk pada aturan hukum, dan
kesejahteraannya terjamin.
Di Indonesia, sejak reformasi bergulir pada 1998,
agenda mendorong tentara yang profesional sudah dilakukan melalui program
reformasi militer. Akibat dari proses reformasi TNI, kini secara normatif TNI
tak boleh lagi berpolitik, tidak berbisnis, dan tunduk pada otoritas sipil
sebagaimana diatur dalam UU TNI (UU No 34/2004).
Sementara ketertundukan militer pada sistem
hukum yang mengacu pada prinsip persamaan di hadapan hukum belum juga
terwujud karena reformasi peradilan militer belum juga diselesaikan. Di sisi
lain, upaya meningkatkan kesejahteraan prajurit hingga saat ini juga belum
terpenuhi, semisal masih terdapat para prajurit yang belum mendapatkan rumah
dinas yang layak untuk ditempati.
Peningkatan keahlian militer dalam
menjalankan fungsi pertahanan dan modernisasi peralatan militer juga belum
berjalan maksimal. Sementara kualitas dan kuantitas latihan para prajurit
untuk menopang keahlian tempurnya juga masih terbatas, meski terdapat
peningkatan. Sepantasnya, di masa damai, otoritas sipil dapat memenuhi
anggaran untuk agenda latihan para prajurit TNI.
Kontrol sipil yang obyektif itu pada
menginginkan agar relasi sipil-militer itu dibangun dalam kondisi di mana
elite sipil diharapkan meminimalisasi intervensi politik yang terlalu dalam
ke tubuh militer di satu sisi, dan di sisi lain intervensi militer dalam
politik diminimalisasi atau ditiadakan.
Pembangunan hubungan sipil-militer
yang sehat juga butuh keharusan di pihak sipil untuk memahami berbagai
persoalan di sektor pertahanan. Bagaimana mungkin otoritas sipil dapat
mengendalikan militer secara obyektif jika kapasitas dan kemampuan otoritas
sipil untuk memahami persoalan di sektor pertahanan lemah.
Bangunan hubungan sipil-militer yang sehat
juga sangat membutuhkan peranan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang kuat
dan aktif untuk melakukan pengawasan terhadap dinamika reformasi sektor
keamanan yang berkembang. Kelompok masyarakat sipil itu meliputi para
akademisi, jurnalis, LSM, mahasiswa, serikat buruh, serikat petani, dan
lainnya yang memiliki perhatian pada persoalan sektor pertahanan dan
keamanan.
Di masa awal reformasi, kuatnya gerakan
mahasiswa yang mendesakkan isu ”militer kembali ke barak” dan hapuskan
doktrin ”dwifungsi ABRI” menjadi salah satu bagian penting dalam mendorong
proses reformasi TNI yang berakibat pada larangan TNI berpolitik. Kini,
dinamika gerakan masyarakat sipil cenderung melemah dalam memantau dan
mengawasi berbagai persoalan reformasi sektor keamanan ataupun berbagai
persoalan sosial politik lainnya.
Refleksi elite sipil
Demokrasi adalah sistem yang dinamis. Dia
bisa bergerak maju, tetapi juga dapat bergerak mundur. Dalam beberapa kasus
negara-negara lain, dinamika demokrasi mundur manakala hubungan sipil-militer
berjalan tidak sehat, di mana militer kembali masuk dalam politik.
Alfred Stepan mengungkapkan ada lima faktor
yang dapat membuat militer masuk kembali dalam politik: (1) menurunnya
kredibilitas pemimpin sipil; (2) konflik (permusuhan) antara pemimpin politik
sipil; (3) persepsi ancaman lebih dominan ke dalam ketimbang ke luar; (4) ada
masalah keamanan dalam negeri; dan (5) persepsi diri militer sebagai penjaga
dan penyelamat bangsa (doktrin).
Dalam konteks itu, tentu pembangunan
hubungan sipil-militer yang sehat tak cukup hanya pada tekanan mendorong
reformasi militer. Lebih penting dari itu bagaimana elite sipil memperbaiki
dirinya sendiri. Sepanjang elite sipil tak bisa mewujudkan politik yang
otentik dan terus terjebak pada lingkaran praktik korupsi, sepanjang itu pula
bayang-bayang militer kembali dalam politik akan selalu ada.
Dinamika hubungan sipil-militer di masa
reformasi ini tidak akan berjalan ke mana-mana sepanjang pola pikir kita
hanya menekankan pada perbaikan di tubuh militer, tetapi gagal melakukan
perbaikan di tubuh
elite pemimpin sipil. Sebelum terlambat, sudah saatnya para pemimpin sipil melakukan refleksi diri. Salah satu hal utama yang perlu dilakukan adalah melakukan reformasi partai politik agar tujuan dan fungsi utama parpol benar-benar ditujukan untuk membangun demokrasi yang sehat, yang membahagiakan rakyatnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar